Rabu, 23 Juli 2014
ALASAN HUJAN
Hujan ini telah kehilangan alasan
setelah ditinggal awan hitam
dan angin yang membetot dedaunan
Ia hanya bisa terkapar
di tengah aspal dan trotoar jalan
tak sanggup menggapai selokan
apalagi lautan
Hujan ini telah kehilangan alasan
setelah ditinggal guruh yang menggeram
dan petir yang mengancam
Ia hanya bisa menggenang
di pojok halaman basah
tak sanggup menyusup tanah
apalagi menyantuni akar
Hujan ini telah mati di jalan, Nun...
Yogya, 23 Juli 2014
Senin, 21 Juli 2014
SEDEKAH
"Cintaku adalah sedekah, kamu tidak harus membalasnya," kalimat tatag itu meluncur dari mulut lelaki itu. Senyumnya teduh, tak lagi penuh gairah seperti sebelumnya. Perempuan di depannya menatap tajam. "Apa yang kamu lakukan?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya. "Aku melakukan semua yang kuucapkan. Termasuk yang barusan kamu dengar," jawab lelaki itu mantap. Perempuan itu terdiam sejenak. "Apa yang kamu harapkan dari semua ini?" tanyanya kemudian. "Seperti semua sedekah, saya hanya ingin memberikannya, yang dalam hal ini hanya akan saya berikan padamu saja, dan tidak berharap balasan apa-apa, dari apapun, atau siapapun, termasuk darimu." Lelaki itu mengucapkannya sembari tersenyum. Nada kalimatnya pasti. Sepertinya dia tahu betul apa yang diucapkannya.
"Apa kamu yakin?" perempuan itu seperti tak percaya.
Lelaki itu tersenyum. Tangan kanannya ia tempelkan di dada. "Dengan sepenuh hati."
"Tapi untuk apa kamu melakukan semua ini?" perempuan itu mengulangi pertanyaannya. Ia seperti ingin mencari sesuatu yang diluputkannya.
"Kenapa kamu seperti keberatan, padahal aku kini tak lagi mengharapkan apapun darimu?" kali ini lelaki itu yang balik bertanya.
"Kauuuu..." perempuan itu setengah berteriak. Ketika sadar bahwa pengunjung lain menengok kepadanya, ia menundukkan kepala.
"Kenapa kamu mengubahnya menjadi sedekah?" tanya perempuan itu lirih, setelah amarahnya reda.
Lelaki itu menatapnya dalam. Ia tak menyangka reaksi perempuan itu, yang biasanya tenang jika di depannya. "Cintaku adalah sedekah, karena tak ada yang mengharuskan aku mencintaimu. Jika ada yang mengharuskannya, namanya mungkin 'zakat cinta', bukan lagi 'sedekah'," lelaki itu mengucapkannya sembari terkekeh.
"Kalau kamu menjawab seperti itu, aku bisa melempar asbak ini padamu," perempuan di depannya kembali memasang muka marah.
"Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak tahu darimana cinta ini datang. Aku tidak pernah mengundangnya, atau memintanya. Aku hanya tiba-tiba memilikinya, dan aku ingin memberikannya kepadamu, karena aku memang sungguh-sungguh mencintaimu." Lelaki itu mengakhirinya dengan sebuah desahan. "Tapi kamu tidak pernah menghiraukannya."
"Kamu kan tahu sendiri situasiku sebelum ini?" perempuan itu menjawab dengan nada tinggi.
"Aku tahu, dan aku juga tahu bahwa aku tak pernah tahu hingga kapan kamu akan mengurung diri dalam situasi itu." Lelaki itu menarik badannya ke belakang, seperti ingin melemaskan sesuatu. "Jadi, aku ingin bersedekah saja kini."
"Kamuu..." perempuan itu melemparkan sepotong batu es kepada lelaki di depannya.
Lelaki itu terhenyak. "Kenapa kamu marah padaku? Bukankah mestinya kamu senang? Kamu tidak pernah kehilangan cintaku, tapi kini kamu tak lagi harus membalasnya. Bukankah kamu sangat beruntung?" kali ini lelaki itu meninggikan suaranya.
Perempuan itu mengepalkan lengannya. Dia seperti ingin memukul lelaki di depannya. Sepertinya dia marah sekali. Mukanya merah. "Kamu tega sekali mengatakan itu."
"Kenapa memang?"
"Kamuuuu...."
Lelaki itu diam. Dia mencoba memahami perempuan di depannya. Agak lama keduanya terdiam.
"Kamu kini tahu kan bagaimana rasanya tak lagi diharapkan, meskipun oleh orang yang masih mencintaimu," lelaki itu angkat bicara. Dia mencoba membaca pikiran perempuan itu. "Mestinya kamu juga bisa membayangkan bagaimana rasanya tak diharapkan oleh orang yang telah kau santuni dengan kasih."
"Jadi kamu ingin membalasku?" perempuan itu setengah berteriak.
"Bagaimana aku bisa melakukannya, sedangkan aku tak pernah berhenti mencintaimu?" lelaki itu juga setengah berteriak. Keduanya tak lagi peduli dengan sekitarnya.
"Berhenti! Cukup!" Perempuan itu mulai berurai air mata. Keduanya kini tertunduk.
Setelah beberapa saat, lelaki itu meraih tangan perempuan di depannya. "Kamu tahu, tentu saja aku lebih suka jika kamu bisa membalas cintaku. Tapi kamu tak pernah melakukannya. Jadi, aku kemudian berpikir untuk menyedekahkannya saja padamu. Itu kulakukan semata untuk mengurangi luka." Mata lelaki itu nanar.
Perempuan itu menghapus air matanya. Ia menatap lelaki di depannya. Tangannya kini balik menggenggam tangan lelaki itu. "Berhentilah saling menyakiti," pintanya. Dia menatap mata lelaki itu. "Kamu tahu, akupun sebenarnya..." perempuan itu tak meneruskan ucapannya. Telunjuk lelaki itu menempel di bibirnya.
"Aku tahu," balas lelaki itu. "Aku kini mengetahuinya."
Dedaunan berguguran di luar jendela. Musim hujan memang segera datang.
Jumat, 18 Juli 2014
REINKARNASI
hidup ini seperti dedaunan gugur
ia bereinkarnasi pada tanah yang gembur
di basah hujan, darma ditunaikan
kembali, berulang-ulang
kita mungkin kembali hidup
pada satu dahan, seperti sebelum ini
saling bergesekan,
berbagi embun pagi
duh gusti...
tapi darma kemudian
mungkin melibatkan hukuman
kamu tumbuh di dahan ini,
sementara aku di pohon sana
kita hanya bisa bersitatap dari kejauhan
sesekali bertukar pesan
melalui kupu-kupu yang hinggap
atau lebah yang singgah
karena sebelum mengering
kita jadi saling mendiamkan
itu sebabnya, aku tak pernah berhenti
menuliskan pesan ini
aku ingin tumbuh dan melapuk bersamamu
nuunn...
Yogyakarta, 18 Juli 2014
KAMA RATIH
Brahma itu dewa pencipta, ia berpasangan dengan Saraswati, dewi ilmu pengetahuan. Penciptaan dan pengetahuan memang seperti dua sisi mata uang. Wisnu adalah dewa pemelihara, ia berpasangan dengan Laksmi, dewi kemakmuran dan kesuburan. Dalam kepercayaan Hindu Dharma, Dewi Laksmi mewujud menjadi Dewi Sri. Kita memang hanya bisa memelihara semesta dengan menjaga kemakmuran dan kesuburannya. Syiwa adalah dewa pelebur, perusak, pencipta equilibrium baru, ia berpasangan dengan Durga, dewi kasih sayang. Ya, kita hanya bisa menciptakan keseimbangan (baru) melalui kasih sayang, dengan jalan melebur semua hal buruk dan jahat.
Jadi, Ratih, sudahkah kau bersama Kamamu?
Yogyakarta, 17 Juli 2014
HUJAN
Hujan adalah jarak antara mendung dengan halaman basah. Tapi malam ini, hujan adalah jarak antara pertemuanku denganmu dengan kerinduan yang enggan ditidurkan ini.
Yogyakarta, 13 Juli 2014
Minggu, 13 Juli 2014
GILDAE
"Tanpa
puisi, hidup bisa jadi sebuah kesalahan," aku mengatakannya begitu saja
kepadamu. Anak-anak sudah berangkat ke sekolah. Aku duduk di meja besar
dengan tumpukan kertas menggunung di atasnya. Secangkir kopi yang kau
seduh pagi tadi telah dijoki. Kamu duduk di depanku, di samping jendela
dimana semburat mentari menerobos dari balik dedaunan di kebun belakang.
Sesekali kamu menyembulkan muka dari balik kanvas. Aku menulis puisi
untukmu, dan kamu melukis untukku. "Tanpa lukisan, hidup pastinya
membosankan," balasmu. Aku menatapmu. "Dan tanpamu, hidup adalah
kematian." Kamu tersipu. Duh Gusti...
Jumat, 11 Juli 2014
DESTITUTIO
Di halaman 205 novel klasik itu, ia menemukan sepucuk surat pendek. Mungkin surat itu, seperti halnya buku klasik tadi, milik penulisnya. Tapi mungkin juga milik penerimanya.
"Seorang penulis adalah ringkasan dari pengalamannya. Dan pengalamanku selama ini cuma satu: aku menghabiskan imajinasiku padamu. Aku bukan penulis yang hebat. Belum kutulis apapun semenjak kita berhenti berbicara pagi itu. Kamu tahu, aku masih duduk di sana. Tak pernah beranjak, meski ruangan menjadi gelap. Kini, tak ada lagi jalan pulang. Atau pergi. Aku masih terduduk. Tanpa jembatan kata-kata yang menghubungkanku padamu. Aku tahu, kamu hanya butuh waktu. Tapi entah, sampai kapan."
Setiap kali membaca surat itu, ia selalu kehabisan kopi dan merasakan dahaga teramat sangat.
Minggu, 06 Juli 2014
MASBUK
Kamu
seperti pengantin kesunyian, Nun. Tapi aku tak bisa mengejamu
diam-diam. Hari sudah malam, dan bacaanku harus dikeraskan. Kita masih
punya kesempatan, sampai rakaat terakhir dipungkasi salam. Kamu hanya
perlu mengaminiku. Mari kelak kita akhiri ini dengan tadarus bersama,
seperti pernah kita lakukan pada Ramadhan tahun itu. Kita saling
membacakan ayat-ayat cinta yang sublim dan mendalam. Malaikat juga tahu,
aku sedang memanjangkan rakaat terakhir ini, untukmu. Segeralah masbuk,
Nun.
Yogyakarta, 4 Juli 2014
Langganan:
Postingan (Atom)