“Tak ada yang kurang dengan kesendirian bukan?! Bagiku, sendiri itu sudah cukup,” ujar perempuan itu.
Lelaki itu mengangguk. Secara tak sengaja keduanya bertemu dalam sebuah
perjamuan di kedutaan malam tadi. Mereka kemudian mengatur janji untuk brunch
bersama di sebuah hotel di pusat kota keesokan harinya.
“Kok kamu tidak protes? Biasanya kamu rewel sekali memprotes ucapanku?”
tanya perempuan itu, sembari menaburkan bubuk merica di atas omeletnya.
Lelaki itu tersenyum.
“Kali ini aku tidak ingin beroposisi,” ujarnya.
“Oh, jadi kamu berpikir masih akan bisa berkoalisi dengan cara tidak
beroposisi, begitu?” tanya perempuan itu, sembari pura-pura memacak wajah
galak.
Lelaki di depannya terkekeh.
“Tidak. Kita kan tidak harus selalu kembali ke sana,” ujarnya.
Ia memutar-mutarkan ujung garpunya di atas potongan rib eye yang masih
mengepul. Meski tak segurih hidangan di Dstrikt atau Flat Iron, rib eye yang
disajikan restoran hotel ini terhitung lumayan.
“Aku merasa, posisiku sekarang baik-baik saja. Aku bisa melakukan apapun
secara lebih leluasa, dan karirku juga makin baik,” ucap perempuan itu.
Lelaki itu menatap perempuan yang duduk di depannya. Kecuali sedikit
kerutan kecil yang mulai muncul di bawah matanya, dia terlihat tak banyak
berubah.
“Syukurlah jika kamu merasa begitu,” ujar lelaki itu.
“Kok kamu setuju terus sih? Ayolah, it’s not like you,” balas perempuan
itu.
“No, aku sepenuhnya setuju denganmu. Jalan sendiri memang membuat kita
lebih cepat,” kata lelaki itu. Ia terlihat menarik napas sebentar.
“Tapi, kalau ingin berjalan jauh, kamu harus jalan bersama,” imbuhnya.
“Tuh, kan, ha… ha… ha…”
Keduanya sama-sama tergelak. #nunpoem
Pulogadung-Karawang Timur, 16 Agustus 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar