/5/ Mereka berdua menyukai rempah-rempah dan merencanakan kelak memiliki
rumah yang akan dikelilingi kebun rempah, selain sayur dan buah. Setiap
senja mereka akan mendiskusikan mimpi-mimpi itu. Mereka menyukai film
Paul Mayeda yang sangat hidup bercerita mengenai rempah dan kehidupan,
serta buku Turner yang dengan apik mampu meyakinkan pembacanya bahwa
alasan pelayaran bangsa-bangsa Utara ke Selatan
pada zaman dulu bukanlah untuk merebut makam suci dari kaum kafir, atau
untuk menyebar ayat-ayat Tuhan, melainkan karena makanan mereka yang
sangat memprihatinkan. Mereka setiap hari makan dengan daging asin dalam
kondisi yang seringkali hampir basi dan membusuk. Bangsa Sparta,
misalnya, hanya bisa menyedapkan makanan mereka dengan kerja keras dan
rasa lapar. Tak ada yang mampu menolong mereka dari penderitaan itu
kecuali sedikit lada, jahe atau kayu manis. Hanya rempah-rempah itu yang
bisa menyamarkan bau daging dan asinnya garam. Dan untuk itulah mereka
rela menyabung nyawa membelah lautan. Betapa puitisnya sejarah yang
demikian. Tak heran, Edward Said menyebut bahwa rempah adalah imajinasi
orientalisme yang paling kental. Ketika membicarakan rempah, lelaki dan
perempuan itu akan saling tatap dengan mata berbinar. Dalam semua
dongeng dan kitab kuno, rempah adalah simbol gairah dan eksotisme. “Bau
tubuhmu seperti gaharu,” kata si lelaki kepada perempuannya. Dengan
tatapan manja, perempuannya tersipu. “Hanya seperti gaharu?” tanya
perempuannya, menggoda. “Tadinya aku mau bilang seperti kemenyan sih,”
jawab si lelaki. Keduanya terbahak. “Kamu itu seperti pekak, alias
kembang lawang,” kali ini si perempuan memberikan penilaiannya. “Kenapa
pekak?” tanya si lelaki. “Karena cuma di masakan yang ribet ada
pekaknya. Dan masakan yang ribet itu adalah masakan yang enak.
Berkelas,” jelasnya, dengan mimik yang serius. Kali ini giliran si
lelaki yang tersipu. “Sementara, aku adalah cabe Meksiko,” lanjut si
perempuan, “yang peddeeessnya minta ampun.” Keduanya kembali tertawa.
“Aku pikir kamu memang seperti cabe,” kata si lelaki tenang. Dengan
tatapan mendalam ia menyapu wajah perempuannya. “Kamu bisa membakar
mulut dan membuat sakit perut,” imbuhnya. “Tapi itu hanya terjadi di
tangan koki yang salah. Aku menyukai sambal dan makanan pedas, jadi tak
akan gampang sakit perut,” katanya, sembari meraih jemari perempuannya.
Tubuh mereka merapat, meruapkan aroma mur, gaharu, nilam dan cendana. #poesiku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar