"Cintaku adalah sedekah, kamu tidak harus membalasnya," kalimat tatag itu meluncur dari mulut lelaki itu. Senyumnya teduh, tak lagi penuh gairah seperti sebelumnya. Perempuan di depannya menatap tajam. "Apa yang kamu lakukan?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya. "Aku melakukan semua yang kuucapkan. Termasuk yang barusan kamu dengar," jawab lelaki itu mantap. Perempuan itu terdiam sejenak. "Apa yang kamu harapkan dari semua ini?" tanyanya kemudian. "Seperti semua sedekah, saya hanya ingin memberikannya, yang dalam hal ini hanya akan saya berikan padamu saja, dan tidak berharap balasan apa-apa, dari apapun, atau siapapun, termasuk darimu." Lelaki itu mengucapkannya sembari tersenyum. Nada kalimatnya pasti. Sepertinya dia tahu betul apa yang diucapkannya.
"Apa kamu yakin?" perempuan itu seperti tak percaya.
Lelaki itu tersenyum. Tangan kanannya ia tempelkan di dada. "Dengan sepenuh hati."
"Tapi untuk apa kamu melakukan semua ini?" perempuan itu mengulangi pertanyaannya. Ia seperti ingin mencari sesuatu yang diluputkannya.
"Kenapa kamu seperti keberatan, padahal aku kini tak lagi mengharapkan apapun darimu?" kali ini lelaki itu yang balik bertanya.
"Kauuuu..." perempuan itu setengah berteriak. Ketika sadar bahwa pengunjung lain menengok kepadanya, ia menundukkan kepala.
"Kenapa kamu mengubahnya menjadi sedekah?" tanya perempuan itu lirih, setelah amarahnya reda.
Lelaki itu menatapnya dalam. Ia tak menyangka reaksi perempuan itu, yang biasanya tenang jika di depannya. "Cintaku adalah sedekah, karena tak ada yang mengharuskan aku mencintaimu. Jika ada yang mengharuskannya, namanya mungkin 'zakat cinta', bukan lagi 'sedekah'," lelaki itu mengucapkannya sembari terkekeh.
"Kalau kamu menjawab seperti itu, aku bisa melempar asbak ini padamu," perempuan di depannya kembali memasang muka marah.
"Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak tahu darimana cinta ini datang. Aku tidak pernah mengundangnya, atau memintanya. Aku hanya tiba-tiba memilikinya, dan aku ingin memberikannya kepadamu, karena aku memang sungguh-sungguh mencintaimu." Lelaki itu mengakhirinya dengan sebuah desahan. "Tapi kamu tidak pernah menghiraukannya."
"Kamu kan tahu sendiri situasiku sebelum ini?" perempuan itu menjawab dengan nada tinggi.
"Aku tahu, dan aku juga tahu bahwa aku tak pernah tahu hingga kapan kamu akan mengurung diri dalam situasi itu." Lelaki itu menarik badannya ke belakang, seperti ingin melemaskan sesuatu. "Jadi, aku ingin bersedekah saja kini."
"Kamuu..." perempuan itu melemparkan sepotong batu es kepada lelaki di depannya.
Lelaki itu terhenyak. "Kenapa kamu marah padaku? Bukankah mestinya kamu senang? Kamu tidak pernah kehilangan cintaku, tapi kini kamu tak lagi harus membalasnya. Bukankah kamu sangat beruntung?" kali ini lelaki itu meninggikan suaranya.
Perempuan itu mengepalkan lengannya. Dia seperti ingin memukul lelaki di depannya. Sepertinya dia marah sekali. Mukanya merah. "Kamu tega sekali mengatakan itu."
"Kenapa memang?"
"Kamuuuu...."
Lelaki itu diam. Dia mencoba memahami perempuan di depannya. Agak lama keduanya terdiam.
"Kamu kini tahu kan bagaimana rasanya tak lagi diharapkan, meskipun oleh orang yang masih mencintaimu," lelaki itu angkat bicara. Dia mencoba membaca pikiran perempuan itu. "Mestinya kamu juga bisa membayangkan bagaimana rasanya tak diharapkan oleh orang yang telah kau santuni dengan kasih."
"Jadi kamu ingin membalasku?" perempuan itu setengah berteriak.
"Bagaimana aku bisa melakukannya, sedangkan aku tak pernah berhenti mencintaimu?" lelaki itu juga setengah berteriak. Keduanya tak lagi peduli dengan sekitarnya.
"Berhenti! Cukup!" Perempuan itu mulai berurai air mata. Keduanya kini tertunduk.
Setelah beberapa saat, lelaki itu meraih tangan perempuan di depannya. "Kamu tahu, tentu saja aku lebih suka jika kamu bisa membalas cintaku. Tapi kamu tak pernah melakukannya. Jadi, aku kemudian berpikir untuk menyedekahkannya saja padamu. Itu kulakukan semata untuk mengurangi luka." Mata lelaki itu nanar.
Perempuan itu menghapus air matanya. Ia menatap lelaki di depannya. Tangannya kini balik menggenggam tangan lelaki itu. "Berhentilah saling menyakiti," pintanya. Dia menatap mata lelaki itu. "Kamu tahu, akupun sebenarnya..." perempuan itu tak meneruskan ucapannya. Telunjuk lelaki itu menempel di bibirnya.
"Aku tahu," balas lelaki itu. "Aku kini mengetahuinya."
Dedaunan berguguran di luar jendela. Musim hujan memang segera datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar