Kalau
ada perempuan yang tahan berkutat di kepalanya selama berhari-hari,
berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, maka perempuan itu adalah
perempuan pembaca puisi. Dia menemukannya, acuh tak acuh, di pojok
Benteng Vriedenburg, senja itu. Rambutnya tercerai, dandanannya
menor, dengan bau tubuh Paris. Baju putih selengan membungkus
tubuhnya yang jangkung, dengan renda-renda di pergelangannya. Trotoar
Malioboro masih mengepulkan debu, senja itu, dan perempuan itu
menebarkan aroma kegilaan. Dia baru menyadarinya setelah beberapa
hari lewat.
“Siapa
namamu,” sapanya. Perempuan itu menjawab dengan senyum. “Tentu
saja namamu bukan ‘Senyum’ ‘kan?” sambungnya, tak sabar.
Perempuan
itu tertawa kecil. “Aku tak punya ingatan untuk itu,” sahutnya
setelah beberapa saat.
Apa
pula ini, gerutunya dalam hati. Perempuan itu mengkikik. Bibirnya
merampat, mengukir dua lesung di pipinya.
“Namaku
Puisi,” setelah puas mengkikik.
Ini
juga, apa pula. Dia baru saja berhasil memupuk keberanian untuk
menggoda perempuan, dan kini perempuan itu yang justru menggodanya.
“Namaku
Puisi, dan namamu adalah Buku!” sederet gigi putih itu kini kian
jelas terlihat, mengkilap sepanjang derai tawanya.
Apa
yang bisa dilakukan lelaki pada saat itu hanyalah ikut tertawa. Dan
dia juga ikut tertawa, tapi kecil saja. #prosa05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar