Selasa, 10 Juni 2014
PENGAKUAN
“Aku tahu, hanya kamu seorang yang memiliki perasaan begitu mendalam padaku.” Perempuan itu mengatakannya sembari menandaskan gelasnya. Dia selalu memesan jus jeruk. Begitu juga petang itu.
“Aku pernah merasa menderita karena dikhianati seseorang. Namun, ketika menerima undangan pernikahanmu, aku merasa mati rasa. Itu lebih buruk dari sekadar menderita. Aku jengkel, sedih, dan marah padamu. Semua perasaan itu menyatu. Kehilangan dirinya memang memiliki efek cukup lama. Namun kehilanganmu, sepertinya akan jadi efek selamanya.” Ia memain-mainkan gelas jus yang telah kosong itu. Sesekali matanya menatap lelaki itu, yang mengawasinya dengan seksama.
“Sejak lama aku merasa kamu menyukaiku. Tapi kamu tak pernah mengatakannya dengan jelas. Kamu pria yang baik, terhormat, stabil. Itu yang membuatku selalu tak percaya jika kamu benar-benar menyukaiku. Aku juga dihantui rasa takut tak bisa merawatmu. Sebetulnya aku orang yang cukup agresif. Tapi entah kenapa, jika berada di dekatmu aku selalu membeku. Kepalaku hanya berisi respek. Aku merasa tak pantas.” Ia mendesah.
“Aneh ya, jadinya aku tak pernah punya imajinasi erotis yang liar terhadapmu.” Kali ini bibirnya menyunggingkan senyum. Bersemu malu.
“Aku sudah berusaha untuk menyampaikannya padamu.” Kali ini si lelaki menyahut. Butuh dua tegukan kopi sebelum ia membuka omongannya itu.
“Aku sudah menyampaikannya dengan berbagai cara, padamu. Bahwa aku mencintaimu. Tapi hingga tahun itu, aku merasa kamu tak pernah benar-benar menyahut padaku, meski kita telah melewati banyak momen bersama yang mengesankan.” Lelaki itu melempar pandangannya ke luar jendela.
“Iya, aku benar-benar bego waktu itu,” perempuan itu menimpali. Mukanya tertunduk. “Kamu sama sekali tidak keliru. Momennya saja yang keliru. Aku merasa begitu buruk sekali waktu itu,” perempuan itu menggigit bibirnya. “Tapi undanganmu benar-benar membuatku terkejut. Kok jadi begini?!”
“Aku meninggalkanmu waktu itu karena mengira kamu menginginkannya demikian,” mata cokelat lelaki itu menatap perempuan di depannya.
“Kenapa kamu tak menyelidiki dulu situasiku?” Ada nada kecewa dalam suara perempuan itu. Muka sendunya kini menjadi cemberut.
“Karena kata-katamu demikian tegas hari itu. Dan itu telah membuatku menyalahkan diri sendiri. Aku merasa telah terlalu bersemangat mencintaimu, sementara kamu lebih sering datang dan pergi, sesukamu. Kamu tahu, aku tak pernah beranjak. Dan itu telah membuatku merasa sangat buruk.” Lelaki itu mencoba mengingat-ingat.
“Ah, kita sedang dipermainkan oleh momentum yang buruk waktu itu,” sesal perempuan itu. “Aku sedang sangat terpuruk waktu itu. Tapi aku terlalu tinggi hati, sehingga tak pernah mengungkapkannya padamu. Kemarahanku padamu hanya menunjukkan kerapuhanku. Aku marah karena sesungguhnya aku rapuh. Tapi aku tentu tak ingin kamu pergi, hari itu.” Perempuan itu mengaduk-aduk gelas kosongnya dengan sedotan. Tatapnya terbagi kepada gelas dan lelaki yang duduk di depannya. “Kenapa kamu tiba-tiba menjauh, dan lantas datang kembali dengan sepucuk undangan?!” Nada perempuan itu agak meninggi.
Lelaki itu hampir menggapai lengan perempuan itu. Namun diurungkannya. Ia menggantinya dengan sebuah tatapan lembut, seperti kapas yang terkena embun. Suasana sedikit hening.
“Kenapa tak berani menjamahku?” Setelah nada-nada sendu, kali ini perempuan itu mengatakannya dengan nada menggoda.
Lelaki itupun terkekeh. “Kamu tahu, aku selalu menghormatimu.”
“Andaikan status kita lajang sekarang, masak tidak berani?” Godaan itu terus berlanjut.
“Jangan pernah mengujiku,” lelaki itu menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan muka perempuan itu, sembari tersenyum malu. Perempuan itupun tersipu.
Suasana menjadi hening kembali. Di luar kedai, lampu-lampu jalan mulai menyala.
“Kenapa kita harus melalui liku-liku itu hanya untuk sampai ke meja ini?” perempuan itu menatap lelaki di depannya.
Lelaki itu mendesah, seolah hendak melepas sebuah beban yang menghimpit di dadanya.
“Kamu tahu,” sebelum melanjutkan kalimatnya, lelaki itu menatap perempuan di depannya, “aku tidak pernah beranjak.”
“Aku ingin pergi, tapi yang bisa kulakukan hanya menyelinap ke halaman samping. Aku tak pernah benar-benar bisa pergi.”
Perempuan itu tertunduk. Pipinya merekahkan rona merah.
“Untuk bisa menghargai pilihan yang benar, apakah kita harus selalu salah belok dulu?” Perempuan itu bertanya.
Lelaki itu menggeser kursinya, mendekati perempuan itu. Tangan perempuan itu diraihnya. Dia menggenggamnya dengan erat. Matanya terpejam. Bibirnya membisu. Perempuan itu menatap lelaki yang sedang menggenggam tangannya. Sebentuk kilau mutiara merembes dari sudut matanya. Di luar kedai, senja jatuh dengan malu-malu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar