“Sudah lama, ya, kita tidak bicara?” tanya perempuan itu.
Sembari mengaduk-aduk cangkirnya, lelaki itu menganggukkan kepala.
“Ya, sudah beberapa tahun,” ujarnya. “Kenapa, kamu kangen, ya?”
Perempuan itu terkekeh.
“Nggak. Aku cuma bertanya-tanya saja.”
Lelaki di depannya mengernyitkan dahi.
“Soal?” ujarnya, sembari menatap perempuan di depannya.
“Dulu kamu orang yang gigih. Atau setidaknya aku selalu melihatnya
begitu. Tapi lalu tiba-tiba menghilang. Lama.”
“Lho, gigih dan menghilang kan tidak selalu berhubungan!?”
Perempuan itu menggeleng.
“Bagaimana bisa menunjukkan kegigihan, jika kamu menghilang?” tanyanya.
Lelaki itu tersenyum.
“Seperti pernah kamu bilang, kadang jika kita sangat menginginkan
sesuatu, sebaiknya, ya, mungkin dilepaskan saja.”
“Haah? Aku pernah bilang begitu, ya?!” tanya perempuan itu.
“Ya,” ujar lelaki itu. “Aku kira, apa yang kamu omongkan waktu itu ada
benarnya,” ujar lelaki itu.
“Maksudmu?! Aku benar-benar lupa soalnya.”
“Ya, aku pikir, apa yang melewatkanku pastilah tidak akan pernah menjadi
takdirku. Tapi, apa yang ditakdirkan untukku, pastilah tak akan pernah
melewatkanku. Jadi, ya, biarlah mengalir saja.”
Perempuan itu mengangguk-angguk.
“I see.”
Untuk sesaat keduanya terdiam.
“Jadi, apa yang kamu lakukan beberapa tahun ini? Menunggu takdir itu
mampir, begitu?!” tanya perempuan itu, sembari tersenyum.
“Ya, aku belajar tawakal saja,” ujar lelaki itu.
Perempuan di depannya terkekeh.
“Kok jadi relijius begitu?!”
Lelaki di depannya mengangguk.
“Pada akhirnya mungkin harus begitu. Dan aku memang selalu mempercayai satu hal.”
“Apa itu?” tanya perempuan itu, sembari meraih bantal kursi ke
pangkuannya.
“Aku selalu percaya, doa yang kulangitkan, tidak akan pernah kembali
dengan tangan kosong.”
“Ah, kau…” ujar perempuan itu.
Keduanya kemudian kembali sama-sama terdiam.
Di luar ruangan, beberapa daun ketapang tampak berguguran.
Ketika perempuan itu menatap lekat dirinya, lelaki itu mencoba membuang
pandangannya ke atas langit-langit.
“Itu bukan pertama kalinya sih kamu menghilang. Dulu, waktu kuliah, kamu
juga pernah menghilang.”
Lelaki itu menurunkan pandangannya. Kali ini giliran dia yang menatap
dalam-dalam perempuan di depannya. Yang ditatap kemudian terlihat agak kikuk.
“Itu karena aku dulu salah menilaimu,” ucapnya.
“Salah menilai bagaimana?”
“Aku dulu mengira kamu itu seperti rukun Islam yang kelima,” ujar lelaki
itu.
“Maksudmu?!” tanya perempuan itu, sembari menyondongkan badannya ke
depan.
“Ya, aku mengira kamu terbatas untuk yang mampu saja.”
Kali ini keduanya sama-sama terbahak. #nunpoem
Karawang, 23 Februari 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar