Jumat, 10 April 2015

SILUET SENJA





"Cinta itu puitik," katamu, senja itu, ketika anak itik telah pulang ke kandang.

"Kenapa puitik?" tanyaku.

Merah matahari senja membuatmu seperti siluet. Dan itu adalah siluet yang indah senja itu.

"Karena puisi adalah kebohongan yang selalu bicara kebenaran. Begitu juga dengan cinta," ujarmu, yakin.

Aku terkekeh mendengarnya.

"Kamu pernah baca 'Soft Caramel'?" tanyaku.

Kamu menggeleng.

"Cocteau juga menyebut cinta adalah bentuk kejahatan terburuk," terangku.

Kamu tertawa.

"Menurutmu, cinta itu apa?" tanyamu, sembari menyandarkan tubuh ke kursi.

"Cinta itu seperti demokrasi," jawabku.

Kamu mengernyitkan dahi. "Kenapa demokrasi?" tanyamu.

"Karena pemilunya cuma lima menit, tapi kampanyenya lima tahun," jawabku.

Kali ini kamu tertawa terbahak-bahak. Dan tawa itu selalu membuatku jatuh hati. Sungguh.

Setelah puas tertawa, kamu menatapku tajam.

"Jadi, Tuan Perayu, katakanlah, kenapa kau mencintaiku?" kamu bertanya seolah elang yang hendak menerkam mangsanya.

Aku menghela nafas. "Seperti tadi kubilang, cinta itu seperti demokrasi. Dalam cinta, kita paling cuma sesekali bercinta, selebihnya adalah bercakap," ujarku tenang. "Aku menyukai percakapan denganmu. Dan aku ingin menghabiskan hidup untuk bercakap-cakap denganmu."

Kukatakan itu sembari menatapmu balik, dalam-dalam. Aku melihatmu tersipu sembari menggigt bibir.

Itu petang paling keparat yang tak mudah dilupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar