Selasa, 07 Maret 2023

JALAN SENDIRI













“Tak ada yang kurang dengan kesendirian bukan?! Bagiku, sendiri itu sudah cukup,” ujar perempuan itu.

Lelaki itu mengangguk. Secara tak sengaja keduanya bertemu dalam sebuah perjamuan di kedutaan malam tadi. Mereka kemudian mengatur janji untuk brunch bersama di sebuah hotel di pusat kota keesokan harinya.

“Kok kamu tidak protes? Biasanya kamu rewel sekali memprotes ucapanku?” tanya perempuan itu, sembari menaburkan bubuk merica di atas omeletnya.

Lelaki itu tersenyum.

“Kali ini aku tidak ingin beroposisi,” ujarnya.

“Oh, jadi kamu berpikir masih akan bisa berkoalisi dengan cara tidak beroposisi, begitu?” tanya perempuan itu, sembari pura-pura memacak wajah galak.

Lelaki di depannya terkekeh.

“Tidak. Kita kan tidak harus selalu kembali ke sana,” ujarnya.

Ia memutar-mutarkan ujung garpunya di atas potongan rib eye yang masih mengepul. Meski tak segurih hidangan di Dstrikt atau Flat Iron, rib eye yang disajikan restoran hotel ini terhitung lumayan.

“Aku merasa, posisiku sekarang baik-baik saja. Aku bisa melakukan apapun secara lebih leluasa, dan karirku juga makin baik,” ucap perempuan itu.

Lelaki itu menatap perempuan yang duduk di depannya. Kecuali sedikit kerutan kecil yang mulai muncul di bawah matanya, dia terlihat tak banyak berubah.

“Syukurlah jika kamu merasa begitu,” ujar lelaki itu.

“Kok kamu setuju terus sih? Ayolah, it’s not like you,” balas perempuan itu.

No, aku sepenuhnya setuju denganmu. Jalan sendiri memang membuat kita lebih cepat,” kata lelaki itu. Ia terlihat menarik napas sebentar.

“Tapi, kalau ingin berjalan jauh, kamu harus jalan bersama,” imbuhnya.

“Tuh, kan, ha… ha… ha…”

Keduanya sama-sama tergelak. #nunpoem

Pulogadung-Karawang Timur, 16 Agustus 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar