Rabu, 17 September 2014

/12/ POESIKU


/12/ "Aku selalu menikmati perpisahan-perpisahan kita." Lelaki itu mengatakannya sembari menggeser tumpukan buku di atas meja ke tepi. Kini tak ada lagi buku di antara keduanya, dia dan perempuan itu. Hari telah merambat petang. Lampu-lampu mulai dinyalakan.

"Kok? Aneh." Perempuan itu mengernyit.


"Setiap percakapan-percakapan puitik, barangkali memang harus diakhiri dengan tragik."

Ia, lelaki itu, memandang sekeliling ruangan. Hanya tinggal meja-meja dan kursi-kursi serta mereka berdua. Tepatnya, bertiga. Seorang lelaki kurus dengan rambut panjang, yang duduk di pojok belakang ruangan, sudah mulai membereskan tasnya. Ia segera pulang.

"Apakah perpisahan kita selalu tragis?! Setragis itukah, menurutmu?" perempuan itu menyelidik.

Lelaki itu menatap perempuan di depannya.

"Entahlah. Menurutmu?" ia balik bertanya.

Perempuan itu mengernyitkan dahinya, mengingat-ingat.

Mereka duduk di sebuah meja besar di tepi jendela. Saat pagi, meja itu selalu bermandikan cahaya. Namun, ketika menjelang petang, itu menjadi meja paling teduh di ruangan itu. Di balik dinding sebelah, deretan rak-rak buku nampak berdebu.

"Mmm... aku tak pernah mengingatnya dengan baik," perempuan itu mengatakannya sembari mengerling dan tertawa kecil.

Lelaki itu menekuk mukanya. Kali ini cukup lama ia memasang ekspresi itu, sembari melempar pandang keluar jendela.

"Lha, kok ngambek? Cepet tua lho nanti," ujar perempuan itu, manja. Tak berhasil.

Lelaki itu masih saja diam. Ia duduk mematung dengan pandangan masih keluar jendela. Di bawah sana, trotoar sudah dipenuhi warung-warung lesehan.

Perempuan itu mengibas-ibaskan tangannya di depan muka si lelaki. Tapi ia tetap tak terpancing. Perempuan itu kemudian terdiam.

"Aku tidak pernah bisa mengingat perpisahan-perpisahan kita, karena kamu adalah sebuah pohon besar yang rindang." Perempuan itu menarik napas.

"Kemanapun aku pergi, atau dimanapun aku tersesat, aku tak pernah bisa lepas dari bayanganmu. Termasuk setahun terakhir kemarin."

Kali ini lelaki itu menengok. Ia menatap perempuan di depannya.

"Jadi, itu yang membuatku tak pernah punya ingatan pernah berpisah darimu." Perempuan itu memilin-milin tali tasnya. "Terdengar gombal ya. Tapi aku memang tak pernah memiliki ingatan itu."

Lelaki itu hanya menatap lekat perempuan di depannya. Hening.

Mungkin, meminjam Subagio, itu keheningan yang mengandung bicara. Sebab, ketika adzan Maghrib mengalun dari masjid di seberang jalan, perempuan itu segera memberesi buku di atas meja tadi dan memasukannya ke dalam tas lelaki di depannya.

Hingga ketika mereka sama-sama turun ke mushala kecil di lantai bawah gedung, lelaki itu masih saja diam. Baru ketika keduanya sama-sama keluar dari tempat wudhu, yang tak berjauhan, lelaki itu berdiri tertegun. Ia menatap perempuan itu dengan seksama.

Perempuan itu bingung. "Ada apa?" tanyanya. Tapi pertanyaan itu tak keluar dari mulutnya, tapi melalui sebuah kode di mukanya.

"Aku jatuh cinta pada air wudhu yang jatuh di dagumu." Jawaban itu dituliskan lelaki itu pada secarik kertas. Ia memberikannya kepada perempuan itu setelah mereka selesai shalat. Perempuan itu tersenyum. Hari merambat malam. ‪#‎poesiku‬

Tidak ada komentar:

Posting Komentar