Sesudah merapikan syalnya, lelaki itu kembali meraih cangkir kopi yang tadi dibawanya. Aroma wine dan keasaman kopi Kenya yang menghentak selalu berhasil membantunya tetap terjaga. Seorang kenalannya yang mengajar di Columbia memperkenalkan kopi itu kepadanya enam bulan silam, saat mereka bertemu di sebuah konferensi. Ia segera menyukai kopi itu. Sekilas, rasanya mirip kopi Gunung Sindoro yang kerap diseduhnya saat masih tinggal di Yogya.
Di luar ruang tunggu bandara, salju masih turun berderai-derai. Tapi
kini ia tak lagi merutuki cuaca di luar sana yang telah membuat penerbangannya
tertunda sejak satu setengah jam lalu.
Pandangan lelaki itu kemudian beralih kepada perempuan yang duduk di
sampingnya. Ia memandanginya dalam-dalam, seperti tengah menyelidiki sesuatu.
Sebenarnya, bukan secangkir kopi itu benar yang berhasil memaksanya terus
terjaga dan berhenti merutuki cuaca, tapi perempuan di sampingnya itu.
“Kau memang tak banyak berubah,” ujar perempuan itu.
“Maksudmu?!?”
“Tatapanmu itu lho, masih tetap seperti singa yang hendak menerkam
mangsanya.” Kali ini ia mengutarakannya sembari tersenyum tipis.
“Kamu tahu, sejak dulu aku memang selalu ingin menerkammu,” jawab lelaki
itu.
Perempuan itu terkekeh.
Suasana kemudian hening kembali.
Tak ada lagi pengumuman yang bersahutan seperti satu jam lalu.
Orang-orang lebih suka terduduk mengantuk, atau bermain-main dengan ponsel
mereka, selain lalu-lalang ke toilet. Seorang petugas tiket yang setia duduk di
kursinya terlihat bercengkerama dengan petugas keamanan bandara yang tadi
menghampirinya. Mereka sepertinya sedang kasmaran.
“Eh, sudah berapa lama ya kita tak ketemu?” tanya perempuan itu, sesaat
kemudian.
“Mmm, sepertinya enam tahunan.”
“Wow, lama juga ya.”
“Ya, cukup lama.”
Keduanya kemudian membisu kembali.
“Jadi, bagaimana selama enam tahun kemarin, sudahkah kau menemukan
cintamu?!” tanya lelaki itu.
“Oh, sinismemu juga tak banyak berubah.”
“It’s just a question.”
Perempuan itu melempar pandangannya ke luar. Bibirnya terkatup. Ia
sedang dalam perjalanan kembali ke Jakarta sesudah menjadi peneliti tamu di
sebuah kampus di kota ini.
“Sepertinya kamu benar. Cinta tak bisa dicari. Atau ditemukan. Selalu
cinta yang biasanya menghampiri kita,” ujar perempuan itu kemudian.
Lelaki itu terkekeh mendengarnya.
“Jadi, apa artinya itu?” tanya lelaki itu.
“Kamu benar-benar bertanya, atau memancing?!”
Kali ini giliran perempuan itu menatap dalam-dalam lelaki di sampingnya.
Lelaki itu kembali terkekeh. Kepalanya menggeleng.
“Kamu kan tahu, sejak dulu aku lebih suka pergi ke warteg atau warung
Padang untuk makan ikan. Aku tidak suka memancing.”
“Ah, kau.”
“Serius, aku ingin tahu. Karena ini pertama kalinya kita ketemu, dan aku
tak pernah mendengar cerita apapun tentang dirimu selama enam tahun ini.”
“Sama sekali?!”
“Sama sekali!”
“Wow, bagaimana bisa?!”
“Maksudmu?!?”
“Sepertinya itu bukan kamu yang kukenal dulu!?” ujar perempuan itu.
“Jadi, kamu benar-benar berharap aku terus menguntitmu, begitu?! Ha ha
ha…”
Lelaki itu kembali menggapai cangkir kopinya. Keningnya mengernyit.
Sialan, kopi itu mulai dingin, batinnya.
“Setiap orang berubah bukan?!” ujar lelaki itu, kemudian.
“Mungkin.”
“Kamu tak merasa dirimu berubah?”
“Entahlah.”
“Oke, aku akan mengubah pertanyaannya. Ada berapa kali cinta
menghampirimu dalam enam tahun terakhir?! Apakah kamu kini hidup dengan salah
satunya?”
Lelaki itu mengubah mimiknya. Ekspresinya kini serius. Matanya tajam
menatap perempuan di sampingnya.
“Bisakah kamu berhenti menginterogasiku setiap kali kita ketemu?”
“Oh, apa aku memang selalu melakukannya?”
“Ya.”
“Well, setidaknya kamu jadi tahu jika ada satu lagi sifatku yang tak
berubah.”
Keduanya kembali terdiam. Di saat itulah petugas mengumumkan jika
pesawat akan segera diberangkatkan. Lelaki itu segera menandaskan kopinya.
“Kamu mau ke Jakarta?” tanya perempuan itu.
“Nggak. Aku turun di Tokyo.”
“Oh.”
“Biasanya pesawat ini transit lama di Tokyo. Kamu ingin ditemani di
sana?” tanya lelaki itu.
“Aku boleh bertanya?”
“Tidak. Kamu harus menjawab pertanyaanku tadi dulu,” ujar lelaki itu,
sembari pura-pura marah.
Perempuan itu tertawa.
“Jawabannya adalah 'tidak',” ujarnya.
“Oh, oke. Take care, ya,” balas lelaki itu, sembari meraih travel
bag-nya.
“Oh, bukan, bukan itu. Maksudku, tak ada seorangpun,” ujar perempuan itu
sembari tersipu.
“Maksudmu?!” tanya lelaki itu, sembari mengernyitkan dahinya.
“Selama enam tahun ini, tak seorangpun,” ujar perempuan itu.
Lelaki itu menarik nafasnya dalam-dalam. Di luar ruang tunggu bandara, salju masih turun berderai-derai. Tapi badainya sepertinya sudah mereda. #nunpoem
Jakarta, 28 Agustus 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar