Daun-daun kering berguguran tertiup angin. Satu dua jatuh di atas meja batu tempat dua cangkir teh yang masih mengepul itu. Meski hujan kadang masih turun, sejatinya ini memang sudah musim kemarau.“Kenapa tak mengabariku?” ujar perempuan itu. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar tertiup angin, petang itu.
“Soal apa?” tanya lelaki yang duduk di depannya. “Kebetulan ada undangan ke kampus. Jadi, begitulah aku ada di sini,” ujar lelaki itu.
Pandangannya menyapu segala penjuru. Kini ada banyak gedung tinggi di sekitarnya. Tapi kursi dan meja batu itu masih di sana, seperti belasan tahun lalu. Dari jauh, seorang perempuan paruh baya datang tergopoh mengantarkan sepiring gorengan yang masih mengepul.
“Mohon maaf menunggu agak lama. Baru mateng gorengannya,” ujarnya, yang dibalas sebuah anggukan kecil oleh lelaki itu.
Meski dihimpit oleh gedung-gedung tinggi, sejumlah pohon yang menjulang dengan dedaunan yang rimbun membuat tempat itu asri dan teduh. Sinar matahari hanya sanggup mengintip melalui celah-celah daun.
“Lama juga ya kita tak berkomunikasi,” ujar perempuan itu.
“Iya. Kadang aku juga tak percaya. Tapi, bukankah hidup harus terus berjalan?” balas lelaki itu, sembari tersenyum kecil.
Perempuan itu mengatakannya sembari mengeluarkan selembar tisu dari tasnya, yang digunakan untuk mengambil sepotong gorengan yang masih mengepul. Sesudah meniupnya berkali-kali, tahu tepung berisi tauge itu segera membasahi bibirnya yang merah merekah.
“Sesudah semua yang kau lakukan, aku merasa agak aneh kau tak lagi menghubungiku,” ujar perempuan itu.
“Ah, bukankah semua yang pernah kita lewati memang aneh?!” lelaki itu balik bertanya.
“Ha ha ha ha,” perempuan itu tertawa, memamerkan gigi-giginya yang putih.
Lelaki itupun ikut tertawa.
“Sejujurnya, kau menganggapku apa sih?” tanya perempuan itu.
Lelaki itu menatap perempuan di depannya.
“Kenapa kau menanyakannya?”
“Anggap saja aku sangat memerlukan jawabannya.”
“Kau saat ini atau kemarin?” tanya lelaki itu.
“Secara keseluruhan,” jawab perempuan itu, mantap.
Lelaki itu terdiam sesaat.
“Kamu itu seperti hari raya,” ujarnya kemudian.
“Dalam setahun, kita hanya sesekali bertemu. Jangan salah, itu selalu merupakan pertemuan yang menggembirakan. Tapi, sayangnya, hidup yang sebenarnya adalah di luar hari itu,” ujar lelaki itu, sembari menatap perempuan di depannya.
Perempuan itu menundukkan mukanya.
“Entah kenapa aku jadi sedih mendengar jawaban itu,” ujar perempuan itu.
“Maksudmu?” tanya lelaki itu.