Minggu, 04 Mei 2014

WANAGALIH, SUATU KETIKA


Surau itu tegak menghadap sungai. Temboknya berkapur putih dengan lantai karpet. Tiga puluh tahun lalu ia masih cukup banyak dikunjungi anak-anak dan muda-mudi. Mereka menjadikannya tempat berkumpul tiap sore. Kampung itu memang tak begitu besar. Jalan-jalannya masih belum dikeraskan. Pada hari raya, kalau tak hujan, semua anak-anak dan muda-mudi, termasuk dari kampung sebelah, berkumpul di surau. Mereka bergembira. Anak laki-laki itu termasuk yang paling gembira jika hari raya tiba. Bukan karena puasanya tamat, tapi dia akan bisa banyak bercakap dengan gadis pujaannya hari itu, di teras rumahnya yang berpunggungan dengan surau. Dia akan disuguhi banyak kue-kue olehnya, lebih dari teman-temannya yang lain, dan mereka akan saling bercerita sampai larut. Bukan kue-kue itu yang menyenangkannya, tapi percakapan itu yang membuatnya bertenaga. "Aku menyebut namamu, kamu menyebut namaku," begitu janji keduanya waktu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar