Mojokuto, 1 September 1955
Di luar sana
senyap, tak lagi gaduh seperti seharian tadi. Satu dua oto masih
melintas dengan jeda yang kian panjang. Ini malam kedua di Mojokuto,
setelah 53 hari kemarin tersekap di ruang lain, terpencil di tepi hutan
Wanagalih.
Apakah aku harus mengatakan bahwa ini adalah
saat yang menyenangkan, di mana aku telah kembali ke Mojokuto, ke tanah
yang telah menjadi mimpi kebanyakan orang?
Hidup itu,
katanya, meminjam puisi Amir Hamzah, seperti bertukar tangkap dengan
lepas. Kita mendapatkan sesuatu dengan meninggalkan banyak hal lainnya;
mengambil dengan melepaskan.
Barangkali inilah bentuk
keseimbangan. Alam senantiasa mengatur dengan menciptakan
keseimbangan-keseimbangan yang kadang sulit dimengerti.
Aku bisa kembali menikmati tanah impian, menatap kabut di puncak
Kelud, dengan meninggalkan kenikmatan disapa anak-anak manis sekolah
rakyat Wanagalih yang aku terima tiap pagi. Aku bisa kembali
berjalan-jalan sepanjang trotoar di alun-alun kota dengan meninggalkan
hamparan kebun kacang dan tembakau sebuah tempat di bagian timur
Wanagalih. Aku mendapatkan lagi kelezatan makan pecel dan wedang jahe di
tepi jalan raya, dengan meninggalkan kelezatan pecel kelapa berbungkus
daun jati dan kesegaran air kelapa muda yang sering aku nikmati sembari
lesehan di tepi pematang di kampung sana. Aku bisa kembali menikmati
dendang radio bututku, dengan meninggalkan suara ketukan pintu dari
anak-anak kecil yang minta didongengi.
Jadi, apakah aku
harus mengatakan ini adalah saat yang menyenangkan? Atau sebaliknya,
apakah aku justru harus mengatakan ini adalah saat yang tak
menyenangkan?
Kehidupan ini seperti bertukar tangkap
dengan lepas, dan demikianlah adanya. Pertukaran dan pemilihan, itulah
hidup. Sepertinya, aku termasuk orang yang bisa menerima kenyataan
semacam itu. Aku patut bersedih atas semua hal yang pernah aku terima,
sebaliknya aku harus bersyukur atas setiap ganti yang aku dapatkan.
Aku
sedih, karena tak lagi bisa mendengar celoteh polos dan senyum seorang
gadis remaja yang manis di sana; tapi aku bersyukur karena bisa kembali
mendengar suara merdu dan menatap senyum lain yang lebih manis dari
seseorang yang dimiripi gadis itu, di sini… Ah, aku membayangkanmu
tersipu membaca bagian ini.
Jadi, apakah aku harus bersedih atau bergembira? Aku jadi menemukan
bahwa hidup sebenarnya tak sesederhana hanya sedih dan gembira, karena
apa yang sedang aku rasakan (dan demikian juga sebelumnya) melampaui
semua definisi tadi, melampaui pembauran keduanya. Ini adalah hal yang
sulit untuk didefinisikan. Mungkin, demikianlah hidup.
...
Saat
aku menuliskan semua ini kamu mungkin telah lama lelap, bersembunyi di
balik selimutmu yang lembut. Barangkali kamu juga sedang bermimpi, dan
bersyukurlah karena kita masih sempat bermimpi, padahal tidak pernah
merencanakannya. Di tengah kepungan rutinitas dan kontrol waktu, mimpi
adalah kejutan yang berharga.
Aku senang jika kamu
bermimpi, dan masih sempat mencoba mengarang-ngarang “mimpi”. Aku
doakan, semoga malam ini kamu mimpi indah, dan semua mimpi yang kamu
karang dalam bilik bisa berujud, esok pagi. Tak ada yang lebih
menyenangkan, selain mendapatkan apa yang kita impikan.
Tapi, apakah benar setiap orang menginginkan setiap mimpinya terwujud?
Ada
kalanya kebanyakan kita berpikir sesuatu itu terasa lebih indah ketika
dia masih berada di alam yang mengambang. Sebab, kenyataan seringkali
berjarak jauh dengan angan yang pernah kita bangun. Sehingga, mimpi
selalu terasa lebih baik dari apa yang mewujud, dan karenanya tak setiap
orang berani mewujudkan impiannya. Tapi benarkah kenyataan selalu kalah
baik ketimbang mimpi? Atau, benarkah mimpi selalu lebih indah ketimbang
kenyataan?
Pernahkah kamu mendengar cerita apel merah?
“Aku
mimpi makan apel. Warnanya merah marun. Manis menggigit. Aku sudah
merasakan kelezatannya meski baru kutatap. Begitu segarnya, sampai aku
tak tega mengupas apel itu. Aku takut, tiap goresan pisau yang kukenakan
akan mencederai warnanya. Tiap sentuhan udara akan mengubah segar
dagingnya. Kenapa kelezatan apel hanya bisa hadir lewat goresan pisau?
Bisakah kita menikmati tanpa harus mengupas, menguliti. Kutatap apel
itu. Ia masih merah marun. Saat ingin kupegang, aku terbangun.”
Barangkali
memang benar, mimpi lebih indah ketimbang kenyataan. Tapi, apakah
dengan begitu kita berhak mencampakkan kenyataan, menolaknya, atau
meminggirkannya sembari membuang muka?!
Kelezatan apel
hanya bisa dirasakan lewat pelepasan semua atribut kecantikan dalam
warna. Aku menyebutnya: bertukar mata dengan lidah. Dengan begitu kita
bisa merasakan kelezatan sebuah apel dengan utuh, tak hanya
sepotong-sepotong, tak sekadar merah marunnya warna.
Tapi,
hanya sedikit orang yang berani membayangkan apel merah, dan lebih
sedikit lagi yang berani menyentuh dan mengupasnya. Barangkali, ini pula
sebab kenapa beberapa orang memilih hidup tanpa pasangan, atau
menghindari untuk membangun sebuah hubungan yang mendalam. Mereka adalah
orang-orang yang diliputi ketakutan bahwa kenyataannya apel itu tak
semerah yang mereka bayangkan. Mereka ingin tetap menikmati keindahan
bersitatap dari jauh dan tak mau kehilangan semua keindahan estetik itu.
Mereka tak ingin menemukan kenyataan apel itu tak semerah yang mereka
bayangkan, atau mereka tak ingin keindahan yang menyatu dalam “warna”
itu pupus ketika disentuh, atau mereka tak ingin ketemu kenyataan bahwa
apel itu sesungguhnya tak bisa mereka miliki... Jika sudah demikian,
mereka akan bertahan dalam dunia yang mengambang: mimpi si apel merah...
Kalau
menceritakan kembali sirah apel merah, aku jadi suka ingat seseorang
yang kalau tersipu pipinya pasti memerah. Merah yang lain, karena tak
bersemu padam, melainkan merah berbinar. Hanya sedikit orang yang
memiliki keistimewaan semacam itu.
Perasaan itu seperti
sastra: tak jelas batas antara fakta dengan fiksi. Di balik unsur
puitiknya, terdapat banyak potret nyata. Di balik kelajakan dan
spontanitasnya, menyembul segurat mimpi yang dibangun panjang sekali.
Mana batas antara fakta dan fiksi tak jelas benar. Semuanya baur dan
bercampur, antara nalar dengan imajinasi.
Sedang apa
kamu saat ini? Barangkali kamu sudah sampai di dunia yang sangat jauh,
dunia sastra-perasaan, dimana fakta dan fiksi saling membaur dan
berbenturan. Nikmati saja. Semoga ceritanya menyenangkan.
Oya,
aku menerima pesanmu, bahwa dalam pemilihan umum tanggal 29 September
nanti kamu telah memutuskan akan mendukung partai yang kupilih. Aku
senang bukan karena pilihanmu sama denganku. Aku senang, karena
problematisasimu atas persoalan-persoalan politik di negeri kita tak
sama dengan kebanyakan orang. Kamu tahu, kebanyakan kita lebih
merisaukan soal-soal permukaan, yang gampang dilihat di atas ranjang,
dan enggan menyelinap agak lebih mendalam. Sebab, persoalan yang
sesungguhnya selalu tersembunyi di balik selimut, di bawah ranjang, dan
bahkan tersuruk di dapur. Aku senang karena kamu sangat jernih mengenai
soal itu. Dan aku mengatakan begitu, bukan karena pilihanmu sama
denganku.
Aih, kenapa kita jadi melibatkan politik dalam percakapan? Yang
jelas, aku sudah membawakanmu bibit jambu. Kamu bisa menanamnya di
halaman rumahmu yang teduh. Lusa, kutunggu kamu di pojokan jalan itu.
M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar