Minggu, 08 Juni 2014

TEKA-TEKI


"Aku sungguh tidak layak untukmu," kata perempuan itu, sembari mengatupkan bibirnya yang pucat. Lelaki itu menatapnya nanar. Lelucon macam apa ini? Atau, ejekan macam apa itu? "Apa kamu sedang berusaha untuk mengatakan sebaliknya?" nada suara lelaki itu bergetar. Perempuan itu terisak. "Tidak, aku mengatakan yang sebenarnya," bibir pucat itu terlihat kering, tak lagi basah seperti biasa disaksikan lelaki itu. "Kenapa kamu terus mengulang-ulang kata-kata itu?" tanya si lelaki. Sebuah lemari kayu pecah dihantam tinjunya. Tinju yang tak pernah diumbarnya, kecuali pada situasi yang membuatnya merasa sesak. Tidak. Dia tidak melepaskan amarahnya di depan perempuan tadi. Itu terjadi setelah ia kembali ke rumahnya yang teduh di tengah kebun mangga di tepi sungai yang selalu mengirimi suara gemericik. Ya, itu bukan kali pertama ia mendengar kalimat itu.

Ketika pada akhirnya si perempuan tadi memiliki "keberanian" untuk menjadi kekasihnya, bertahun kemudian, pertanyaan itu tak pernah berhenti menguntitnya: apa maksud pujaan hatinya itu pernah mengucapkan kata-kata tadi? Jika maksudnya untuk meninggikan, siapalah dirinya, demikian batinnya, sehingga perempuan yang diinginkannya itu sampai menganggap bahwa dia bukan perempuan yang layak untuknya?! Jika maksud ucapan itu adalah untuk merendahkannya, kenapa pada akhirnya perempuan itu mau jadi kekasihnya, lewat sebuah penerimaan yang sebenarnya tak lagi dipintanya?!

Pertanyaan itu sangat mengganggunya. Syahdan, ketika hubungan mereka sudah berlangsung beberapa tahun, lelaki itu memutuskan untuk meninggalkan perempuannya. Perempuannya meraung-raung. Ia tak mengira lelakinya akan mengambil pilihan muskil itu. "Aku selalu mengatakan yang sebenarnya," kata perempuan itu dengan suara terbata. "Itu masalah yang selalu dihadapi perempuan jika sikap hormatnya mendahului cintanya," tambahnya dengan terguguk.

Lelaki itu hanya memandang tak percaya. Tapi kata-katanya sudah kadung jatuh. Ia belajar untuk tak gampang menoleh. Selama bertahun-tahun kemudian, ia menyesali kenapa dirinya terlalu gampang menulis kata penutup sebagaimana diucapkannya hari itu.

Tiga malam lalu, ada seorang perempuan mengucapkan kalimat yang sama padanya. Perempuan yang selalu menerbitkan purnama pada tiap kehadirannya, setelah malam gelap bertahun-tahun itu. Apakah ini sejenis kutukan? Ia hanya bisa membatin.

Apakah perempuan itu hendak menghinanya? Tapi, jika dia ingin menghinanya, kenapa dia selalu saja datang kepadanya meminta pelukan? "Di dadamu, aku selalu merasa tenang," bisik perempuan itu suatu ketika. "Aku selalu bisa beristirahat dalam pelukanmu," tambahnya. "Untuk itukah kau singgah?" lelaki itu menyelidik. Perempuan itu menjawabnya dengan sebuah lumatan bibir. "Tapi aku bukan rumah singgah," terus lelaki itu, setelah perempuan itu melepaskan ciumannya.

"Apa kamu merasa seperti itu?"

"Kadang begitu."

"Itu karena aku sesungguhnya tidak layak untukmu," kata perempuan itu. Malam mendadak hening. Ya, kalimat itu lagi. Apakah itu sejenis kutukan? Lelaki itu ingin beranjak menjauh. Tapi satu kakinya ditarik oleh perempuan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar