Jumat, 09 Mei 2014
/10/ POESIKU
/10/ Di awal musim kemarau, perempuan itu mengiriminya cabe Meksiko. Merah-merah, menyala. "Ini hasil panenku," kata perempuan itu. Tak tanggung-tanggung, satu karung. "Bagaimana ini bisa dihabiskan?" tanya lelaki itu bingung. "Itu urusanmu," jawab perempuan itu. "Aku tidak menanamnya, kenapa aku yang harus menghabiskannya?" keningnya berkerut. "Itu juga urusanmu," ujarnya tak acuh. Lelaki itu menepuk jidatnya. "Mampus aku," keluhnya.
"Katanya kamu menyukai yang pedas-pedas, kenapa baru berhadapan dengan sekarung cabe saja sudah bingung?" perempuan itu mendelik. "Aku memang menyukai yang pedas-pedas, tapi cabe-cabe ini pasti sudah membusuk sebelum aku bisa menghabiskannya. Sementara, aku juga tak ingin membaginya kepada yang lain. Kamu sudah memberikannya kepadaku, jadi aku tidak akan memberikannya lagi kepada yang lain." Ia mengatakannya sembari membereskan ruang tamunya yang berantakan.
"Kenapa kamu tidak pura-pura saja menerimanya, lalu setelah itu kamu buang. Toh aku juga tak mungkin tahu," perempuan itu memberinya ide. "Kamu baru saja mengatakannya padaku, tentu saja aku tidak akan melakukannya, karena kamu pasti akan mengetahuinya." Lelaki itu menarik karung cabe itu ke tengah rumah, kemudian duduk di kursi.
"Aku punya ide bagaimana agar cabe-cabe ini bisa habis tanpa harus terbuang dan diberikan kepada orang lain," ujarnya sesaat kemudian. "Apa?" perempuan itu masih merengut. Raut muka masam itu sepertinya sudah bawaan sejak lahirnya, gerutu lelaki itu, dalam benaknya. "Menikahlah denganku," kata si lelaki. Perempuan itu tersedak. "Menikahlah denganku, lalu kita bikin kenduri dengan melibatkan cabe-cabe ini sebagai menu bersantap. Lebih dari separuhnya pasti akan habis. Sisanya bisa kita bikin sambal dan bumbu untuk seminggu. Pasti ludas. Tak terbuang. Tak harus dikasih ke orang. Dan yang paling penting, kita bisa menikmati cabe-cabe ini tanpa sebuah keterpaksaan." Lelaki itu mengatakannya dengan mantap. "Kalau dihabiskan sendiri, cabe-cabe ini bisa membuat sakit perut. Tapi kalau dihabiskan bersama, melalui sebuah kenduri, setiap bijinya akan kita kenangkan sebagai kelezatan," ujarnya, sembari mulai membuka karung.
"Ah, kau..." perempuan itu melempar mukanya. Angin menerobos dari daun jendela yang terbuka. Hari itu matahari bersinar sangat terik. #poesiku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar