Minggu, 08 Juni 2014

PRINSIP



Malam sudah sampai ke pucuk ketika telepon selulernya berbunyi. Untuk sesaat dia tertegun. Setahun sudah berlalu sejak mereka tak berusaha untuk memperbaiki jembatan komunikasi yang pernah runtuh itu. Tapi di pucuk malam yang menggigil itu, setelah sebuah jeda komunikasi yang panjang, perempuan itu kembali menghubunginya. Apa lagi ini? Kenapa lagi dia? Batinnya.

"Sudah tidur, Mas?" begitu pesan pendek perempuan itu.

Dia ingin sekali melempar pesawat selulernya. Dia selalu membayangkan jika hal-hal semacam itu akan selalu memarkirnya ke pelataran yang sama. Pelataran dimana dia akan ketemu banyak dilema dengan dada penuh sesak. Tapi pikiran itu segera ditepisnya. Apa lagi yang akan kau alami jika aku tak membalas pesanmu? Kembali ia membatin. Perempuan itu sepertinya memiliki sejenis sihir yang tak pernah sanggup ditangkalnya. "Kamu selalu bisa meruntuhkan semua prinsip yang ingin kuimani," akunya kepada perempuan itu, bertahun lalu.

"Jika bisa runtuh, bukan prinsip dong namanya," balas perempuan itu manja.

"Baik kokoh maupun rapuh, itu tak membatalkan identitas sebuah prinsip," jawabnya, sembari menarik-narik ujung lengan baju perempuan itu. "Lembaran beton maupun sebatang bambu, jika dia menghubungkan dua bibir sungai, namanya tetap jembatan." Kali ini tangannya menarik-narik lembut rambut perempuan itu. Pemilik rambut tergerai itu terlihat pasrah.

"Hebat sekali ya aku," perempuan itu terkikik.

"Aku lebih sering merasakannya sebagai, 'jahat sekali ya dirimu'," lelaki itu mengatakannya sembari mengecup kepala perempuan itu.

"Kenapa jahat?"

"Karena aku selalu memperbaiki prinsip itu sendirian, setelah kamu rusak dan kamu ngeloyor entah kemana." Kecupan di kepala itu kini telah sampai di daun telinga. Perempuan itu melenguh.

"Apa itu berarti bahwa aku adalah kelemahanmu?" perempuan itu menatapnya lekat. Jarak dua pandangan mereka hanya lima senti.

Lelaki itu menghela nafas. Tepatnya, ia mengatur nafasnya.

"Bukan. Kamu adalah sebagian energiku. Dan kehilanganmu selalu membuatku kehilangan energi," lelaki itu menjelaskan.

"Kukira kamu akan menyebutku sebagai Kryptonite," perempuan itu mengatakannya sembari mendekatkan bibirnya.

Dalam beberapa menit, percakapan itu terputus.

Sebuah tepukan di pundak menyadarkan lelaki itu. "Bocornya ada tiga, Mas, jadi semuanya lima belas ribu." Kalimat itu milik tukang tambal ban. Lelaki itu tersadar dari lamunannya. Setelah mengeluarkan duit, dia tak segera beranjak. Apa lagi yang akan kau berikan di ujung jalan ini? Batinnya lagi, sembari melihat layar telepon selulernya.

Dengan ragu dia mulai membalas pesan perempuan itu: "Sudah tidur?! Bahkan jika aku sudah dikuburpun, aku akan bangkit jika kamu menyebut namaku."

Malam terus bergegas memburu pagi. Ya, perempuan itu memang selalu bisa meruntuhkan setiap prinsip yang diimaninya. Kabut tipis yang melayang di tengah jalanan yang melengang menjadi saksinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar