Guguran bunga flamboyan berserak di halaman. Angin, yang setengah jam lalu seperti bergemuruh, masih bertiup kencang, mengantarkan aroma tanah basah melewati kisi-kisi jendela yang separuh terbuka itu. Hujan memang baru saja lewat.
“Kata orang, jika kita sangat menginginkan sesuatu, lepaskan saja.”
Perempuan itu mengucapkannya tanpa menatap tamu di depannya. Pandangannya menerawang jauh ke luar sana.
Mendengar itu, lelaki di depannya hanya melirik kecil. Keduanya masih terduduk di kursinya masing-masing, seperti tiga puluh menit lalu.
“Sepertinya terdengar ganjil. Kenapa begitu?” tanya lelaki itu.
Perempuan itu memalingkan mukanya. Kali ini ia menatap lelaki di hadapannya.
“Supaya kamu tahu, kalau ia kembali, berarti ia memang milikmu. Sesudahnya, pasti tak akan lepas lagi. Tapi jika tak kembali, berarti memang bukan milikmu,” ujarnya.
Lelaki itu mengernyitkan dahinya.
“Kalau begitu, aku benar-benar milikmu dong,” ujarnya.
Perempuan di depannya tertawa kecil.
“Kok bisa begitu?” tanyanya.
“Soalnya, aku selalu kembali,” ujar lelaki itu, sembari terkekeh.
Perempuan itu ikut tertawa.
“Emang aku pernah mengatakan sangat menginginkanmu?” ujarnya kemudian.
Mendengar hal itu, lelaki di depannya mendengus.
“Ayolah. Hujan tadi sudah membuat pertemuan ini jadi syahdu, kamu jangan merusaknya,” ujarnya.
Perempuan itu terkekeh.
Ia tatap lelaki di depannya dalam-dalam.
Lelaki ini tak pernah mampir di mimpinya. Tetapi, dari caranya menatap sejak mereka pertama kali ketemu, dari surat-suratnya yang panjang dan tak berkesudahan itu, dari kegigihannya yang pernah membuatnya sebal itu, ia bersyukur kalau lelaki ini bukanlah mimpi.
“Oh, Tuhan, hampir lupa. Maaf, aku belum menawarimu minum,” ujar perempuan itu, sembari menutup mukanya. Ia kemudian berdiri.
“Kamu mau apa, teh atau kopi?” tanyanya.
Lelaki itu menggaruk-garuk tengkuknya.
“Kalau boleh, aku minta susu saja,” ujarnya, sembari menguap.
Perempuan itu, yang hampir beranjak ke belakang, segera menghentikan langkahnya. Dahinya mengernyit.
“Kamu serius?” tanyanya.
Giliran lelaki itu yang mengernyitkan dahinya.
“Memang kenapa? Kamu nggak punya?!”
Perempuan itu terlihat salah tingkah.
“Tapi…” kata-katanya kali ini tercekat.
Giliran lelaki itu menatap perempuannya. Dahinya ikut mengernyit. Heran.
Untuk beberapa saat keduanya saling mendelikkan mata, sebelum kemudian sama-sama tertawa.
Jalanan mulai gelap. Beberapa rumah di kiri-kanan tampak mulai menyalakan lampu. #nunpoem
Jakarta, 18 Januari 2021