Senin, 30 Juni 2014

PUASA PUISI


puisiku adalah puasa
puasaku adalah puisi
dalam puasaku aku berpuisi
dalam puisiku aku berpuasa
puasa puisi, puisi puasa
puasa berbuka, puisi berprosa
kapan maghrib, nun?

yogya, 29 juni 2014

Minggu, 22 Juni 2014

TADARUS


Nun. Aku menyebutmu 'Nun', karena itu adalah bunyi paling indah di antara dua puluh delapan huruf Hijaiyah. Aku menyebutmu 'Nun', karena itu adalah piktogram untuk ular dan belut. Kamu seperti ular, karena mulutmu kadang berbisa. Kamu seperti belut, karena setelah satu dekade, masih juga sulit ditangkap. Dalam beberapa bahasa, kamu adalah lambang dari sifat feminin, 'Nun'. Dalam bahasa Arab, dirimu berarti ikan paus. Ah, aku sepertinya kini tahu, apa yang terjadi jika kamu sudah membuka mulut pausmu itu. Mengerikan, tapi aku tak gentar. Apalagi, kamu juga seperti perahu, 'Nun'. Dan dengan sebatang kayuh, aku ingin mengarungi samudera hidup ini bersamamu. Itu sebabnya aku tak pernah berhenti mendarasmu, Nun. Nuun waalqalami wamaa yasthuruun.

Sanur-Potorono, 20-22 Juni 2014

Kamis, 19 Juni 2014

SEDUH



rindu ini petang
selalu mengigaukan
malam yang panjang
agar kau mengenalku
bukan dengan ingatan yang gagu
seperti kau sering membuatku
termangu kemarin

cintaku bukan fiksi
seperti pagi yang sebentar
dan bertandang penuh gentar
ini cinta yang sungguh
tak pernah mencemaskan waktu

aku tahu, ini bukan cangkir pertamaku
dan kamu adalah kopi buleleng
yang harus diseduh
sedikit demi sedikit

lidahku dan lidahmu,
sudah sama-sama pahit
dan tak lagi percaya
pada gula yang legit
aku janji menyeduhnya
dengan seksama,
nun

tabanan-sanur, 19 juni 2014

Rabu, 18 Juni 2014

SENJA


cinta terbaik hadir di rembang petang
setelah daun ketapang berguguran
dan kembang-kembang sesaji melayu

senja akan memanggil
malam yang tak terulang lagi itu
dimana secangkir kopi melarut
bertingkap ingatan

pada sebuah kedai
nasib berhenti ditulis
menjadi percakapan-percakapan puitis
yang tak bisa ditidurkan

aku mengingat rambutmu terikat
dengan secarik senyum yang tak mudah pupus
tapi, setiap mentari menyusup pucuk-pucuk palem
di depan kamarku
kamu sudah pergi

sanur, 18 juni 2014

NUN


aku letih menulis sajak, nun
dan aku semakin kehabisan kata-kata
katakan, hingga kapan
kau ingin aku menuliskan sajak-sajak ini?
jika esok aku mati, aku hanya mewarisimu
mimpi yang membeku di bawah selimut
dan kata-kata kusut yang cemberut

tapi waktu belum usai
selama pasir masih disapu ombak
dan orang-orang masih membakar dupa
aku masih menunggumu

malam ini, bulan putih di atas pura
dan aku rindu padamu, nun

sanur, 17 juni 2014

Selasa, 10 Juni 2014

PENGAKUAN


“Aku tahu, hanya kamu seorang yang memiliki perasaan begitu mendalam padaku.” Perempuan itu mengatakannya sembari menandaskan gelasnya. Dia selalu memesan jus jeruk. Begitu juga petang itu.

“Aku pernah merasa menderita karena dikhianati seseorang. Namun, ketika menerima undangan pernikahanmu, aku merasa mati rasa. Itu lebih buruk dari sekadar menderita. Aku jengkel, sedih, dan marah padamu. Semua perasaan itu menyatu. Kehilangan dirinya memang memiliki efek cukup lama. Namun kehilanganmu, sepertinya akan jadi efek selamanya.” Ia memain-mainkan gelas jus yang telah kosong itu. Sesekali matanya menatap lelaki itu, yang mengawasinya dengan seksama.

“Sejak lama aku merasa kamu menyukaiku. Tapi kamu tak pernah mengatakannya dengan jelas. Kamu pria yang baik, terhormat, stabil. Itu yang membuatku selalu tak percaya jika kamu benar-benar menyukaiku. Aku juga dihantui rasa takut tak bisa merawatmu. Sebetulnya aku orang yang cukup agresif. Tapi entah kenapa, jika berada di dekatmu aku selalu membeku. Kepalaku hanya berisi respek. Aku merasa tak pantas.” Ia mendesah.

“Aneh ya, jadinya aku tak pernah punya imajinasi erotis yang liar terhadapmu.” Kali ini bibirnya menyunggingkan senyum. Bersemu malu.

“Aku sudah berusaha untuk menyampaikannya padamu.” Kali ini si lelaki menyahut. Butuh dua tegukan kopi sebelum ia membuka omongannya itu.

“Aku sudah menyampaikannya dengan berbagai cara, padamu. Bahwa aku mencintaimu. Tapi hingga tahun itu, aku merasa kamu tak pernah benar-benar menyahut padaku, meski kita telah melewati banyak momen bersama yang mengesankan.” Lelaki itu melempar pandangannya ke luar jendela.

“Iya, aku benar-benar bego waktu itu,” perempuan itu menimpali. Mukanya tertunduk. “Kamu sama sekali tidak keliru. Momennya saja yang keliru. Aku merasa begitu buruk sekali waktu itu,” perempuan itu menggigit bibirnya. “Tapi undanganmu benar-benar membuatku terkejut. Kok jadi begini?!”

“Aku meninggalkanmu waktu itu karena mengira kamu menginginkannya demikian,” mata cokelat lelaki itu menatap perempuan di depannya.

“Kenapa kamu tak menyelidiki dulu situasiku?” Ada nada kecewa dalam suara perempuan itu. Muka sendunya kini menjadi cemberut.

“Karena kata-katamu demikian tegas hari itu. Dan itu telah membuatku menyalahkan diri sendiri. Aku merasa telah terlalu bersemangat mencintaimu, sementara kamu lebih sering datang dan pergi, sesukamu. Kamu tahu, aku tak pernah beranjak. Dan itu telah membuatku merasa sangat buruk.” Lelaki itu mencoba mengingat-ingat.

“Ah, kita sedang dipermainkan oleh momentum yang buruk waktu itu,” sesal perempuan itu. “Aku sedang sangat terpuruk waktu itu. Tapi aku terlalu tinggi hati, sehingga tak pernah mengungkapkannya padamu. Kemarahanku padamu hanya menunjukkan kerapuhanku. Aku marah karena sesungguhnya aku rapuh. Tapi aku tentu tak ingin kamu pergi, hari itu.” Perempuan itu mengaduk-aduk gelas kosongnya dengan sedotan. Tatapnya terbagi kepada gelas dan lelaki yang duduk di depannya. “Kenapa kamu tiba-tiba menjauh, dan lantas datang kembali dengan sepucuk undangan?!” Nada perempuan itu agak meninggi.

Lelaki itu hampir menggapai lengan perempuan itu. Namun diurungkannya. Ia menggantinya dengan sebuah tatapan lembut, seperti kapas yang terkena embun. Suasana sedikit hening.

“Kenapa tak berani menjamahku?” Setelah nada-nada sendu, kali ini perempuan itu mengatakannya dengan nada menggoda.

Lelaki itupun terkekeh. “Kamu tahu, aku selalu menghormatimu.”

“Andaikan status kita lajang sekarang, masak tidak berani?” Godaan itu terus berlanjut.

“Jangan pernah mengujiku,” lelaki itu menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan muka perempuan itu, sembari tersenyum malu. Perempuan itupun tersipu.

Suasana menjadi hening kembali. Di luar kedai, lampu-lampu jalan mulai menyala.

“Kenapa kita harus melalui liku-liku itu hanya untuk sampai ke meja ini?” perempuan itu menatap lelaki di depannya.

Lelaki itu mendesah, seolah hendak melepas sebuah beban yang menghimpit di dadanya.

“Kamu tahu,” sebelum melanjutkan kalimatnya, lelaki itu menatap perempuan di depannya, “aku tidak pernah beranjak.”

“Aku ingin pergi, tapi yang bisa kulakukan hanya menyelinap ke halaman samping. Aku tak pernah benar-benar bisa pergi.”

Perempuan itu tertunduk. Pipinya merekahkan rona merah.

“Untuk bisa menghargai pilihan yang benar, apakah kita harus selalu salah belok dulu?” Perempuan itu bertanya.

Lelaki itu menggeser kursinya, mendekati perempuan itu. Tangan perempuan itu diraihnya. Dia menggenggamnya dengan erat. Matanya terpejam. Bibirnya membisu. Perempuan itu menatap lelaki yang sedang menggenggam tangannya. Sebentuk kilau mutiara merembes dari sudut matanya. Di luar kedai, senja jatuh dengan malu-malu.

Minggu, 08 Juni 2014

PRINSIP



Malam sudah sampai ke pucuk ketika telepon selulernya berbunyi. Untuk sesaat dia tertegun. Setahun sudah berlalu sejak mereka tak berusaha untuk memperbaiki jembatan komunikasi yang pernah runtuh itu. Tapi di pucuk malam yang menggigil itu, setelah sebuah jeda komunikasi yang panjang, perempuan itu kembali menghubunginya. Apa lagi ini? Kenapa lagi dia? Batinnya.

"Sudah tidur, Mas?" begitu pesan pendek perempuan itu.

Dia ingin sekali melempar pesawat selulernya. Dia selalu membayangkan jika hal-hal semacam itu akan selalu memarkirnya ke pelataran yang sama. Pelataran dimana dia akan ketemu banyak dilema dengan dada penuh sesak. Tapi pikiran itu segera ditepisnya. Apa lagi yang akan kau alami jika aku tak membalas pesanmu? Kembali ia membatin. Perempuan itu sepertinya memiliki sejenis sihir yang tak pernah sanggup ditangkalnya. "Kamu selalu bisa meruntuhkan semua prinsip yang ingin kuimani," akunya kepada perempuan itu, bertahun lalu.

"Jika bisa runtuh, bukan prinsip dong namanya," balas perempuan itu manja.

"Baik kokoh maupun rapuh, itu tak membatalkan identitas sebuah prinsip," jawabnya, sembari menarik-narik ujung lengan baju perempuan itu. "Lembaran beton maupun sebatang bambu, jika dia menghubungkan dua bibir sungai, namanya tetap jembatan." Kali ini tangannya menarik-narik lembut rambut perempuan itu. Pemilik rambut tergerai itu terlihat pasrah.

"Hebat sekali ya aku," perempuan itu terkikik.

"Aku lebih sering merasakannya sebagai, 'jahat sekali ya dirimu'," lelaki itu mengatakannya sembari mengecup kepala perempuan itu.

"Kenapa jahat?"

"Karena aku selalu memperbaiki prinsip itu sendirian, setelah kamu rusak dan kamu ngeloyor entah kemana." Kecupan di kepala itu kini telah sampai di daun telinga. Perempuan itu melenguh.

"Apa itu berarti bahwa aku adalah kelemahanmu?" perempuan itu menatapnya lekat. Jarak dua pandangan mereka hanya lima senti.

Lelaki itu menghela nafas. Tepatnya, ia mengatur nafasnya.

"Bukan. Kamu adalah sebagian energiku. Dan kehilanganmu selalu membuatku kehilangan energi," lelaki itu menjelaskan.

"Kukira kamu akan menyebutku sebagai Kryptonite," perempuan itu mengatakannya sembari mendekatkan bibirnya.

Dalam beberapa menit, percakapan itu terputus.

Sebuah tepukan di pundak menyadarkan lelaki itu. "Bocornya ada tiga, Mas, jadi semuanya lima belas ribu." Kalimat itu milik tukang tambal ban. Lelaki itu tersadar dari lamunannya. Setelah mengeluarkan duit, dia tak segera beranjak. Apa lagi yang akan kau berikan di ujung jalan ini? Batinnya lagi, sembari melihat layar telepon selulernya.

Dengan ragu dia mulai membalas pesan perempuan itu: "Sudah tidur?! Bahkan jika aku sudah dikuburpun, aku akan bangkit jika kamu menyebut namaku."

Malam terus bergegas memburu pagi. Ya, perempuan itu memang selalu bisa meruntuhkan setiap prinsip yang diimaninya. Kabut tipis yang melayang di tengah jalanan yang melengang menjadi saksinya.

TEKA-TEKI


"Aku sungguh tidak layak untukmu," kata perempuan itu, sembari mengatupkan bibirnya yang pucat. Lelaki itu menatapnya nanar. Lelucon macam apa ini? Atau, ejekan macam apa itu? "Apa kamu sedang berusaha untuk mengatakan sebaliknya?" nada suara lelaki itu bergetar. Perempuan itu terisak. "Tidak, aku mengatakan yang sebenarnya," bibir pucat itu terlihat kering, tak lagi basah seperti biasa disaksikan lelaki itu. "Kenapa kamu terus mengulang-ulang kata-kata itu?" tanya si lelaki. Sebuah lemari kayu pecah dihantam tinjunya. Tinju yang tak pernah diumbarnya, kecuali pada situasi yang membuatnya merasa sesak. Tidak. Dia tidak melepaskan amarahnya di depan perempuan tadi. Itu terjadi setelah ia kembali ke rumahnya yang teduh di tengah kebun mangga di tepi sungai yang selalu mengirimi suara gemericik. Ya, itu bukan kali pertama ia mendengar kalimat itu.

Ketika pada akhirnya si perempuan tadi memiliki "keberanian" untuk menjadi kekasihnya, bertahun kemudian, pertanyaan itu tak pernah berhenti menguntitnya: apa maksud pujaan hatinya itu pernah mengucapkan kata-kata tadi? Jika maksudnya untuk meninggikan, siapalah dirinya, demikian batinnya, sehingga perempuan yang diinginkannya itu sampai menganggap bahwa dia bukan perempuan yang layak untuknya?! Jika maksud ucapan itu adalah untuk merendahkannya, kenapa pada akhirnya perempuan itu mau jadi kekasihnya, lewat sebuah penerimaan yang sebenarnya tak lagi dipintanya?!

Pertanyaan itu sangat mengganggunya. Syahdan, ketika hubungan mereka sudah berlangsung beberapa tahun, lelaki itu memutuskan untuk meninggalkan perempuannya. Perempuannya meraung-raung. Ia tak mengira lelakinya akan mengambil pilihan muskil itu. "Aku selalu mengatakan yang sebenarnya," kata perempuan itu dengan suara terbata. "Itu masalah yang selalu dihadapi perempuan jika sikap hormatnya mendahului cintanya," tambahnya dengan terguguk.

Lelaki itu hanya memandang tak percaya. Tapi kata-katanya sudah kadung jatuh. Ia belajar untuk tak gampang menoleh. Selama bertahun-tahun kemudian, ia menyesali kenapa dirinya terlalu gampang menulis kata penutup sebagaimana diucapkannya hari itu.

Tiga malam lalu, ada seorang perempuan mengucapkan kalimat yang sama padanya. Perempuan yang selalu menerbitkan purnama pada tiap kehadirannya, setelah malam gelap bertahun-tahun itu. Apakah ini sejenis kutukan? Ia hanya bisa membatin.

Apakah perempuan itu hendak menghinanya? Tapi, jika dia ingin menghinanya, kenapa dia selalu saja datang kepadanya meminta pelukan? "Di dadamu, aku selalu merasa tenang," bisik perempuan itu suatu ketika. "Aku selalu bisa beristirahat dalam pelukanmu," tambahnya. "Untuk itukah kau singgah?" lelaki itu menyelidik. Perempuan itu menjawabnya dengan sebuah lumatan bibir. "Tapi aku bukan rumah singgah," terus lelaki itu, setelah perempuan itu melepaskan ciumannya.

"Apa kamu merasa seperti itu?"

"Kadang begitu."

"Itu karena aku sesungguhnya tidak layak untukmu," kata perempuan itu. Malam mendadak hening. Ya, kalimat itu lagi. Apakah itu sejenis kutukan? Lelaki itu ingin beranjak menjauh. Tapi satu kakinya ditarik oleh perempuan itu.