Jumat, 02 Mei 2014

GERIMIS


Sebuah perpustakaan sama seperti labirin. Rumit, penuh dengan lorong-lorong dan anak tangga. Dan sebuah labirin bisa menyenangkan atau membingungkan, dan bahkan mematikan. Menyenangkan, karena di sinilah avonturisme bisa dijejalkan ke segala pintu. Namun menjengkelkan setengah mati jika terlunta di dalamnya. Sebuah dunia tak berujung ada di sini. Misteri dan jawaban hadir dalam wajah paling ekstrim. Dan itu sangat tidak menyenangkan untuk sepenggal hidup yang terbatas.

Aku keluar dari perpustakaan dengan pikiran menjuntai. Langit seperti berada tepat di atas kepala, seakan hendak menelan sekujur tubuhku. Agaknya Tuhan ingin menunjukkan otoritasnya, bahwa aku hanya sekadar mahluk kecil tak berkuasa di muka bumi ini. Dan labirin yang dicipta Tuhan jauh lebih rumit dibanding labirin yang tercetak pada lembaran-lembaran kertas yang bertumpuk di perpustakaan.

Ya, setiap kali keluar perpustakaan aku akan selalu merasa bahwa langit memang seperti tepat berada di atas kepalaku. Dan Tuhan akan selalu menang dengan ejekan yang membungkam, “Labirinku jauh lebih rumit dibanding yang barusan kau jelajahi.” Dan aku akan selalu mengangguk. Entah, mungkin lebih karena lelah. Meski, kadang pada sela-sela yang hanya sedikit kumiliki, aku berpikir Dia sedang mengajakku berdialog bahwa jangan habiskan hidupmu hanya untuk menebalkan kulit di bagian pantat. Aku lalu akan tersenyum, sebelum tenggelam dalam bantal dan selimut.

Lampu-lampu jalan sudah lama menyala. Langit agak mendung. Pandangku terbatas pada beberapa meter ke depan. Bukan hanya pantatku yang menebal, ternyata. Gelas pipih di depan mataku juga ikut menebal. Tak lagi bisa kunikmati pemandangan sintal para karyawan bank di seberang sana.

Gerimis jatuh satu-satu. Aku mengumpat. Tubuh letih ini harus berlari-lari kecil ke halte. Mataku jadi berkunang-kunang. Aku jadi ingat sudah beberapa bulan ini tak pernah berolah raga. Tubuh ini jadi begitu renta.

Masih dengan pandangan kabur aku terduduk di kursi halte. Mataku terpejam. Alangkah enaknya jika aku sudah sampai di rumah dan berendam dalam air hangat. Sekali-kali, aku juga ingin memanjakan tubuh, bukan hanya menebalkan pantat. Aku jadi melamun.

“Mas.....” sebuah suara lirih terempas lamat-lamat. Aku masih tak sadar dengan lamunanku. Ketika suara lirih itu berulang, aku baru membuka mata. Kabur. Kepalaku masih pusing. Hanya kudapati sesosok tubuh di halte ini. Perempuan. Mataku terpicing. Perlu waktu agak lama untuk bisa memusatkan pandang. Bahkan, kini bukan hanya tubuhku yang rapuh, pandanganku pun kian tak bertenaga.

Sosok itu kukenali. Tepatnya pernah kukenali. Tepatnya lagi, itu sosok yang tak pernah ingin lagi kukenali. Lebih tepat lagi… sesungguhnya aku ingin lebih mengenalinya, semenjak dulu. Aku mendesah. Panjang.

Akhirnya aku bertemu kembali denganmu. Dunia ini sempit, ternyata. Pertemuan seperti ini terus berulang-ulang. Selalu dalam gerimis yang menggigit. Kita bertemu dalam keterbataan. Mini kata. Aku akan selalu pamit dengan salam yang juga terbata. Atau kamu akan pergi dengan senyum tipis tanpa makna. Dan semua itu menjengkelkan.




Lihatlah kini. Aku hanya bisa menatapmu yang tertunduk. Malu-malu. Pipimu merah. Semerah ketika kupernah mengecupmu malam itu. Tempo hari. Aku sudah lupa. Juga semerah pipiku ketika kau berikan surat itu dan aku marah besar.

Kenapa kita bisa mengingat masa lalu tapi tidak bisa mengingat masa depan? Kerucut masa lalu itu masih kuingat dengan koordinat-koordinatnya. Ini seperti fisika yang memusingkan. Dan kini aku sedang berada pada ujung kerucut masa lalu dengan masa depan. Dan aku sama sekali tidak tahu pada koordinat mana masa depanku saat ini, ketika bertemu kembali denganmu. Aku seperti masuk ke dalam labirin kembali. Dan Tuhan tentu tertawa lebar. “Labirinku lebih rumit lagi, bukan!?” selorohnya.

Kamu makin tertunduk. Tidak. Aku tidak menyalahkanmu. Ada banyak hal yang tidak bisa kita pahami memang, meski kadang kita jumawa dengan menganggap telah mengerti suatu persoalan. Dan aku juga mungkin tak memahamimu, sama seperti kamu tak memahami merahnya mukaku hari itu. Tidak. Aku juga tidak membencimu, meski kadang aku membenci kepura-puraanmu.

Labirin ini memusingkan. Aku tak tahu bagaimana tepatnya pikiranku saat ini. Aku kini sedang belajar, sama seperti isi suratmu tempo hari. Aku sedang belajar berpaling. Melupakanmu. Meski aku tak berpikir aku bisa.

Gerimis makin deras. Lamat-lamat aku teringat pada sepenggal puisi yang pernah kutulis, bertahun-tahun silam…

lupa itu mudah, Sayang
hanya secarik halaman kosong
dalam buku hidupku

menyobek halaman itu mudah
tinggal berpaling, dan seribu halaman lain berhamburan
hanya, satu yang sulit
membuat halaman baru yang berarti…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar