Kamis, 08 Mei 2014

SURAT UNTUK NUN


Sudah seminggu aku menghabiskan pucuk malam di kedai ini. Kedai dengan dinding krem dan lampu-lampu sendu dalam kotak anyaman bambu. Di tempat ini, aku seperti memiliki diriku sendiri. Tak ada buku yang minta disentuh, tempelan memo yang mengingatkan pada pekerjaan, atau koran-koran dengan kepala berita memuakkan yang minta diperhatikan, seperti kalau aku ada di rumah. Aku bisa duduk di kedai ini berjam-jam. Tiga potong puisi yang kutulis untukmu beberapa hari ini lahir di sini, di kursi pojok dekat pot berisi palem kuning yang menjulang. Kita pernah bercakap di pojokan itu. Entahlah. Mungkin kamu tak mengingatnya lagi. Itu sudah lama sekali.

Aku sengaja menyendiri di kedai ini untuk mengumpulkan lagi ingatan tentangmu. Sejak kamu pergi dua puluh lima tahun lalu, hidupku menjadi limbung. Aku membiarkan diriku tertiup angin kesana kemari, seperti perahu kertas yang ringkih. Tak ada lagi kapten kapal yang ingin menjangkau berbagai ufuk kemungkinan. Tanah-tanah tak bertuan, seperti yang kau tulis dalam bukumu tempo hari, Terra Incognita, turut pergi bersamamu, tak menyisakan secuilpun imajinasi. Sejak itu aku tak berlayar kemanapun. Jangkarku dilabuhkan di halaman, bersama sejumlah pot Euphorbia dan Monstera. Setiap petang aku menyirami pot-pot itu, yang selalu akan membuatku jadi merasa seperti tanaman-tanaman itu. Ya, aku seperti tanaman di dalam pot-pot itu. Aku memiliki akar, tapi akarku tak pernah benar-benar menyentuh tanah. Dan, meski akarku tak pernah menghujam tanah, aku toh tak punya kaki yang bisa membawaku pergi.

Satu-satunya hal yang membuatku merasa hidup adalah bau Lili di samping pohon Bodhi di belakang rumah. Itu mengingatkanku pada bau parfumu. Aku menyambung hidup dengan ingatan itu. Puisiku banyak lahir di meja lusuh tempat aku terakhir membacakanmu sajak Chairil. Mungkin benar kata Skacel. Penyair sebenarnya tak pernah benar-benar menciptakan puisi, karena sesungguhnya puisi ada di balik dunia. Ia tak pernah pergi, melainkan selalu di sana. Penyair hanya menemukannya. Sebagai puisi, aku selalu menemukan bau parfumu di samping pohon Bodhi itu. Bau yang masih bisa menuntunku untuk menulis dan berpikir. Betapa menyedihkannya. Aku kini hanya bisa mengembara di air kata-kata.

Namun semenjak gempa pagi itu merobohkan rumahku, pohon Bodhi itu tak lagi di sana. Dan Lili itu telah mati setelah beberapa hari ditinggal mengungsi. Pupus sudah semua kenangan tentangmu. Aku selalu mencoba mengais kenangan itu di kedai ini, sebelum kemudian memutuskan pergi dari kota ini, kota yang telah mempertemukanku denganmu.




Aku memang harus pergi, Nun. Anak-anak harus dibesarkan dengan kewarasan yang jejag. Dan aku tak sanggup membesarkan mereka dengan ingatan yang terlalu kuat tentangmu. Mereka butuh diperhatikan juga. Betapa keparatnya memang situasi macam itu. Jika hal buruk berhadapan dengan hal baik, mudah sekali bagi kita untuk memilih. Namun, jika dua hal yang sama-sama kita inginkan kemudian jadi saling berhadapan, aku hanya bisa mengumpat: keparat sekali hidup ini!

Kami harus pergi, Nun. Kami harus menjauh darimu.

Meninggalkan kota ini memang menguras perasaan. Aku harus meringkuk selama sepuluh hari di rumah sakit persis setelah menginjakkan kaki di rumah baru. Itu seperti menjadi momen kehilanganku yang ketiga kali. Kenapa aku harus kehilanganmu sebanyak itu, Nun?

Anak-anak tumbuh dengan luar biasa. Hanya pada raut muka bahagia mereka aku turut merasa bahagia. Dalam kenyataannya, aku memang tak lagi sanggup menciptakan kebahagiaan untuk diriku sendiri. Bagian paling buruknya, kadang aku berpikir penderitaan ini tak sekadar “hidup”, tapi “ada”, seperti yang diceritakan Milan Kundera dalam salah satu novelnya. Hal-hal buruk dalam hidup akan kita tinggalkan jika kita mati. Namun, hal-hal buruk yang meng-ada, akan terus-menerus ada bahkan setelah kita mati. Bagaimana jika setelah mati, aku juga tak ketemu lagi denganmu, Nun?

Melupakanmu aku tak sanggup. Aku hanya mencoba berdiet ingatan. Sedikit demi sedikit porsi ingatan terhadapmu kukurangi. Dan sepertinya itu berjalan sangat lambat. Lima tahun pertama aku masih saja mengigaukan namamu. Itu sebabnya aku tak pernah bisa tidur dengan anak-anak. Setelah mereka tidur, aku akan menyelinap ke sofa, menghidupkan radio, dan membaca buku-buku yang telah kususun untuk dibaca di malam hari. Nun, aku tak pernah bisa berhenti mencintaimu.




Setelah lebih dari lima tahun, aku baru benar-benar bisa meletakkanmu di laci ingatan. Aku menyimpanmu setiap pagi hingga petang. Jika malam telah jauh beranjak, ketika anak-anak telah lelap, sebelum tidur aku akan kembali mengenangkanmu. Itu akan menjadi saat-saat paling indah dalam hariku, Nun.

Anak-anak bersekolah sesuai keinginan dan kemampuan mereka. Seperti yang pernah kamu ramalkan dulu, bahwa Palung akan tumbuh menjadi seorang sarjana atau seniman, kenyataannya memang begitu. Ia telah mempublikasikan lebih banyak tulisan daripada waktu aku masih seumuran dengannya. Dan dia bisa bermain gitar, keterampilan yang selalu ingin tapi tak pernah kukuasai. Jika bertemu dengannya, ia adalah anak muda yang memikat kini. Aku bangga menjadi ayahnya. Demikian juga Lily. Ia memilih belajar musik. Aku tak terlalu mengerti dengan bidang yang ditekuninya. Tapi aku tahu, dia kadang tahu terlalu banyak daripada guru-gurunya. Melihatnya, aku seperti melihat bayang-bayang dirimu. Dia adalah anak perempuan yang mandiri, tapi tak pernah kehilangan selera humornya. Persis dirimu yang kuingat dulu.

Nun, apakah selama ini kamu pernah mengingatku?

Aku kembali lagi ke kota ini karena desakan Palung, Nun. Dia memintaku kembali ke kota yang telah mempertemukanku denganmu ini. Dia bercerita, semenjak kecil dia sebenarnya sudah tahu jika aku tak bahagia di kota tempat tinggal kami yang baru. Tapi sebagai anak kecil dia hanya bisa merasakannya, tak tahu bagaimana mengutarakannya kepadaku, atau tak tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik terkait soal itu. Aku hanya tersenyum mendengar pengakuannya. Sepertinya, aku tak berbakat untuk bersembunyi dengan rapi, terkait apapun. Namun, aku selalu berusaha untuk menepis kekhawatirannya. Bagaimanapun, dia dan Lily lebih membutuhkan perhatianku daripada sebaliknya.

Ketika dia sudah beranjak agak dewasa, aku baru mulai bisa mengajaknya bercerita agak jauh. Seperti kuduga, dia sudah tahu cukup banyak mengenai apa yang ingin kuceritakan. Aku terharu. Anak-anak ternyata sangat memperhatikanku, Nun.

Petang itu, pada hari ketika Palung menyelesaikan tentamen terakhirnya, aku mengajaknya berbicara. Dan aku terkejut ketika mendapati bahwa ternyata dia tidak terkejut.

Dengan tenang dia memegang bahuku, seperti aku ini adalah kawannya saja.

“Ayah harus segera kembali ke kota itu. Aku juga selalu merindukan kota itu. Dan apalagi Ayah.” Dia kemudian memelukku.

“Aku sudah membaca semua catatan pribadi Ayah. Maafkan aku. Kadang aku membuka laci dan arsip-arsip Ayah jika sedang bosan membaca. Sejak SMA, aku sudah membaca catatan-catatan itu. Pada mulanya aku terkejut. Ayah telah memendam semua persoalan itu sendirian. Aku merasa bersalah tidak sangat serius memikirkan soal itu sebelum ini. Maafkan aku jika selama ini aku telah mengabaikan Ayah.” Ia memelukku erat, Nun. Dia sudah besar memang.




“Aku mencintai Ayah, sama seperti aku mencintai ibu. Aku selalu bangga menjadi anak Ayah dan ibu. Apa yang telah Ayah alami itu sesuatu yang sulit dan rumit. Aku butuh waktu untuk memikirannya. Pada tahun-tahun sebelum aku lulus SMA, aku sebenarnya sangat menginginkan agar Ayah bisa segera kembali ke kota itu. Aku sudah cukup dewasa untuk mengurus diriku, dan sudah cukup paham mengenai apa yang Ayah alami. Sungguh, aku ingin mengatakan hal itu pada Ayah.” Aku merasakan punggungku basah.

“Namun, itu ternyata bukan puncak kesulitan kita, itu bukan pucuk kesulitannya Ayah. Kita masih mendaki pucuk yang lebih tinggi lagi. Vonis itu mengagetkan kita semua. Bagiku, itu hal terburuk yang pernah kualami. Ibu harus menjalani perawatan yang menguras perhatian dan melelahkan setelah itu. Dan aku melihat Ayah tak kehilangan kesungguhan untuk menjalani itu semua. Terus merawat kami, aku, Lily, dan ibu. Itu contoh kasih yang sangat mengoyak. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada menyaksikan semua itu, Yah, kesakitan di balik kesakitan.” Pipiku pun mulai basah.

“Itu lima tahun yang sulit. Dan aku berterima kasih Ayah tetap bersama kami.” Akupun membiarkan diriku hanyut. Aku memeluk anakku erat-erat.

“Aku kini sudah jauh lebih dewasa dari hari itu. Dan aku sangat paham dengan perasaan Ayah. Lily juga sudah tahu. Aku memberitahunya lima bulan lalu, tak lama setelah kita melepas ibu ke tempat peristirahatannya. Dia juga paham dan punya pikiran yang sama denganku. Dia nanti malah ingin bekerja di kota itu.”

Aku menatap mata anakku, Nun. Mereka kini bukan kanak-kanak lagi ternyata. Dan aku kini tak muda lagi. Namun, perasaanku padamu terus kujaga untuk selalu tetap berseri, Nun. Malu sebenarnya aku menuliskannya. Tapi demikianlah adanya. Dengan diantar Palung dan Lily, aku berangkat ke kota ini dua minggu lalu. Sementara ini, aku tinggal di wisma di pinggir kota. Tentu aku sudah memikirkan akan membeli rumah kembali di sini, apalagi nanti Lily ingin bekerja di kota ini.

Selama itu, sengaja aku tidak menghubungimu, karena dua minggu yang lalu aku sama sekali memang tak tahu kondisimu. Tanpa bermaksud jahat, atau berpikiran jahat, aku bahagia sekali mengetahui bahwa kini pun kamu sudah sendiri, Nun. Dan tak ada yang lebih membahagiakanku daripada kamu masih mengingatku. Aku bahagia, paling tidak kita masih bisa ketemu sebelum masing-masing kita memiliki cucu. Ah, kita belum setua itu.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah dua pertemuan kita kemarin. Semoga kita dikaruniai kesehatan dan umur panjang untuk mengetahui apa yang akan terjadi esok pagi.




Sejak berpisah denganmu dua puluh lima tahun lalu, aku tak pernah bisa berhenti mencintaimu. Dan aku ingin terus mencintaimu, Nun. Jangan biarkan salah paham menyelinap ke halaman rumah kita lagi, setelah ini. Aku tunggu kamu sarapan pagi di alun-alun besok, seperti kita menghabiskan pagi terakhir di bulan Sya'ban dua puluh lima tahun lalu. Karena tak lagi bisa mengayuh sembari memboncengkanmu, aku akan menjemputmu pakai becak.

Aku mencintaimu, Nun, dan aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan mencintaimu dan anak-anak.


LAM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar