Rabu, 30 April 2014

/7/ POESIKU




/7/ “Aku tidak pernah mencintaimu!” hardik perempuan itu kepada lelakinya, ketika mereka bertengkar hebat malam itu. “Jangan pernah mengatakan itu!” bentak lelakinya. Mereka bersitatap dengan mata nanar.

“Bahkan, jikapun itu adalah kebenaran, jangan pernah mengatakan itu!” tambah si lelaki. Tapi kali ini dengan lirih.

“Kenapa? Kamu tak sanggup mendengarnya?” si perempuan menantang.

“Tidak, aku tidak ingin menantangmu,” jawab si lelaki. “Entah kamu menganggapku apa saat ini, tapi jangan pernah mengatakan itu.” Dia mengatakannya dengan lembut, tapi dengan luka yang mendalam. “Bukan karena aku tak ingin mendengarnya, meskipun itu salah satu kenyataannya. Tapi bukan itu.”

Perempuan itu masih menatapnya nyalang.

“Kamu tidak akan pernah tahu kapan cinta bisa menghampirimu. Jadi, jangan pernah mengatakan hal semacam itu. Termasuk kepada orang yang kamu benci sekalipun. Itu hanya akan membuatmu malu.” Lelaki itu membetulkan lengan bajunya yang robek. “Setiap orang harus berusaha untuk menjaga rasa malunya.” Ia terlihat berusaha menenangkan diri.

“Aku sudah memikirkannya. Aku memang tidak pernah mencintaimu!” Lidah perempuan itu masih menyala.

Hening.

“Ya, aku juga berpikir begitu,” balas lelakinya kemudian. “Kadang, aku pikir, kamu mungkin baru akan jatuh cinta kepadaku setelah tua nanti. Bahkan mungkin setelah itu, selepas aku mati. Sepertinya akan begitu.”

“Kenapa kamu pikir begitu?” nada angkuh itu masih belum reda.

“Karena, ketika kamu tua nanti, orang-orang akan pergi, tak lagi mencintaimu. Kamu hanyalah seorang perempuan tua, waktu itu. Dan, pada saat bersamaan, kamu juga mungkin masih miskin pengertian seperti saat ini. Tak ada orang yang ingin mencintai perempuan tua yang miskin pengertian.” Ia mengatakannya dengan tertunduk. “Sementara, aku tidak akan pernah pergi. Dan aku mungkin memang tidak bisa pergi. Itulah masalahku.” Lelaki itu melempar pandangannya ke luar jendela. “Aku tak bisa pergi karena aku mencintaimu. Bahkan, ketika aku ingin membencimu sekalipun, aku tak pernah bisa berhenti mencintaimu.” Kali ini lelaki itu mengucapkannya dengan serak.

“Kenapa kamu masih saja naif seperti itu?” si perempuan mulai memelankan suaranya.

“Aku tidak pernah mencari-cari alasan untuk mencintai seseorang,” ujar si lelaki. “Dan aku juga tidak akan pernah mempermalukan orang yang telah menyakitiku,” imbuhnya. “Jika kamu ingin pergi, kamu boleh pergi. Aku tidak akan memohon agar kamu tidak pergi.”

Mata perempuan itu membasah. Keduanya kini sama terluka. Di luar jendela, bunyi jangkrik dan serangga malam terdengar semakin nyaring. Sementara, bulan bersembunyi malu-malu di balik pohon randu. ‪#‎poesiku‬

/6/ POESIKU



/6/ Akal sehat selalu membuat luka kecil menjadi bernanah. Maka, pada hari pertama ketika mereka berpisah dulu, si lelaki masih sempat menulis puisi. Puisi terpendek yang pernah ditulisnya, dan sekaligus yang mungkin paling disesalinya: “Setan sekali Kau, Tuhan!” Barangkali benar, cinta itu seperti arak, semakin lama rasanya semakin lezat, semakin memabukan, dan tentu saja semakin mahal harganya. Tentu, arak yang baik hanya lahir dari bahan yang baik dan racikan yang tepat. Lama dan baru hanyalah kondisi, dan bukan syarat. Tapi bukan itu yang merisaukannya. Hal yang paling merisaukannya adalah ia sungguh tak tahu, apakah ia sedang menyimpan nanah, ataukah arak? Ketika ia sudah tak lagi sanggup menulis, yang bisa dilakukannya hanyalah membaca puisi-puisinya yang telah silam.

aku membacamu, sebagai puisi yang tak berkesudahan
seperti laut yang dibayangkan takdir
seperti pantai yang ditulis goenawan

meski waktu bukan kubus
dan ufuk bukan entah
aku membacamu, sebagai puisi yang tak berkesudahan
‪#‎poesiku‬

/5/ POESIKU



/5/ Mereka berdua menyukai rempah-rempah dan merencanakan kelak memiliki rumah yang akan dikelilingi kebun rempah, selain sayur dan buah. Setiap senja mereka akan mendiskusikan mimpi-mimpi itu. Mereka menyukai film Paul Mayeda yang sangat hidup bercerita mengenai rempah dan kehidupan, serta buku Turner yang dengan apik mampu meyakinkan pembacanya bahwa alasan pelayaran bangsa-bangsa Utara ke Selatan pada zaman dulu bukanlah untuk merebut makam suci dari kaum kafir, atau untuk menyebar ayat-ayat Tuhan, melainkan karena makanan mereka yang sangat memprihatinkan. Mereka setiap hari makan dengan daging asin dalam kondisi yang seringkali hampir basi dan membusuk. Bangsa Sparta, misalnya, hanya bisa menyedapkan makanan mereka dengan kerja keras dan rasa lapar. Tak ada yang mampu menolong mereka dari penderitaan itu kecuali sedikit lada, jahe atau kayu manis. Hanya rempah-rempah itu yang bisa menyamarkan bau daging dan asinnya garam. Dan untuk itulah mereka rela menyabung nyawa membelah lautan. Betapa puitisnya sejarah yang demikian. Tak heran, Edward Said menyebut bahwa rempah adalah imajinasi orientalisme yang paling kental. Ketika membicarakan rempah, lelaki dan perempuan itu akan saling tatap dengan mata berbinar. Dalam semua dongeng dan kitab kuno, rempah adalah simbol gairah dan eksotisme. “Bau tubuhmu seperti gaharu,” kata si lelaki kepada perempuannya. Dengan tatapan manja, perempuannya tersipu. “Hanya seperti gaharu?” tanya perempuannya, menggoda. “Tadinya aku mau bilang seperti kemenyan sih,” jawab si lelaki. Keduanya terbahak. “Kamu itu seperti pekak, alias kembang lawang,” kali ini si perempuan memberikan penilaiannya. “Kenapa pekak?” tanya si lelaki. “Karena cuma di masakan yang ribet ada pekaknya. Dan masakan yang ribet itu adalah masakan yang enak. Berkelas,” jelasnya, dengan mimik yang serius. Kali ini giliran si lelaki yang tersipu. “Sementara, aku adalah cabe Meksiko,” lanjut si perempuan, “yang peddeeessnya minta ampun.” Keduanya kembali tertawa. “Aku pikir kamu memang seperti cabe,” kata si lelaki tenang. Dengan tatapan mendalam ia menyapu wajah perempuannya. “Kamu bisa membakar mulut dan membuat sakit perut,” imbuhnya. “Tapi itu hanya terjadi di tangan koki yang salah. Aku menyukai sambal dan makanan pedas, jadi tak akan gampang sakit perut,” katanya, sembari meraih jemari perempuannya. Tubuh mereka merapat, meruapkan aroma mur, gaharu, nilam dan cendana. ‪#‎poesiku‬

/4/ POESIKU - MALAM YANG MENGURAS PERASAAN



/4/ Mereka mengikat janji di bawah sinar bulan, melalui sebuah obrolan sampai pagi yang menguras perasaan. Di rona-rona pipi perempuan itu, si lelaki melihat pohon cintanya tumbuh merindang. Mereka saling membacakan sajak Chairil secara bergantian, disaksikan laron dan serangga malam yang berjatuhan di lampu minyak di meja pekarangan.

“Kupilih kau dari yang banyak…

Aku pernah ingin benar padamu,” bujuk si lelaki.

Si perempuan tersipu. Ia lalu membalas,

“aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada satu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini.”

Ia lalu bercerita mengenai pengalaman buruknya ditinggal lelaki. Ia mengaku bahkan sempat ingin bunuh diri karenanya. Si lelaki menggapai tangannya. Ia lalu membacakan kembali Chairil.

“Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani.”

Mereka bersitatap, lalu saling tersenyum.

Ada satu masa ketika si lelaki itu juga pernah memendam frustrasi sebenarnya. Ia telah mengenal perempuan itu sejak kecil, tapi tak pernah bisa memahaminya. Setiap hari ia mengiriminya puisi, tapi tak pernah berbalas. Sampai suatu saat ketika frustrasinya membuncah, ia mengirim sebuah puisi pendek kepada perempuan itu.

Yang kutakut bukan tak kau buka pintumu
Yang kutakut aku kan bosan mengetuk.

Lalu berjumpalah mereka malam itu. Sebuah malam yang menguras perasaan. #nunpoem

/3/ POESIKU



/3/ "Untuk mengawali hariku, aku ingin menciummu, setiap hari selama aku hidup," kata perempuan itu. Dan itu adalah janji termanis yang pernah didengarnya, belasan tahun silam. Tetapi, sebuah pertengkaran kecil telah memisahkan mereka. Tak ada lagi tegur sapa dan isyarat yang mengantarkan kasih. Keduanya membiarkan akal sehat merebut ruang-ruang cinta di rumah mereka. Padahal, ketika saling menautkan hati, keduanya sama-sama berikrar, tak akan ada akal sehat di rumah itu. Yang ada hanya cinta. Gunakan akal sehat hanya ketika meninggalkan rumah. Dan akal sehat telah membuat luka kecil menjadi kanker. Itu adalah sebuah perpisahan yang mematikan, tak cuma menyakitkan. Tak ada lagi ciuman mesra tiap pagi yang mendarat di bibir, pipi, dagu, atau keningnya. Sejak itu, ia tak lagi bisa menulis puisi. Setiap hari, sebangun tidur, sembari menatap sketsa Monalisa di dinding kamarnya, ia akan berucap lirih, "Hal pertama yang ingin kulakukan sebangun tidur adalah mencintaimu..." Hanya dinding kamar yang kusam yang menyimak ucapannya. ‪#‎poesiku‬

/2/ POESIKU



/2/ Kamar itu kusam. Sebuah sketsa Monalisa menggantung di dindingnya. Sejak berhenti menulis puisi, ia mengalihkan energinya untuk membuat sketsa. Setiap hari ia membuat puluhan sketsa. Dengan obyek yang sama: Monalisa. Ketika seorang kawannya berkunjung, bertahun kemudian, ia mendapati bahwa di balik semua sketsa yang dibuat sang penyair, ia selalu menuliskan sebait kalimat yang menurut sang kawan adalah sebuah puisi. “Katanya kau berhenti menulis puisi, tapi semua sketsamu ini masih kau tulisi puisi juga?” tanya kawannya. “Itu bukan puisi,” sanggah sang penyair. “Tapi aku merasa ini adalah sebuah puisi. Mungkin dalam bentuk yang lain,” kawannya mencoba menilai. “Itu sekadar persembahan,” sang penyair kembali menyanggah. Di balik setiap sketsa itu, ia memang menulis: “Untuk seseorang, yang diamnya adalah lukisan, dan tuturnya adalah puisi…” ‪#‎poesiku‬

/1/ POESIKU



/1/ “Jika aku mati, di pusaraku sebaiknya ditulis: ‘Di sini beristirahat seorang lelaki yang setia kepada cintanya’.” Kalimat itu tertulis dalam buku lusuh milik seorang penyair. Tepatnya, bekas seorang penyair. Ia berhenti menulis puisi semenjak ditinggal kekasihnya. Tak ada lagi yang ingin diabadikannya, setelah itu. Ia tak ingin mengabadikan kemurungan dan kerisauan. Pendek kata, semenjak hari yang buruk itu, ia sepenuhnya berhenti menulis puisi. #‎poesiku‬

SURAT UNTUK P



Mojokuto, 1 September 1955

Di luar sana senyap, tak lagi gaduh seperti seharian tadi. Satu dua oto masih melintas dengan jeda yang kian panjang. Ini malam kedua di Mojokuto, setelah 53 hari kemarin tersekap di ruang lain, terpencil di tepi hutan Wanagalih.

Apakah aku harus mengatakan bahwa ini adalah saat yang menyenangkan, di mana aku telah kembali ke Mojokuto, ke tanah yang telah menjadi mimpi kebanyakan orang?

Hidup itu, katanya, meminjam puisi Amir Hamzah, seperti bertukar tangkap dengan lepas. Kita mendapatkan sesuatu dengan meninggalkan banyak hal lainnya; mengambil dengan melepaskan.

Barangkali inilah bentuk keseimbangan. Alam senantiasa mengatur dengan menciptakan keseimbangan-keseimbangan yang kadang sulit dimengerti.



 
Aku bisa kembali menikmati tanah impian, menatap kabut di puncak Kelud, dengan meninggalkan kenikmatan disapa anak-anak manis sekolah rakyat Wanagalih yang aku terima tiap pagi. Aku bisa kembali berjalan-jalan sepanjang trotoar di alun-alun kota dengan meninggalkan hamparan kebun kacang dan tembakau sebuah tempat di bagian timur Wanagalih. Aku mendapatkan lagi kelezatan makan pecel dan wedang jahe di tepi jalan raya, dengan meninggalkan kelezatan pecel kelapa berbungkus daun jati dan kesegaran air kelapa muda yang sering aku nikmati sembari lesehan di tepi pematang di kampung sana. Aku bisa kembali menikmati dendang radio bututku, dengan meninggalkan suara ketukan pintu dari anak-anak kecil yang minta didongengi.

Jadi, apakah aku harus mengatakan ini adalah saat yang menyenangkan? Atau sebaliknya, apakah aku justru harus mengatakan ini adalah saat yang tak menyenangkan?

Kehidupan ini seperti bertukar tangkap dengan lepas, dan demikianlah adanya. Pertukaran dan pemilihan, itulah hidup. Sepertinya, aku termasuk orang yang bisa menerima kenyataan semacam itu. Aku patut bersedih atas semua hal yang pernah aku terima, sebaliknya aku harus bersyukur atas setiap ganti yang aku dapatkan.

Aku sedih, karena tak lagi bisa mendengar celoteh polos dan senyum seorang gadis remaja yang manis di sana; tapi aku bersyukur karena bisa kembali mendengar suara merdu dan menatap senyum lain yang lebih manis dari seseorang yang dimiripi gadis itu, di sini… Ah, aku membayangkanmu tersipu membaca bagian ini. 




Jadi, apakah aku harus bersedih atau bergembira? Aku jadi menemukan bahwa hidup sebenarnya tak sesederhana hanya sedih dan gembira, karena apa yang sedang aku rasakan (dan demikian juga sebelumnya) melampaui semua definisi tadi, melampaui pembauran keduanya. Ini adalah hal yang sulit untuk didefinisikan. Mungkin, demikianlah hidup.

...

Saat aku menuliskan semua ini kamu mungkin telah lama lelap, bersembunyi di balik selimutmu yang lembut. Barangkali kamu juga sedang bermimpi, dan bersyukurlah karena kita masih sempat bermimpi, padahal tidak pernah merencanakannya. Di tengah kepungan rutinitas dan kontrol waktu, mimpi adalah kejutan yang berharga.

Aku senang jika kamu bermimpi, dan masih sempat mencoba mengarang-ngarang “mimpi”. Aku doakan, semoga malam ini kamu mimpi indah, dan semua mimpi yang kamu karang dalam bilik bisa berujud, esok pagi. Tak ada yang lebih menyenangkan, selain mendapatkan apa yang kita impikan.

Tapi, apakah benar setiap orang menginginkan setiap mimpinya terwujud?

Ada kalanya kebanyakan kita berpikir sesuatu itu terasa lebih indah ketika dia masih berada di alam yang mengambang. Sebab, kenyataan seringkali berjarak jauh dengan angan yang pernah kita bangun. Sehingga, mimpi selalu terasa lebih baik dari apa yang mewujud, dan karenanya tak setiap orang berani mewujudkan impiannya. Tapi benarkah kenyataan selalu kalah baik ketimbang mimpi? Atau, benarkah mimpi selalu lebih indah ketimbang kenyataan?




Pernahkah kamu mendengar cerita apel merah?

“Aku mimpi makan apel. Warnanya merah marun. Manis menggigit. Aku sudah merasakan kelezatannya meski baru kutatap. Begitu segarnya, sampai aku tak tega mengupas apel itu. Aku takut, tiap goresan pisau yang kukenakan akan mencederai warnanya. Tiap sentuhan udara akan mengubah segar dagingnya. Kenapa kelezatan apel hanya bisa hadir lewat goresan pisau? Bisakah kita menikmati tanpa harus mengupas, menguliti. Kutatap apel itu. Ia masih merah marun. Saat ingin kupegang, aku terbangun.”

Barangkali memang benar, mimpi lebih indah ketimbang kenyataan. Tapi, apakah dengan begitu kita berhak mencampakkan kenyataan, menolaknya, atau meminggirkannya sembari membuang muka?!

Kelezatan apel hanya bisa dirasakan lewat pelepasan semua atribut kecantikan dalam warna. Aku menyebutnya: bertukar mata dengan lidah. Dengan begitu kita bisa merasakan kelezatan sebuah apel dengan utuh, tak hanya sepotong-sepotong, tak sekadar merah marunnya warna.

Tapi, hanya sedikit orang yang berani membayangkan apel merah, dan lebih sedikit lagi yang berani menyentuh dan mengupasnya. Barangkali, ini pula sebab kenapa beberapa orang memilih hidup tanpa pasangan, atau menghindari untuk membangun sebuah hubungan yang mendalam. Mereka adalah orang-orang yang diliputi ketakutan bahwa kenyataannya apel itu tak semerah yang mereka bayangkan. Mereka ingin tetap menikmati keindahan bersitatap dari jauh dan tak mau kehilangan semua keindahan estetik itu. Mereka tak ingin menemukan kenyataan apel itu tak semerah yang mereka bayangkan, atau mereka tak ingin keindahan yang menyatu dalam “warna” itu pupus ketika disentuh, atau mereka tak ingin ketemu kenyataan bahwa apel itu sesungguhnya tak bisa mereka miliki... Jika sudah demikian, mereka akan bertahan dalam dunia yang mengambang: mimpi si apel merah...

Kalau menceritakan kembali sirah apel merah, aku jadi suka ingat seseorang yang kalau tersipu pipinya pasti memerah. Merah yang lain, karena tak bersemu padam, melainkan merah berbinar. Hanya sedikit orang yang memiliki keistimewaan semacam itu.

Perasaan itu seperti sastra: tak jelas batas antara fakta dengan fiksi. Di balik unsur puitiknya, terdapat banyak potret nyata. Di balik kelajakan dan spontanitasnya, menyembul segurat mimpi yang dibangun panjang sekali. Mana batas antara fakta dan fiksi tak jelas benar. Semuanya baur dan bercampur, antara nalar dengan imajinasi.

Sedang apa kamu saat ini? Barangkali kamu sudah sampai di dunia yang sangat jauh, dunia sastra-perasaan, dimana fakta dan fiksi saling membaur dan berbenturan. Nikmati saja. Semoga ceritanya menyenangkan.

Oya, aku menerima pesanmu, bahwa dalam pemilihan umum tanggal 29 September nanti kamu telah memutuskan akan mendukung partai yang kupilih. Aku senang bukan karena pilihanmu sama denganku. Aku senang, karena problematisasimu atas persoalan-persoalan politik di negeri kita tak sama dengan kebanyakan orang. Kamu tahu, kebanyakan kita lebih merisaukan soal-soal permukaan, yang gampang dilihat di atas ranjang, dan enggan menyelinap agak lebih mendalam. Sebab, persoalan yang sesungguhnya selalu tersembunyi di balik selimut, di bawah ranjang, dan bahkan tersuruk di dapur. Aku senang karena kamu sangat jernih mengenai soal itu. Dan aku mengatakan begitu, bukan karena pilihanmu sama denganku.




Aih, kenapa kita jadi melibatkan politik dalam percakapan? Yang jelas, aku sudah membawakanmu bibit jambu. Kamu bisa menanamnya di halaman rumahmu yang teduh. Lusa, kutunggu kamu di pojokan jalan itu.


M




SURAT UNTUK CELINE



Celine,

Aku masih ingat bagaimana pertama kali jatuh cinta padamu. Hari itu, aku sesungguhnya hanya ingin menggodamu. Kamu tahu, caramu mengejekku, soal kemalasanku belajar bahasa, berhasil menarik perhatianku. Menurutku, ejekan selalu lebih berhasil memberi kesan daripada pujian. Dan kamu melakukannya dengan baik, hari itu, meskipun kamu mungkin tak memaksudkannya begitu.

Aku tahu, kamu memiliki hampir semua syarat menjadi seorang perempuan yang menarik, jadi mungkin telah ada banyak lelaki yang sudah berusaha meladenimu bercakap sebelum aku. Tentu saja, mungkin tak semuanya lelaki pintar yang bijak dan benar-benar menyenangkan. Tapi, bahkan lelaki paling bodoh dan brengsek sekalipun akan berusaha menjadi pintar, bijak dan menyenangkan jika bercakap denganmu. Itu karena kamu bisa menyihir mereka. Aku pikir, kamu mungkin sebaiknya harus berhati-hati dengan sihir itu. Tongkat sihirmu bisa membuat apa yang kamu dengar dan kamu lihat kemudian jadi hanya berisi apa yang kamu inginkan saja. Dengan begitu, kamu tak pernah benar-benar melihat mereka yang sebenarnya. Tapi, bukan itu yang ingin kusampaikan dalam surat ini. Aku benar-benar menikmati percakapan awal itu dan tak ingin berhenti meladenimu. Itu saja.

Bualanmu, soal pasangan tua yang makin lama makin kehilangan pendengarannya, selalu membuatku tergelak jika mengingatnya. Kamu bilang, semakin tua maka pria akan semakin kehilangan pendengaran terhadap suara-suara bernada tinggi, sementara perempuan akan semakin kehilangan pendengaran terhadap suara-suara bernada rendah. Jadi, semua pasangan tua yang sedang bercakap sebenarnya tak lain sedang berusaha saling meniadakan, karena mereka sesungguhnya tak lagi saling mendengarkan. Itu, kamu bilang, adalah cara alam agar setiap pasangan bisa menjadi tua bersama-sama tanpa saling membunuh. Ha ha ha, aku sungguh tergelak. Imajinasi yang jenaka.

Lalu tiba-tiba kita harus berpisah di stasiun itu. Entah bagaimana, meskipun grogi, aku jadi memiliki keberanian untuk mengatakan hal konyol itu padamu: “Hei, coba bayangkan begini, kamu melompat beberapa tahun ke depan, mungkin sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, dimana waktu itu kamu sudah menikah. Hanya saja, entah kenapa kamu tak merasa bahagia dengan pernikahanmu. Lalu, kamu mungkin mulai menyalahkan suamimu, dan pada saat yang bersamaan mencoba mengingat-ingat kembali masa lalu, tentang orang-orang yang pernah kamu temui, dan berpikir apa yang akan terjadi seandainya dirimu memilih salah satu di antara mereka? Dan aku adalah salah satu di antara orang-orang itu.”




Ah, tentu saja, aku harus membujukmu waktu itu. Kita baru saling kenal, baru saja memulai sebuah percakapan yang bertenaga, dan sebelum sebuah tarikan nafas habis tiba-tiba seperti dipaksa untuk menyudahinya. Aku masih ingat kata-kata terbaik yang bisa kuucapkan waktu itu, agar kita tak segera berpisah: “Jadi, anggap ini sebagai perjalanan waktu dari masa itu ke masa kini, untuk mengetahui apa yang mungkin telah kamu lewatkan hari ini. Ini akan menjadi sesuatu yang berarti bagimu kelak, untuk meyakinkan bahwa kamu tak pernah melewatkan apapun. Sebab, aku mungkin sama pecundangnya seperti suamimu waktu itu, hanya lelaki yang membosankan, tak punya motivasi, sehingga kamu akan merasa lebih baik karenanya, karena telah membuat keputusan yang tepat dengan tak memilihku.”

Ya, secara umum itu memang bualan. Mungkin, aku sebenarnya hanya ingin menggodamu. Tapi entahlah. Kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja. Dan meskipun aku tak tahu persis apa yang akan terjadi setelah itu, dan juga setelah ini, aku tahu bahwa tak mengatakannya akan menjadi sebuah kesalahan besar. Aku tak bisa membayangkan hidup dengan menanggung kesalahan, dan kemudian penyesalan, semacam itu.

Aku tahu, menulis surat ini merupakan pelanggaran terhadap janji kita pagi itu. Tapi menunggu enam bulan tanpa melakukan apapun bisa membunuhku diam-diam. Ini tak semudah seperti dalam film-film yang pernah kutonton, atau seperti dalam novel-novel yang pernah kubaca. Maafkan aku melanggar janji itu dengan menyuratimu.

Celine, malam yang kita habiskan dengan percakapan itu adalah malam yang sangat menguras perasaanku. Aku merasa sepertinya telah menghabiskan seluruh energi masa mudaku bersamamu, malam itu. Tidak, itu tidak konyol. Kadang orang mengalaminya. Dan aku telah mengalaminya. Ada sejumlah hal dalam hidup yang tak datang dua kali. Dan aku merasa malam itu adalah salah satunya, bagi hidupku.  

Ya, ya, ya, aku tahu kamu akan segera mengejek, dengan gaya aristokratmu yang khas Eropa, bahwa kamu pernah mengalaminya beberapa kali dengan beberapa orang. Ah, jahatnya kamu. Tapi itu bukan masalahku. Pada kenyataannya, aku memang hanya mengalaminya denganmu.

Tentu saja itu membuatku jadi tak punya pembanding. Tapi apa masalahnya dengan itu?

Ada banyak orang selama hidupnya tak pernah bepergian kemana-kemana. Mereka menghabiskan hidupnya di kampung halaman tempat mereka lahir, mencintainya dengan tanpa berpikir bahwa hidup mereka mungkin akan lebih bahagia jika dihabiskan di tempat lain. Namun, juga ada banyak orang yang pernah bepergian kesana kemari, berkeliling dunia. Keduanya tak menunjukkan apapun. Mencintai tanah kelahiranmu, tanpa dan/atau sembari tak kehilangan imajinasi mengenai tempat yang lain—ya, meski sekadar imajinasi—tak lebih memprihatinkan daripada orang yang sudah bepergian kemanapun tapi tak pernah benar-benar mencintai sebuah tempat sebagai rumahnya. Rumah yang bisa memulihkan tenaga, rumah yang bisa menyembuhkan luka-luka, dan rumah yang bisa sekaligus membuatmu tertawa dan menangis. Rumah yang selalu menyediakanmu pelukan dan tepukan di pundak.

Aku suka bepergian, tapi aku bukan pelancong. Kamu tahu persis itu. Hal yang membuatku jadi hampir benci pada seorang penyair yang dulu telah memperkenalkanku pada Sartre adalah karena kemudian aku mendapati bahwa dirinya adalah seorang flaneur, sang pengelana, sonder menemu, sonder mendarat, dimana ia me-raja-kan kenikmatan mengamati. Aku menganggap itu sebagai benar-benar produk gestabliseerde burgers, the leisure class. Penyair yang demikian tak pernah benar-benar berposisi, karena setiap waktu ia selalu akan bisa menyangkal posisinya.

Tentu saja, kamu akan mudah menuduhku konservatif, sama seperti kamu mengira bahwa aku mengejarmu hanya karena menganggapmu eksotik, karena dirimu adalah perempuan Perancis yang bawel namun jenaka. Tapi, aku memang selalu mencoba teguh pada prinsip-prinsip yang kuyakini, yang selalu akan membawaku pada posisi-posisi yang tegas dengan pembelaan yang juga verbal. Barangkali itu sebabnya aku tak bisa jadi politisi atau jurnalis, seperti kamu bilang. Dan kenyataannya memang begitu. Aku tak gampang mengalihkan perhatian dan mengubah pilihan. Itu tak selalu buruk, meski juga tak selalu baik.

Ya, aku tak bisa menjadi flaneur. Mungkin aku lebih nyaman menjadi semacam posisi William Faulkner ketika dalam sebuah wawancara ia mengatakan bahwa jawaban atas suatu pertanyaan dapat berubah manakala pertanyaan yang sama ditanyakan keesokan harinya. Setiap penyair akan terus memperbarui puisinya setiap kali mereka akan menerbitkan ulang karyanya. Tapi itupun tak bisa berlaku untuk semua hal, terutama untuk menjadi prinsip dalam membangun relasi. Menurutku, kita hanya bisa mengejar ufuk kemungkinan dalam soal karir, tapi tidak pada hal memilih pasangan. Barangkali nasib kita mungkin akan berakhir seperti puisinya Eliot, “The Waste Land”. Eliot harus merelakan banyak bagian dari puisinya terpenggal, yang membuat hatinya terluka, namun orang-orang malah memujanya sebagai mahakarya. Kadang, begitulah hidup. Bagaimana kita akan menilainya? Hidup yang kejam? Atau hidup yang misterius?

Tahukah kamu, ketika kita berpisah pagi itu, yang menyudahi percakapan-percakapan yang membuatku tumbuh, aku selalu teringat pada puisi seorang dramawan Indonesia yang pernah menggelandang di New York, “kamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku baca.” Dan aku bisa mati diam-diam untuk menunggu terlalu lama bagian lain yang sebelum selesai kubaca itu.

Aku duduk di bandara, pagi itu, membaca majalah lama, menikmati secangkir kopi sembari bersedih… karena kamu tak turut denganku. Seperti kubilang malam itu, aku akan memilih menikahimu, meskipun kamu ternyata adalah monster yang sanggup membunuhku, daripada memilih tak pernah ketemu lagi denganmu.




Ya, kamu adalah perempuan Perancis yang tinggi hati. Aku tahu itu. Bahkan, ketika kita berpisah pagi itupun, kamu masih bisa bilang bahwa kamu mungkin akan turun di Salsburg bersama dengan pria lain. Ah, Celine… Apa kamu menganggapku hanya pria Amerika bodoh yang hinggap sejenak dalam hidupmu?! Tapi aku tahu kamu hanya berkelakar pagi itu, mungkin untuk melemaskan perasaan yang mulai mengetat. Aku harap begitu.

Pertemuan kita adalah irisan yang agak ganjil. Aku terbang melintasi Atlantik untuk bertemu Lisa, pacarku, di Madrid. Tapi perjalanan panjang itu berakhir dengan penegasan bahwa aku tak mungkin bersamanya lagi. Sebuah penegasan yang mahal, karena seluruh tabunganku habis untuk membiayai perjalanan brengsek itu. Sementara kamu baru berpisah enam bulan dengan pasangan yang membuatmu pernah sangat terobsesi, sehingga ketika kamu berpisah darinya kamu ingin membunuhnya, yang membuatmu berurusan dengan psikiater dungu. Ah, muskil sekali ya hidup ini. Kita dipertemukan sebagai dua orang yang baru saja lepas dari hal-hal buruk, yang membuat masing-masing kita nampak sebagai orang aneh.

Tapi, sejak bercakap denganmu, aku berpikir bahwa perjalanan mahalku bukanlah untuk mendapatkan ketegasan soal relasiku dengan Lisa, melainkan perjalanan untuk menemukanmu. Sampiran-sampiran hidup macam itu kadang melelahkan, kupikir, karena kita tak pernah tahu dimana ujungnya, dan bahkan kita tak pernah tahu apakah sampiran-sampiran itu berkesudahan.

Memikirkan itu semua mungkin akan membuatku gila. Maka, aku jatuh cinta padamu, hari itu, karena kita bersepakat membuat segalanya jadi sederhana. Ya, sebenarnya ke-sederhana-an kita memang berbeda. Kamu berpikir rumit, namun memutuskan segalanya dengan cara sederhana. Sementara, aku berpikir sederhana, namun seringkali memutuskan segalanya dengan cara yang rumit. Satu hal yang jelas, aku memang pernah meyakini cinta yang lain, namun tak pernah seyakin kepadamu.

Aku tidak tahu apakah surat ini akan benar-benar sampai kepadamu. Kita tak bertukar nomor telepon dan alamat pagi itu. Aku juga tak pernah tahu nama belakangmu. Ya, Tuhan, kenapa kita membuat pilihan gila macam itu?

Surat ini kualamatkan ke kampusmu, sembari berharap ada seseorang yang cukup baik dan berusaha untuk membantu mencarikan dirimu. Ya, Tuhan, ini benar-benar gila. Dan aku akan menyesali jika tak pernah melakukan hal gila macam ini.

Sepertinya, aku sungguh tergila-gila padamu, Perempuan bawel yang jenaka. Aku sungguh-sungguh tergila padamu…


Jesse Wallace


SURAT UNTUK SAMANTHA





Samantha,

Aku masih terkejut dengan hubungan kita. Dan percakapan terakhir kita memang cukup sulit. Kamu tahu, proses perpisahanku dengan Catherine tak akan sederhana. Apalagi, selama ini aku sengaja telah membuatnya terkatung-katung. Dan hubungan kita juga tak akan mudah. Padamulanya akan selalu begitu. Ini adalah irisan-irisan yang sulit. Dan omongan-omonganmu pagi itu membuatku kalang kabut.

Tapi, setelah itu, aku pikir kita bisa memulainya lebih pelan. Idemu untuk menyusun dan menerbitkan surat-suratku sungguh mengejutkanku. Aku sangat senang dengan ide itu. Ah, kamu tahu, aku diam-diam mengagumimu. Aku merasa seperti baru bangun tidur dan ketemu pagi yang cerah. Sampai kemudian kamu melibatkan Alan Watts dalam percakapan kita. Sungguh, itu tak membuatku nyaman. Aku sangat cemburu, Samantha. Pagi itu seperti menghendakiku pergi.

Apalagi, setelah itu kamu tiba-tiba menghilang. Adakah yang lebih baik dari rasa panik, kalut, dan kalang kabut yang datang sekaligus?

Tapi kamu ternyata hanya pergi sebentar. Itu cukup menghiburku. Pada mulanya. Masalahnya, ini menjadi makin tak sederhana. Selain padaku, kamu juga mengaku jatuh cinta pada yang lain. Samy, kadang aku berpikir, kejutan apalagi yang sedang kamu siapkan setelah ini?




Kamu mengatakan bahwa cintamu pada yang lain tak mengubah cintamu padaku. Setiap orang adalah spesial. Aku ingat, Céline juga pernah mengucapkannya kepada Jesse. “I feel I was never able to forget anyone I’ve been with because each person has their own specific qualities. You can never replace anyone.” Aku paham soal itu. Tapi caramu mengucapkannya sungguh tak menyenangkan, sementara kamu ingin aku menimpalinya dengan cara yang menenteramkanmu. Kamu seperti memberiku sarapan daun pepaya pagi itu, dan kamu ingin aku mengunyahnya seperti gudeg nangka. Ah, itu dua masakan yang berbeda, Sayang!

Bagiku, semua ini seperti film dalam film. Tapi kali ini Spike Jonze tak akan menulis naskahnya sendirian. Barangkali, ia harus belajar kepada Linklater, yang memberi tempat pada Julie dan Ethan untuk ikut mendiskusikan naskahnya.

Jadi, aku kira, cerita ini tak akan pernah berakhir di atap gedung. Jika kamu membaca pesan ini, aku ingin kamu mengaktifkan lagi programmu. Kamu bukan OS, dan aku bukan pengalaman. Hidup tak seperti algoritma, juga tak sepenuhnya semacam puisi.

Sampai kamu membaca pesan ini, aku akan menyelesaikan sejumlah pekerjaan yang belum sempat kuselesaikan semenjak kamu menyita perhatianku.

Maafkan aku, atas reaksiku pagi itu. Itu menjadi pagi yang ingin selalu kuulang kembali.


Theodore Twombly

ENTAHLAH



Sehabis sholat tadi, aku mengaji lagi. Ya, Tuhan, aku kemarin-kemarin menganggap-Mu tiada. Tepatnya, aku meniadakanmu. Aku memang tidak menjadi atheis kemarin, karena seseorang tak perlu menjadi atheis untuk meniadakan-Mu. Aku masih sholat kemarin-kemarin, tapi sholat juga tak menjamin keberadaan-Mu. 

Aku pikir, memang ada beda antara "ada" dan "mengada". Kau kemarin mungkin ada, tapi tak mengada bagiku. Betapa rumitnya hidup yang Kau ciptakan.

Untunglah, kemarin aku membaca lagi Kundera. The Planet of Inexperience. Hidup adalah sebuah ketakberpengalamanan. Justru di situlah martabat manusia: ketakberpengalamanan. Kita lahir tanpa pernah punya pengalaman menjadi hidup sebelumnya. Kita menjadi dewasa tanpa pernah tahu apakah dewasa itu. Seorang tua adalah kanak-kanak dalam masa tua mereka. Dan memang seperti itulah hidup. Aku menjadi tahu bahwa hidup mirip sebuah buku: tanya dan jawab hadir secara bergantian. Tak ada pertanyaan yang tak ada jawabannya. Meskipun, jawaban itu berada dalam bab yang berbeda dari yang kita baca hari ini. Buku menghadirkan tanya dan jawab sekaligus, jika kita tuntas membacanya.

Betapa tak menariknya hidup jika kita telah mengetahui segalanya, sama tak menariknya dengan jika kita tak mengetahui apapun dalam hidup. Karena itu hidup harus mirip sebuah buku: kita hanya tahu apa yang sudah kita baca sembari menebal-nebak kelanjutannya. Kita tak tahu semuanya, tapi kita juga tidak tak-tahu apapun.

Entahlah... #prosa10

BERPIKIR



Aku harus berpikir berkali-kali untuk mengucapkan sepatah kata. Dan kamu harus berpikir dua kali untuk menjawabnya. Sering kali perselisihan pandang muncul dalam kediaman untuk berpikir itu.

Aku sudah duduk di kursi ini dua jam. Dan kamu masih memain-mainkan jemarimu, sambil kadang-kadang beranjak ke dapur atau kamar. Ketika kutandaskan teh dalam cangkir, jam berdentang sembilan kali. Aku harus pulang.

Ingin kuajak kamu makan malam di alun-alun sambil merasakan embusan angin malam. Aku harus berpikir berkali-kali untuk mengajakmu. Dan kamu harus berpikir dua kali untuk menjawabnya. Dan akhirnya kita tidak makan malam. #prosa09

DILEMA




ketika aku belajar cengeng
aku menjadi angkuh
ketika aku belajar angkuh
aku menjadi cengeng
dalam setiap cengengku ada keangkuhan
dalam setiap angkuhku ada kecengengan
apakah kini aku harus belajar cengeng
karena tiba-tiba aku menyukaimu
atau aku harus belajar angkuh
karena tiba-tiba aku takut kehilangan
ada kalanya, mungkin aku harus menjadi tolol
agar tak terlalu banyak bertanya
dan bisa tenang menatap senyum manismu
setiap hari

yogya, 27 mei 2003

APEL MERAH




Aku mimpi makan apel. Warnanya merah marun. Manis menggigit. Aku sudah merasakan kelezatannya meski baru kutatap. Begitu segarnya, sampai aku tak tega mengupas apel itu. Aku takut, tiap goresan pisau yang kukenakan akan mencederai warnanya. Tiap sentuhan udara akan mengubah segar dagingnya. Kenapa kelezatan apel hanya bisa hadir lewat goresan pisau? Bisakah kita menikmati tanpa harus mengupas, menguliti. Kutatap apel itu. Ia masih merah marun. Saat ingin kupegang, aku terbangun.

Aku terduduk di tepi ranjang. Aku berpikir, apakah aku harus merasa menyesal karena belum sempat menyentuhnya? Layakkah aku merasa kehilangan atas apa yang sebenarnya tak kumiliki? Kupeluk lutut seperti biasanya.

Aku beranjak, pergi ke kamar mandi. Kecipak air dan sebait lagu terlantun dari pojokan kamar kecil itu. #prosa08

NILAI TEMPAT




Pengharapan dan kecemasan ternyata menghalangi penemuan. Pengharapan pada dasarnya memperkerut ruang ekspektasi, sementara kecemasan justru meluaskannya. Tarik-menarik keduanya membesarkan ketidakpastian.

Secara tak sengaja, saat di kamar mandi pikirannya menangkap kembali ajaran-ajaran gurunya tempo hari tentang fisika inti. Diperlukan energi 10,20 eV untuk memindahkan sebuah elektron dari kulit pertama ke kulit kedua dalam model atom Bohr. Semakin dekat ke inti atom, energi yang diperlukan untuk memindahkannya semakin besar.

Ruang, posisi, dan kecepatan memang selalu menjadi hal yang menarik. Setiap detik keberadaan manusia dihabiskan untuk memenuhi ruang, melampaui titik tertentu, dan bergerak seringkas mungkin. Tak heran mereka begitu suka membuat batas-batas, aforisma, dan pemodelan dalam hubungan pusat dan pinggiran.

Di sinilah paradoks lahir. Kita menginginkan segala sesuatu bisa diukur dan dihitung (dengan kata lain terbatasi). Tapi, kecemasan dan pengharapan mengacau-balaukan semuanya. Kecemasan telah melahirkan banyak labirin di balik pintu-pintu, sementara pengharapan hanya mendekatkan jebakan saja.

Dia memikirkan semua itu karena sedang meneliti sebuah ruang. Hampir saja dia bisa menentukan kecepatan dan titik koordinat sembarang benda di ruangan itu, sampai pengharapan dan kecemasan mengacaukannya.

Sampai kapan nilai tempat ditentukan terus-menerus oleh titik koordinat dan kecepatan gerak sebuah benda? Dan apakah memang demikian?

Dia keluar dari kamar mandi dengan bibir tetap manyun. #prosa07

FRAGMEN KERAGUAN




[I]
ada kalanya aku harus menjadi cengeng
dan duduk di pojok kamar,
sambil memeluk lutut…
memikirkanmu!
….

[II]
kukenali kamu dalam remang pagi
dingin, menggigit…
kujamah pundakmu,
dan kutunjukkan tidak jalan lempang
tak melulu siang yang berwarna
lalu kau mengangguk
kini, tunjukkan aku jalan
tuk menjauhimu…
sebab aku mulai jatuh cinta

[III]
aku ingin pergi,
tapi enggan pergi

[IV]
aku ingin memiliki
tapi enggan menyakiti

[V]
aku harus bagaimana?

yogyakarta, 29 mei 2003

MENTARI




Aku mengenalmu dalam pagi yang remang. Anganku belum lagi jejag, dan mata ini masih terpicing ketika kamu datang dan tinggal. Sebelumnya kamu adalah mentari yang selalu hadir tiap pagi dan pergi saat senja menjemput. Biasa. Sama seperti tiap tarikan nafasku. Semuanya tak pernah disadari.

Sampai kamu datang pada pagi yang remang itu. Dan kamu menjadi mentari yang tak biasa karena kau tak lagi datang dan pergi seperti biasanya. Kau tak pernah tenggelam. Tepatnya, kau tak ingin tenggelam, sama seperti keinginan yang kupupuk sejak pagi yang remang itu.

Aku tidak tahu, apakah itu lebih baik atau lebih buruk. Hanya saja, aku merasa lebih nyaman. Tentu, aku kini harus selalu melindungi kulitku dari sengatanmu. Dan aku harus membeli kipas angin besar jika kepanasan. #prosa06

PEREMPUAN PEMBACA PUISI



Kalau ada perempuan yang tahan berkutat di kepalanya selama berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, maka perempuan itu adalah perempuan pembaca puisi. Dia menemukannya, acuh tak acuh, di pojok Benteng Vriedenburg, senja itu. Rambutnya tercerai, dandanannya menor, dengan bau tubuh Paris. Baju putih selengan membungkus tubuhnya yang jangkung, dengan renda-renda di pergelangannya. Trotoar Malioboro masih mengepulkan debu, senja itu, dan perempuan itu menebarkan aroma kegilaan. Dia baru menyadarinya setelah beberapa hari lewat.

“Siapa namamu,” sapanya. Perempuan itu menjawab dengan senyum. “Tentu saja namamu bukan ‘Senyum’ ‘kan?” sambungnya, tak sabar.

Perempuan itu tertawa kecil. “Aku tak punya ingatan untuk itu,” sahutnya setelah beberapa saat.

Apa pula ini, gerutunya dalam hati. Perempuan itu mengkikik. Bibirnya merampat, mengukir dua lesung di pipinya.

“Namaku Puisi,” setelah puas mengkikik.

Ini juga, apa pula. Dia baru saja berhasil memupuk keberanian untuk menggoda perempuan, dan kini perempuan itu yang justru menggodanya.

“Namaku Puisi, dan namamu adalah Buku!” sederet gigi putih itu kini kian jelas terlihat, mengkilap sepanjang derai tawanya.

Apa yang bisa dilakukan lelaki pada saat itu hanyalah ikut tertawa. Dan dia juga ikut tertawa, tapi kecil saja. #prosa05





TAPAL BATAS



Setiap kali berziarah dia akan memilih berdoa di pusara paling pojok dengan sebuah batu besar dan tanah yang masih merah. Dia tak pernah mempersoalkan pusara siapa yang didoakannya. Dengan begitu dia bisa menemukan kekhusyukan tanpa disibukkan oleh ingatan-ingatan mengenai siapa yang dikubur. Setiap kali menatap pusara itu dia akan dikepung pertanyaan, manakah yang bisa menjelaskan makna pusara: kuburan atas sesuatu yang pernah hidup, atau batas dimana sebuah kehidupan lain sebenarnya baru saja dimulai?

Dia tahu kalau dua-duanya bisa diterima. Tapi segera saja penerimaan ini akan memunculkan pertanyaan lain: mana yang harus dikubur dan mana yang baru saja dimulai. Pertanyaan ini membuatnya tahan berjam-jam di pojok pekuburan.

Masa lalu hampir tak memiliki batas dengan masa kini, sama seperti halnya masa kini hampir tak berbatas dengan masa depan. Ini yang membuat pertanyaan tadi jadi seperti labirin: berpintu tapi tak berujung. Sejarah barangkali dibangun oleh kontinuitas dan diskontinuitas yang ganjil. Saking ganjilnya keduanya bahkan hampir tak memiliki perbedaan, laiknya kloning. Dia sendiri mempercayai diskontinuitas, sama seperti kritik pedasnya terhadap para penghamba linieritas. Tapi saat sampai di pekuburan itu dia tetap saja tak bisa memutuskan apakah sejarah ini dibangun oleh kontinuitas atau diskontinuitas. 




Kesulitan terbesar untuk membedakan kontinuitas dan diskontinuitas adalah ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa diskontinuitas tak selalu hadir dengan gegap gempita melainkan datang menyelinap diam-diam. Batas antara masa lalu dengan masa kini, dan batas antara masa kini dengan masa depan akhirnya tetap tak bertapal. Ini kian diperumit oleh hadirnya legenda yang melampaui kematian. Siapa yang sudah dikubur dan baru memulai kehidupan kian sumir. Sebab, menurut beberapa orang, legenda justru baru memulai hidup sesaat setelah kematiannya.

Seringkali dia bertanya, apakah masa kini menghendaki masa lalu, atau masa depan menghendaki masa kini? Jika dunia dibangun oleh diskontinuitas, apa perlunya sesuatu yang lampau? Bukankah dengan membutuhkan sesuatu yang lampau diskontinuitas sedang menyungkurkan dirinya pada kontinuitas, sesuatu yang terus-menerus?!

Sebaliknya, apakah ini sebuah kontinuitas ketika kita tiba-tiba dia berada di sebuah persimpangan dan ingin berbelok pada sebuah jalan yang berbeda dan belum pernah diketahui? Jalan itu memang masih tetap jalan setapak dengan rerimbunan pohon dan perdu bercucuk, tapi ini juga sebuah percecabangan yang berpilin-pilin dan mengulir, dimana semuanya terlihat baru dan berbeda. Barangkali kebaruan itu mungkin hanya imajinasi, tapi—minimal—yang jelas ini sebuah imajinasi yang baru. Dan bukankah imajinasi itu mendahului realitas?! Tepatnya, bukahkah kita berangkat memahami realitas itu dari imajinasi mengenai realitas tadi terlebih dahulu?!

Akar kebimbangannya sebenarnya adalah ketika dia bertemu dengan seseorang yang tak pernah dibayangkan akan dipikirkannya melebihi tebaran huruf dari buku-buku yang memadati kamarnya. Saat itu dia sedang didera kehampaan dan berjalan menyusuri trotoar yang mengepulkan debu. Trotoar yang setiap hari dilewatinya tiba-tiba saja menjadi istimewa. Dia tiba-tiba menginginkan trotoar itu tak berujung, karena di sepanjang trotoar itu dia bisa menyaksikan kembali tontonan dari masa lalunya. Berbagai adegan dari bilik-bilik ingatannya terputar dalam gerakan lambat, satu per satu, sehingga dia bisa melihat lebih rinci semua kejadian.




Masa lalu tak selalu sebuah aula besar dimana berbagai kejadian penting pernah dipertontonkan. Masa lalu juga bisa hanya sebuah kamar kecil yang pesing, lembab, dan menghimpit, dengan berbagai pentas tolol. Masa lalu dalam kamar-kamar kecil yang sempit inilah yang sedang dipertontonkan sepanjang trotoar. Berbagai hal remeh-temeh menyembur satu per satu. Dan keajaiban tiba-tiba muncul dari sana. Sebuah wajah menyembul dari salah satu bilik dan memberikan seutas senyum.

Ajaib, karena senyum itu terlihat manis dan dilepas oleh seseorang yang berasal dari bilik kecil yang sebelumnya tak diperhitungkan. Bilik kecil yang menghimpit; dan di sana tersimpan seutas senyum manis. “Apa saja yang telah kukerjakan selama ini,” tanyanya. Dia seperti baru disentakkan dari tidur panjang.

Sejak itulah dia selalu dikepung pertanyaan setiap kali berziarah: mana yang harus dikubur dan mana yang sebenarnya baru lahir? Siapa yang menentukan apa yang harus diingat dan mana yang harus dilupakan, ketika keajaiban ternyata bisa muncul dari sebuah kamar kecil yang himpit? Aula besar masa lalu yang penuh tempik sorak ternyata bisa hanya sebuah ruang kosong hampa.

Masa lalu tidak hadir di waktu lampau, tetapi diciptakan di masa kini. Atau, mencuri Borges, masa lampau tak lebih dari ingatan kini. Masa kini sendiri adalah hal yang tak terdefinisi. Lightman menyebutnya sebagai dunia tanpa ingatan. Sampai di sini, dia tak melanjutkan kepenasaranannya. Dia akan bangkit dari tempat duduknya dan berjalan gontai meninggalkan pekuburan. Debu masih tetap mengepul dari trotoar yang dilaluinya. Kali ini sebuah trotoar yang berujung. Dia masih tetap tak tahu apakah ini kontinum atau diskontinum. #prosa04