Celine,
Aku masih ingat bagaimana pertama kali jatuh
cinta padamu. Hari itu, aku sesungguhnya hanya ingin menggodamu. Kamu
tahu, caramu mengejekku, soal kemalasanku belajar bahasa, berhasil
menarik perhatianku. Menurutku, ejekan selalu lebih berhasil memberi
kesan daripada pujian. Dan kamu melakukannya dengan baik, hari itu,
meskipun kamu mungkin tak memaksudkannya begitu.
Aku tahu,
kamu memiliki hampir semua syarat menjadi seorang perempuan yang
menarik, jadi mungkin telah ada banyak lelaki yang sudah berusaha
meladenimu bercakap sebelum aku. Tentu saja, mungkin tak semuanya lelaki
pintar yang bijak dan benar-benar menyenangkan. Tapi, bahkan lelaki
paling bodoh dan brengsek sekalipun akan berusaha menjadi pintar, bijak
dan menyenangkan jika bercakap denganmu. Itu karena kamu bisa menyihir
mereka. Aku pikir, kamu mungkin sebaiknya harus berhati-hati dengan
sihir itu. Tongkat sihirmu bisa membuat apa yang kamu dengar dan kamu
lihat kemudian jadi hanya berisi apa yang kamu inginkan saja. Dengan
begitu, kamu tak pernah benar-benar melihat mereka yang sebenarnya.
Tapi, bukan itu yang ingin kusampaikan dalam surat ini. Aku benar-benar
menikmati percakapan awal itu dan tak ingin berhenti meladenimu. Itu
saja.
Bualanmu, soal pasangan tua yang makin lama makin
kehilangan pendengarannya, selalu membuatku tergelak jika mengingatnya.
Kamu bilang, semakin tua maka pria akan semakin kehilangan pendengaran
terhadap suara-suara bernada tinggi, sementara perempuan akan semakin
kehilangan pendengaran terhadap suara-suara bernada rendah. Jadi, semua
pasangan tua yang sedang bercakap sebenarnya tak lain sedang berusaha
saling meniadakan, karena mereka sesungguhnya tak lagi saling
mendengarkan. Itu, kamu bilang, adalah cara alam agar setiap pasangan
bisa menjadi tua bersama-sama tanpa saling membunuh. Ha ha ha, aku
sungguh tergelak. Imajinasi yang jenaka.
Lalu tiba-tiba
kita harus berpisah di stasiun itu. Entah bagaimana, meskipun grogi, aku
jadi memiliki keberanian untuk mengatakan hal konyol itu padamu: “Hei,
coba bayangkan begini, kamu melompat beberapa tahun ke depan, mungkin
sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, dimana waktu itu kamu sudah
menikah. Hanya saja, entah kenapa kamu tak merasa bahagia dengan
pernikahanmu. Lalu, kamu mungkin mulai menyalahkan suamimu, dan pada
saat yang bersamaan mencoba mengingat-ingat kembali masa lalu, tentang
orang-orang yang pernah kamu temui, dan berpikir apa yang akan terjadi
seandainya dirimu memilih salah satu di antara mereka? Dan aku adalah
salah satu di antara orang-orang itu.”
Ah, tentu saja, aku harus membujukmu waktu itu. Kita baru saling
kenal, baru saja memulai sebuah percakapan yang bertenaga, dan sebelum
sebuah tarikan nafas habis tiba-tiba seperti dipaksa untuk menyudahinya.
Aku masih ingat kata-kata terbaik yang bisa kuucapkan waktu itu, agar
kita tak segera berpisah: “Jadi, anggap ini sebagai perjalanan waktu
dari masa itu ke masa kini, untuk mengetahui apa yang mungkin telah kamu
lewatkan hari ini. Ini akan menjadi sesuatu yang berarti bagimu kelak,
untuk meyakinkan bahwa kamu tak pernah melewatkan apapun. Sebab, aku
mungkin sama pecundangnya seperti suamimu waktu itu, hanya lelaki yang
membosankan, tak punya motivasi, sehingga kamu akan merasa lebih baik
karenanya, karena telah membuat keputusan yang tepat dengan tak
memilihku.”
Ya, secara umum itu memang bualan. Mungkin,
aku sebenarnya hanya ingin menggodamu. Tapi entahlah. Kalimat-kalimat
itu meluncur begitu saja. Dan meskipun aku tak tahu persis apa yang akan
terjadi setelah itu, dan juga setelah ini, aku tahu bahwa tak
mengatakannya akan menjadi sebuah kesalahan besar. Aku tak bisa
membayangkan hidup dengan menanggung kesalahan, dan kemudian penyesalan,
semacam itu.
Aku tahu, menulis surat ini merupakan
pelanggaran terhadap janji kita pagi itu. Tapi menunggu enam bulan tanpa
melakukan apapun bisa membunuhku diam-diam. Ini tak semudah seperti
dalam film-film yang pernah kutonton, atau seperti dalam novel-novel
yang pernah kubaca. Maafkan aku melanggar janji itu dengan menyuratimu.
Celine,
malam yang kita habiskan dengan percakapan itu adalah malam yang sangat
menguras perasaanku. Aku merasa sepertinya telah menghabiskan seluruh
energi masa mudaku bersamamu, malam itu. Tidak, itu tidak konyol. Kadang
orang mengalaminya. Dan aku telah mengalaminya. Ada sejumlah hal dalam
hidup yang tak datang dua kali. Dan aku merasa malam itu adalah salah
satunya, bagi hidupku.
Ya, ya, ya, aku tahu kamu akan
segera mengejek, dengan gaya aristokratmu yang khas Eropa, bahwa kamu
pernah mengalaminya beberapa kali dengan beberapa orang. Ah, jahatnya
kamu. Tapi itu bukan masalahku. Pada kenyataannya, aku memang hanya
mengalaminya denganmu.
Tentu saja itu membuatku jadi tak punya pembanding. Tapi apa masalahnya dengan itu?
Ada
banyak orang selama hidupnya tak pernah bepergian kemana-kemana. Mereka
menghabiskan hidupnya di kampung halaman tempat mereka lahir,
mencintainya dengan tanpa berpikir bahwa hidup mereka mungkin akan lebih
bahagia jika dihabiskan di tempat lain. Namun, juga ada banyak orang
yang pernah bepergian kesana kemari, berkeliling dunia. Keduanya tak
menunjukkan apapun. Mencintai tanah kelahiranmu, tanpa dan/atau sembari
tak kehilangan imajinasi mengenai tempat yang lain—ya, meski sekadar
imajinasi—tak lebih memprihatinkan daripada orang yang sudah bepergian
kemanapun tapi tak pernah benar-benar mencintai sebuah tempat sebagai
rumahnya. Rumah yang bisa memulihkan tenaga, rumah yang bisa
menyembuhkan luka-luka, dan rumah yang bisa sekaligus membuatmu tertawa
dan menangis. Rumah yang selalu menyediakanmu pelukan dan tepukan di
pundak.
Aku suka bepergian, tapi aku bukan pelancong. Kamu
tahu persis itu. Hal yang membuatku jadi hampir benci pada seorang
penyair yang dulu telah memperkenalkanku pada Sartre adalah karena
kemudian aku mendapati bahwa dirinya adalah seorang flaneur,
sang pengelana, sonder menemu, sonder mendarat, dimana ia me-raja-kan
kenikmatan mengamati. Aku menganggap itu sebagai benar-benar produk gestabliseerde burgers, the leisure class. Penyair yang demikian tak pernah benar-benar berposisi, karena setiap waktu ia selalu akan bisa menyangkal posisinya.
Tentu
saja, kamu akan mudah menuduhku konservatif, sama seperti kamu mengira
bahwa aku mengejarmu hanya karena menganggapmu eksotik, karena dirimu
adalah perempuan Perancis yang bawel namun jenaka. Tapi, aku memang
selalu mencoba teguh pada prinsip-prinsip yang kuyakini, yang selalu
akan membawaku pada posisi-posisi yang tegas dengan pembelaan yang juga
verbal. Barangkali itu sebabnya aku tak bisa jadi politisi atau
jurnalis, seperti kamu bilang. Dan kenyataannya memang begitu. Aku tak
gampang mengalihkan perhatian dan mengubah pilihan. Itu tak selalu
buruk, meski juga tak selalu baik.
Ya, aku tak bisa menjadi flaneur.
Mungkin aku lebih nyaman menjadi semacam posisi William Faulkner ketika
dalam sebuah wawancara ia mengatakan bahwa jawaban atas suatu
pertanyaan dapat berubah manakala pertanyaan yang sama ditanyakan
keesokan harinya. Setiap penyair akan terus memperbarui puisinya setiap
kali mereka akan menerbitkan ulang karyanya. Tapi itupun tak bisa
berlaku untuk semua hal, terutama untuk menjadi prinsip dalam membangun
relasi. Menurutku, kita hanya bisa mengejar ufuk kemungkinan dalam soal
karir, tapi tidak pada hal memilih pasangan. Barangkali nasib kita
mungkin akan berakhir seperti puisinya Eliot, “The Waste Land”.
Eliot harus merelakan banyak bagian dari puisinya terpenggal, yang
membuat hatinya terluka, namun orang-orang malah memujanya sebagai
mahakarya. Kadang, begitulah hidup. Bagaimana kita akan menilainya?
Hidup yang kejam? Atau hidup yang misterius?
Tahukah kamu,
ketika kita berpisah pagi itu, yang menyudahi percakapan-percakapan
yang membuatku tumbuh, aku selalu teringat pada puisi seorang dramawan
Indonesia yang pernah menggelandang di New York, “kamu bagaikan buku
yang tak pernah tamat aku baca.” Dan aku bisa mati diam-diam untuk
menunggu terlalu lama bagian lain yang sebelum selesai kubaca itu.
Aku
duduk di bandara, pagi itu, membaca majalah lama, menikmati secangkir
kopi sembari bersedih… karena kamu tak turut denganku. Seperti kubilang
malam itu, aku akan memilih menikahimu, meskipun kamu ternyata adalah
monster yang sanggup membunuhku, daripada memilih tak pernah ketemu lagi
denganmu.
Ya, kamu adalah perempuan Perancis yang tinggi hati. Aku tahu itu.
Bahkan, ketika kita berpisah pagi itupun, kamu masih bisa bilang bahwa
kamu mungkin akan turun di Salsburg bersama dengan pria lain. Ah,
Celine… Apa kamu menganggapku hanya pria Amerika bodoh yang hinggap
sejenak dalam hidupmu?! Tapi aku tahu kamu hanya berkelakar pagi itu,
mungkin untuk melemaskan perasaan yang mulai mengetat. Aku harap begitu.
Pertemuan
kita adalah irisan yang agak ganjil. Aku terbang melintasi Atlantik
untuk bertemu Lisa, pacarku, di Madrid. Tapi perjalanan panjang itu
berakhir dengan penegasan bahwa aku tak mungkin bersamanya lagi. Sebuah
penegasan yang mahal, karena seluruh tabunganku habis untuk membiayai
perjalanan brengsek itu. Sementara kamu baru berpisah enam bulan dengan
pasangan yang membuatmu pernah sangat terobsesi, sehingga ketika kamu
berpisah darinya kamu ingin membunuhnya, yang membuatmu berurusan dengan
psikiater dungu. Ah, muskil sekali ya hidup ini. Kita dipertemukan
sebagai dua orang yang baru saja lepas dari hal-hal buruk, yang membuat
masing-masing kita nampak sebagai orang aneh.
Tapi, sejak
bercakap denganmu, aku berpikir bahwa perjalanan mahalku bukanlah untuk
mendapatkan ketegasan soal relasiku dengan Lisa, melainkan perjalanan
untuk menemukanmu. Sampiran-sampiran hidup macam itu kadang melelahkan,
kupikir, karena kita tak pernah tahu dimana ujungnya, dan bahkan kita
tak pernah tahu apakah sampiran-sampiran itu berkesudahan.
Memikirkan
itu semua mungkin akan membuatku gila. Maka, aku jatuh cinta padamu,
hari itu, karena kita bersepakat membuat segalanya jadi sederhana. Ya,
sebenarnya ke-sederhana-an kita memang berbeda. Kamu berpikir rumit,
namun memutuskan segalanya dengan cara sederhana. Sementara, aku
berpikir sederhana, namun seringkali memutuskan segalanya dengan cara
yang rumit. Satu hal yang jelas, aku memang pernah meyakini cinta yang
lain, namun tak pernah seyakin kepadamu.
Aku tidak tahu
apakah surat ini akan benar-benar sampai kepadamu. Kita tak bertukar
nomor telepon dan alamat pagi itu. Aku juga tak pernah tahu nama
belakangmu. Ya, Tuhan, kenapa kita membuat pilihan gila macam itu?
Surat
ini kualamatkan ke kampusmu, sembari berharap ada seseorang yang cukup
baik dan berusaha untuk membantu mencarikan dirimu. Ya, Tuhan, ini
benar-benar gila. Dan aku akan menyesali jika tak pernah melakukan hal
gila macam ini.
Sepertinya, aku sungguh tergila-gila padamu, Perempuan bawel yang jenaka. Aku sungguh-sungguh tergila padamu…
Jesse Wallace
Tidak ada komentar:
Posting Komentar