Julia,
Hujan
telah lama lewat, tapi dingin yang dibawanya masih terus membekap. Hawa di
tengah tahun ini memang mengigit. Dan hujan di ujung malam tadi telah menambah
dingin pagi ini. Pagi ini juga terasa “dingin”, karena di gedung ini tinggal
kamarku yang masih bersuara. Bunyi kipas menguar memecah gumpalan udara kamar
yang kusewa. Aku menghidupkan radio untuk mengusir sepi, sekaligus untuk
menemaniku menyusun huruf demi huruf surat ini.
Barangkali
kamu sudah tenggelam di lautan mimpi, Julia, lelap bersama segenap kelelahan
sisa hari tadi. Hidup memang melelahkan, selain juga menyenangkan. Karena itu
nikmati saja. Toh setiap kelelahan adalah bukti bahwa kita telah menjalani
hidup ini dengan sungguh-sungguh.
Ini
adalah surat pertamaku untukmu. Ah, ternyata perlu banyak keberanian sekadar
untuk mengirimimu surat.
Setiap
kali menulis surat aku selalu membutuhkan waktu yang panjang, Julia. Orang lain
mungkin akan mengira aku suka mengukir dan membedaki kalimat. Tapi tentu saja
tidak begitu.
Menurutku,
menulis surat kadang sebenarnya lebih banyak mirip sebuah monolog, percakapan
sunyi dengan diri sendiri. Jembatan maksud dengan orang yang dikirimi surat
tersambung jika si penulis surat tuntas bercakap dengan dirinya sendiri. Si
penerima tinggal menangkap, menafsir, dan mengurai percakapan monologis si
pengirim.
Rumit
memang. Dan pada kenyataannya, menurutku, memang hanya sedikit orang yang bisa
menulis surat, dan juga sedikit orang yang bisa menikmati membacanya.
Proses
percakapan dengan diri itu, ketika seseorang menulis surat, selalu membutuhkan
kebisuan. Itulah sebabnya kenapa aku memerlukan waktu yang lapang untuk menatah
dan menyalin huruf demi huruf percakapan sunyi itu ke dalam halaman-halaman
ini. Di keheningan pagi, percakapan itu menjadi kian bening, tak direcoki
suara-suara gaduh dari luar.
Dengan
begitu, menurutku surat sebenarnya lebih rumit dari sebuah karya sastra. Jika
para pembaca sastra memiliki kemerdekaan untuk menafsir sebuah karya, yang
menyebabkan pengarang tak lagi memiliki otoritas tafsir atas karyanya, maka
pembaca surat selain memiliki kebebasan untuk menafsir juga harus bisa
menangkap maksud obyektif si penulis surat. Sebab, surat biasanya ditujukan
untuk publik yang sangat kecil, bahkan personal, sehingga ruang tafsir
obyektifnya juga terbatas. Tafsir mengenai maksud penulis barangkali tak lagi
penting dalam kajian sastra, tapi masih menjadi pokok utama dalam ruang baca
secarik surat.
Ah,
aku sepertinya mulai melantur kemana-mana. Merumitkan hal yang tak perlu. Aku
berharap kamu bisa bersabar dengan kerumitanku, Julia. Maksudku, aku sebenarnya
tidak rumit. Hanya saja, sifat pemaluku sering membuat banyak hal yang mestinya
sederhana jadi jatuh rumit. Kamu tentu masih ingat bagaimana aku hampir saja
membakar gedung pertunjukkan tempo hari, karena kecerobohanku. Dan kecerobohan
itu muncul karena ada kamu di situ. Kehadiranmu membuatku grogi, sehingga aku
jadi banyak melakukan hal konyol karenanya. Bukan, bukan berarti aku
menyalahkanmu untuk soal itu. Tidak begitu maksudnya. Maafkan aku.
Julia,
tempo hari aku pernah menulis sebuah puisi. Aku tidak mengirimkannya kepadamu,
tapi aku tahu kamu menyimaknya. Barangkali, ada baiknya surat ini dimulai
dengan puisi itu.
Ah,
ya, ya, ya. Tentu saja aku sudah menulis beberapa halaman surat ini, tapi aku
baru saja menyebut soal “memulai”. Itulah. Bahkan, dalam menulis suratpun aku
tak bisa bebas dari grogi, Julia. Seorang kawanku bahkan mencarikan sebuah
istilah untuk menjelaskan hal itu: “Efek Julia”.
Dan
beginilah puisiku waktu itu:
ketika aku belajar cengeng
aku menjadi angkuh
ketika aku belajar angkuh
aku menjadi cengeng
dalam setiap cengengku ada keangkuhan
dalam setiap angkuhku ada kecengengan
apakah kini aku harus belajar cengeng
karena tiba-tiba aku menyukaimu
atau aku harus belajar angkuh
karena tiba-tiba aku takut kehilangan
…
ada kalanya, mungkin aku harus menjadi tolol
agar tak terlalu banyak bertanya
dan bisa tenang menatap senyum manismu
setiap hari
Julia,
Sepertinya
baru kemarin para fisikawan masih mempercayai determinisme Laplace: jika kita
tahu posisi dan kecepatan semua partikel pada satu waktu tertentu, juga hukum
dan gaya-gaya yang bekerja pada partikel-partikel itu, maka kita akan
tahu posisi dan kecepatan partikel-partikel itu di sembarang waktu di masa
depan.
Tapi
kini mekanika klasik itu sudah digantikan oleh mekanika kuantum. Bahkan
Wolfram, juga Fredkin, sudah mendekonstruksi ulang fundamen fisika menjadi
fenomena komputasi digital, tak lagi berbasiskan partikel. Dengan sendirinya,
determinisme Laplace mulai disangsikan.
Kamu
pasti bertanya, apa hubungan surat ini dan puisi tadi dengan pergunjingan soal
fisika barusan? Ah, Julia, tolong jangan buang surat ini ke tempat sampah,
hingga kamu menyelesaikannya ya. Kamu hanya perlu sedikit bersabar jika
penyakit rumitku mulai kambuh.
Isi
puisi tadi, Julia, sebenarnya mirip konsep dualisme gelombang-partikel dalam
fisika kuantum. Ya, aku tahu kamu tidak mendapatkan kelas Fisika di Jurusan
Seni. Makanya, sebisa mungkin, aku akan memberikan keterangan mengenai metafor
yang kugunakan ini. Dan ya, aku memang perlu menggunakan metafor, Julia, karena
aku demikian pemalu, sehingga ungkapan yang lebih verbal sering kuanggap
sebagai tidak cukup sopan untuk disampaikan. Itulah masalahku selama ini.
Mungkin, itu bawaan dari kultur moyangku.
Jadi,
Julia, jika dalam fisika klasik gelombang dan partikel dianggap sebagai dua
fenomena yang berbeda, atau dua materi yang berbeda, maka dalam fisika kuantum
kita diberi tahu bahwa konsep-konsep tadi, yaitu gelombang dan partikel, dalam
dunia mikroskopik sesungguhnya tidaklah terpisah satu sama lain. Sebab
benda-benda yang sebelumnya kita bayangkan sebagai partikel, di dalam jagad
mikroskopik kadangkala bergerak seperti halnya gelombang. Dan masalahnya, baik
gelombang maupun partikel sebagai sebuah konsep mandiri, sama-sama tak bisa
menjadi representasi dari materi mikroskopik tadi.
Sampai
di sini, determinisme Laplace kemudian digantikan oleh azas ketidakpastian
Heisenberg. Kita hanya bisa mengetahui kecepatan sebuah partikel, tapi tidak
posisinya. Atau, kita bisa mengetahui posisi sebuah partikel, tapi tidak
kecepatannya. Inilah dunia yang tak teramalkan, yang sekaligus menampar ambisi
para fisikawan untuk menemukan basis fundamental pergerakan benda-benda,
menemukan rumus bagaimana Tuhan mengatur alam semesta secara keseluruhan.
Kembali
ke puisi tadi, Julia, seringkali aku menjadi orang terhukum atas sikap cengeng
dan angkuh sebagaimana yang diceritakan puisi itu. Tapi aku selalu mengajukan
pembelaan kepada diriku sendiri, bahwa cengeng dan angkuh tadi tidaklah seperti
kelihatannya. Cengeng dan angkuh tadi mirip dengan konsep dualisme
gelombang-partikel dalam fisika kuantum, dan karenanya tak bisa dipahami dengan
memisahkannya satu sama lain, ataupun dengan membaurkan keduanya sekaligus.
Jadi, sikap-sikap tadi tak bisa dinilai sepotong-sepotong sebagai cengeng saja,
atau angkuh saja. Dan, pembauran keduanya juga tak akan memberikan penjelasan
apapun. Seperti puisinya Amir Hamzah, keduanya, dan turunan-turunan dari
keduanya, senantiasa “bertukar tangkap dengan lepas” secara tak berkesudahan.
Lantas,
ke arah mana dualisme cengeng-angkuh tadi akan berlabuh? Mengikuti fisika
kuantum, kita hanya bisa mengukur salah satu dari dua hal berikut: koordinat
(posisi), atau kecepatan (arah). Dalam kehidupan nyata, hal demikian tentu saja
tidak menyenangkan. Kita selalu ingin memastikan masa depan begitu kita tahu
posisi kita. Tapi, fisika kuantum dengan gamblang telah memustahilkannya. Kita
hanya bisa memastikan salah satunya saja. Sungguh, itu memang tidak
menyenangkan.
Azas
ketidakpastian Heisenberg sepertinya telah membuat masa depan jadi tidak pasti,
karena dalam kehidupan nyata yang bisa kita ketahui memang hanyalah posisi kita
hari ini saja. Esok pagi selalu menjadi entah.
Tapi,
bukankah hidup tak bisa berdiam diri begitu saja, sekadar membunuh waktu dan
menanti ketidakpastian?! Betapa tidak menyenangkannya hidup yang sekadar
mengamankan kepastian hari ini bukan?! Itu sebabnya kita harus memilih, secara
terus menerus. Pada akhirnya kita hanya bisa mengurangi ketidakpastian dengan
melakukan tindakan praktis.
Ah,
biarkan aku melantur kemana-mana dulu, Julia. Biarkan… Nanti kamu akan paham
maksudnya.
Tindakan
praktis yang disebut tadi itu tentunya tak boleh ajeg. Ia harus terus menerus
dikoreksi, dirawat, diralat, dipertemukan dengan antitesisnya, agar keluaran
dan imbasannya benar-benar mendekati kondisi ideal.
Sampai
di sini aku jadi teringat bualan Homer Graham kepada Maggie Carpenter, Julia.
Aku selalu menyukai bualan romantis itu.
Aku jamin, suatu hari salah satu dari
kita pasti akan pergi
Aku jamin, suatu hari salah satu dari kita
pasti akan menyakiti
Aku jamin, suatu hari salah satu dari kita
tak lagi menyenangkan
Tapi aku jamin, aku akan sangat menyesal kalau saat ini
tak menyampaikan bahwa aku sungguh-sungguh mencintaimu
Barangkali,
itulah tindakan praktis untuk mengurangi ketidakpastian, menyederhanakan
probabilitas, dan bersiasat terhadap kemaha-entah-an dalam hidup.
Itu
adalah ekspresi rasa paling natural. Keinginan dan kepasrahan dihadirkan secara
bersamaan, jujur dan bersahaja. Tak ada tendensi untuk bisa meramalkan apa yang
akan terjadi di masa depan, meski mimpi-mimpi tentang hari esok tak pernah
diberangus. Mimpi-mimpi itu malah selalu mendapat tempat terhormat. Posisi
manusia sebagai subyek yang berkehendak tak dibelenggu oleh azas
ketidakpastian. Sebaliknya, tak ada tendensi bahwa semua kehendak tadi akan
mewujud. Menurutku, itu imajinasi yang masuk akal sekaligus indah.
Barangkali,
menyambung percakapan kita dalam seminar tentang mimpi tempo hari, kenapa
kenyataan dianggap oleh banyak orang kalah eksotis dibanding mimpi—yang telah
membuat orang-orang tak mau melepas mimpi-mimpinya untuk ditukar dengan
kenyataan, adalah karena begitu mimpinya menjadi kenyataan, maka dia menyudahi
sama sekali proses bermimpi. Saat itulah kehidupan, dan bukannya kenyataan,
menjadi tidak menarik lagi.
Artinya,
setiap orang pada dasarnya harus menyiapkan diri untuk bisa menggapai mimpinya,
dan sembari mimpi-mimpi itu merangkak mendekati atau menjauhi kenyataan, dia
harus bisa me-reka mimpi lain, untuk tetap tak kehilangan keindahan hidup
pasca-tercapainya kenyataan, atau—jika yang terjadi sebaliknya—agar tak terluka
karena kegagalan merengkuh apa yang diinginkan.
Jadi,
Julia, ringkasnya begini. Menurutmu, apakah aku bisa mengajakmu makan malam
akhir pekan ini? Hanya kita berdua saja, tanpa rekan-rekan yang lain. Di kedai
dekat alun-alun itu. Aku ingin bicara mengenai posisiku. Selebihnya, entahlah,
aku juga tak tahu. Aku menuliskan dan melakukan semua ini dengan risiko segera
kehilanganmu, seperti bunyi puisiku.
Ah,
entahlah… Stop berpikir! Yang jelas, kita ketemu saja nanti.
Sosrokartono