“Aku benci hujan!” ujar perempuan itu, sembari mendekatkan cangkir tehnya yang masih mengepul. Pandangannya dilempar ke luar dinding kaca di seberang sana.
Bibirnya terkatup. Gincu merah tuanya terlihat tak menyolok dibanding dua anting besar yang menggantung di telinganya. Hujan memang jatuh berderai di luar jendela. Di musim panas, hujan bisa datang dan pergi sesuka hati.
Seorang lelaki bertubuh tinggi dan seorang perempuan berambut keriting pirang nampak berlari-lari menyeret kopernya ke ruang tunggu di ujung lorong. Mereka sempat jadi perhatian ketika si perempuan jatuh terpelanting.
Lelaki bertubuh tinggi itu hanya menengok sebentar lalu menggelengkan kepala pada si perempuan. Untung seorang petugas segera menolong dan memapahnya. Si perempuan, yang rambut keritingnya jatuh menutupi mukanya yang pucat, terdengar bersungut-sungut pada lelaki bertubuh tinggi itu.
“Kenapa membenci hujan? Bukankah hujan itu puitik?!” tanya lelaki yang duduk di depan perempuan itu, sesudah lelaki bertubuh tinggi dan perempuan berambut keriting yang terburu-buru tadi menghilang di ujung lorong.
Perempuan itu menarik nafasnya.
“Kamu sendiri, kenapa menyukai hujan?!” ia malah bertanya balik pada lelaki di depannya.
Lelaki di depannya terkekeh.
“Kamu tuh, kalau ditanya selalu balik bertanya. Sejak dulu selalu begitu,” ujar lelaki di depannya.
“Aku begitu ya?!”
“Iya!”
“Aku tidak suka hariku dirusak oleh hujan. Bagiku, mereka ini pengganggu. Itu mungkin sebabnya semua orang selalu bergegas meninggalkan hujan,” ujar perempuan itu sembari meraih cangkir tehnya. Jemarinya yang lentik hampir menyentuh jari lelaki itu.
Orang Eropa memang sangat kikir. Di dalam maupun di luar bandara, mereka hanya menyediakan meja-meja sempit dan tempat duduk berdesakkan di hampir semua kedai.
“Jadi, kenapa kamu menyukai hujan?” perempuan itu kembali melontarkan pertanyaannya.
Lelaki itu membuang nafasnya. Ia sangat membenci pertemuan-pertemuan kecil seperti ini.
“Aku suka komposisinya,” jawab lelaki itu.
“Maksudmu?” perempuan itu mengernyitkan dahinya.
“Ya, aku menyukai hujan karena komposisinya. Hujan itu sebenarnya hanya sepuluh persennya saja terdiri dari air,” ujar lelaki itu.
“Oya?! Aku baru tahu. Dan sembilan puluh persennya?!” tanya perempuan itu, penasaran.
Lelaki itu menatap perempuan di depannya.
“Sembilan puluh persennya terdiri dari kenangan!” jawabnya, dengan ekspresi dingin.
Tawa perempuan itu segera meledak.
Tapi ia segera sadar dan mengecilkan volume tawanya ketika melihat pandangan orang-orang kini tertuju padanya.
Dia tatap lelaki yang duduk di depannya. Sudah tujuh tahun mereka tak bersua. Beberapa menit lalu secara tak sengaja mereka bertemu di ruang tunggu.
“Mmmm… kamu masih mengingatnya?!” tanya si perempuan.
Lelaki itu mendesah.
“Ayolah, tak mungkin aku lupa,” balas lelaki itu.
Perempuan itu terdiam. Pandangannya kembali dilempar ke luar.
“Tapi kenapa kamu tak berusaha menghubungi aku lagi sesudah itu?” tanyanya. Nadanya kini meninggi.
Lelaki itu terdiam.
“Mencintaimu bagiku sudah seperti menang lotre. Dan aku tidak ingin terlihat tamak.”
“Ah, kamu memang brengsek!"
Keduanya kini terdiam. Di luar dinding kaca, hujan turun tipis-tipis.
Moskow, 4 Juli 2019 #nunpoem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar