Senin, 06 Maret 2023

LOTRE

 
























“Aku benci hujan!” ujar perempuan itu, sembari mendekatkan cangkir tehnya yang masih mengepul. Pandangannya dilempar ke luar dinding kaca di seberang sana.

Bibirnya terkatup. Gincu merah tuanya terlihat tak menyolok dibanding dua anting besar yang menggantung di telinganya. Hujan memang jatuh berderai di luar jendela. Di musim panas, hujan bisa datang dan pergi sesuka hati.

Seorang lelaki bertubuh tinggi dan seorang perempuan berambut keriting pirang nampak berlari-lari menyeret kopernya ke ruang tunggu di ujung lorong. Mereka sempat jadi perhatian ketika si perempuan jatuh terpelanting.

Lelaki bertubuh tinggi itu hanya menengok sebentar lalu menggelengkan kepala pada si perempuan. Untung seorang petugas segera menolong dan memapahnya. Si perempuan, yang rambut keritingnya jatuh menutupi mukanya yang pucat, terdengar bersungut-sungut pada lelaki bertubuh tinggi itu.

“Kenapa membenci hujan? Bukankah hujan itu puitik?!” tanya lelaki yang duduk di depan perempuan itu, sesudah lelaki bertubuh tinggi dan perempuan berambut keriting yang terburu-buru tadi menghilang di ujung lorong.

Perempuan itu menarik nafasnya.

“Kamu sendiri, kenapa menyukai hujan?!” ia malah bertanya balik pada lelaki di depannya.

Lelaki di depannya terkekeh.

“Kamu tuh, kalau ditanya selalu balik bertanya. Sejak dulu selalu begitu,” ujar lelaki di depannya.

“Aku begitu ya?!”

“Iya!”

“Aku tidak suka hariku dirusak oleh hujan. Bagiku, mereka ini pengganggu. Itu mungkin sebabnya semua orang selalu bergegas meninggalkan hujan,” ujar perempuan itu sembari meraih cangkir tehnya. Jemarinya yang lentik hampir menyentuh jari lelaki itu.

Orang Eropa memang sangat kikir. Di dalam maupun di luar bandara, mereka hanya menyediakan meja-meja sempit dan tempat duduk berdesakkan di hampir semua kedai.

“Jadi, kenapa kamu menyukai hujan?” perempuan itu kembali melontarkan pertanyaannya.

Lelaki itu membuang nafasnya. Ia sangat membenci pertemuan-pertemuan kecil seperti ini.

“Aku suka komposisinya,” jawab lelaki itu.

“Maksudmu?” perempuan itu mengernyitkan dahinya.

“Ya, aku menyukai hujan karena komposisinya. Hujan itu sebenarnya hanya sepuluh persennya saja terdiri dari air,” ujar lelaki itu.

“Oya?! Aku baru tahu. Dan sembilan puluh persennya?!” tanya perempuan itu, penasaran.

Lelaki itu menatap perempuan di depannya.

“Sembilan puluh persennya terdiri dari kenangan!” jawabnya, dengan ekspresi dingin.

Tawa perempuan itu segera meledak.

Tapi ia segera sadar dan mengecilkan volume tawanya ketika melihat pandangan orang-orang kini tertuju padanya.

Dia tatap lelaki yang duduk di depannya. Sudah tujuh tahun mereka tak bersua. Beberapa menit lalu secara tak sengaja mereka bertemu di ruang tunggu.

“Mmmm… kamu masih mengingatnya?!” tanya si perempuan.

Lelaki itu mendesah.

“Ayolah, tak mungkin aku lupa,” balas lelaki itu.

Perempuan itu terdiam. Pandangannya kembali dilempar ke luar.

“Tapi kenapa kamu tak berusaha menghubungi aku lagi sesudah itu?” tanyanya. Nadanya kini meninggi.

Lelaki itu terdiam.

“Mencintaimu bagiku sudah seperti menang lotre. Dan aku tidak ingin terlihat tamak.”

“Ah, kamu memang brengsek!"

Keduanya kini terdiam. Di luar dinding kaca, hujan turun tipis-tipis.

Moskow, 4 Juli 2019 #nunpoem

PIANO DAN VESPA TUA












"Aku ingin ada sebuah piano di ruang tengah rumahku," katamu, malam itu.


"Kenapa piano?" tanyaku.

"Karena piano itu mirip kehidupan. Bukankah apa yang keluar dalam hidup, semua tergantung pada apa yang kita mainkan?" ujarmu.

"Hmm..."

"Lalu apa yang kamu inginkan ada di rumah?" tanyamu.

"Aku ingin sebuah Vespa tua berwarna biru dongker di garasiku."

"Kenapa Vespa? Dan tua lagi, he he he..." tanyamu, dengan nada menggemaskan.

"Menjadi tua tak pernah membuat sebuah Vespa kehilangan nilainya," jawabku.

"Ah, ya, ya. Persis seperti dirimu, Tuan Serius," godamu. Kali ini dengan nada mencemaskan.

Ya, men-ce-mas-kan. Aku selalu cemas jika mendengarkan nada-nada semacam itu. Aku cemas bakal kehilangan kontrol...

Di sini, hari ini, setiap kali melihat piano, aku selalu teringat percakapan itu.

Ke mana aku harus mengantarkan piano yang kau impikan, sejak aku kehilangan alamatmu, Nun?! #nunpoem

Palmerah, 8 Mei 2019

SUJUD

























"Menurutmu, keajaiban itu apa?" tanya perempuan itu.

"Sujud," ujar lelaki di depannya.

"Kok sujud?!" tanya perempuan itu. Air mukanya agak kecewa.

"Saat sujud kamu berbisik pada bumi, tapi langitlah sebenarnya yang mendengarkan bisikanmu."

"Well... Sound nice."

"Ajaib bukan?"

"Heeh."

Perempuan itu mengangguk.

"Oya, apa yang biasanya kau bisikan ke bumi saat sujud?" tanya perempuan itu, menyelidik.

"Aku membisikan namamu," ujar lelaki itu, sembari menandaskan cangkir kopinya.

"Ah, kau..."

"Tapi sayangnya langit tak pernah mendengarkannya," tambah lelaki itu.

"Hua ha ha ha..." perempuan di depannya terbahak, memperlihatkan deretan giginya yang berkilauan ditabrak cahaya lilin. #nunpoem

Jakarta, 29 April 2019

#NUNPOEM 27


Rubuh bersimpuh di Subuh-Mu. Aku hanyalah pengayuh yang banyak berkeluh. #nunpoem

Karawang, 22 Mei 2018

#NUNPOEM 26

 


Aku sudah meninggalkanmu berkali-kali, tapi selalu saja rindu untuk kembali... #nunpoem

Yogyakarta, 2 Mei 2018

KRISIS

 

"Sejujurnya, apa yang kamu pikirkan mengenai hubungan kita, ketika kamu sendiri sebenarnya belum pulih?"
"Kamu ingin tahu?!"
"Tentu saja aku perlu tahu."
"Sejujurnya, aku sedang krisis."
"Aku tahu. Itulah, makanya fokus saja pada krisismu itu. Tak perlu berpikir soal jangka panjang dulu."
"Aku pikir juga begitu. Hei, kamu tahu?!"
"Ada apa, Tuan yang sedang krisis?"
"Ayolah, jangan menggodaku begitu..."
"Aku mendengarkanmu."
"Kamu tahu, ibarat krisis mata uang, aku sedang melemah di hadapanmu."
"Terus?"
"Sementara, hubungan kita saat ini seperti sistem devisa bebas. Kamu bebas datang atau pergi sesukamu."
"Lalu?!"
"Itu membuatku gampang rontok setiap saat."
"And?!"
"Padahal, setiap hari, rinduku padamu terus mengalami inflasi."
"So?!"
"Maukah kau memberiku sedikit pinjaman lunak, untuk meringankan krisisku?"
"Apa itu??? ... Hah?! Ah, kau..."
Malam terus beranjak naik. #nunpoem

HARI RAYA


Daun-daun kering berguguran tertiup angin. Satu dua jatuh di atas meja batu tempat dua cangkir teh yang masih mengepul itu. Meski hujan kadang masih turun, sejatinya ini memang sudah musim kemarau.

“Kenapa tak mengabariku?” ujar perempuan itu. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar tertiup angin, petang itu.
“Soal apa?” tanya lelaki yang duduk di depannya.
“Ya, soal kunjunganmu.”
“Kebetulan ada undangan ke kampus. Jadi, begitulah aku ada di sini,” ujar lelaki itu.
Pandangannya menyapu segala penjuru. Kini ada banyak gedung tinggi di sekitarnya. Tapi kursi dan meja batu itu masih di sana, seperti belasan tahun lalu. Dari jauh, seorang perempuan paruh baya datang tergopoh mengantarkan sepiring gorengan yang masih mengepul.
“Mohon maaf menunggu agak lama. Baru mateng gorengannya,” ujarnya, yang dibalas sebuah anggukan kecil oleh lelaki itu.
Meski dihimpit oleh gedung-gedung tinggi, sejumlah pohon yang menjulang dengan dedaunan yang rimbun membuat tempat itu asri dan teduh. Sinar matahari hanya sanggup mengintip melalui celah-celah daun.
“Lama juga ya kita tak berkomunikasi,” ujar perempuan itu.
“Iya. Kadang aku juga tak percaya. Tapi, bukankah hidup harus terus berjalan?” balas lelaki itu, sembari tersenyum kecil.
“Ya, begitulah.”
Perempuan itu mengatakannya sembari mengeluarkan selembar tisu dari tasnya, yang digunakan untuk mengambil sepotong gorengan yang masih mengepul. Sesudah meniupnya berkali-kali, tahu tepung berisi tauge itu segera membasahi bibirnya yang merah merekah.
“Sesudah semua yang kau lakukan, aku merasa agak aneh kau tak lagi menghubungiku,” ujar perempuan itu.
“Aneh kenapa?”
“Ya, aneh saja.”
“Ah, bukankah semua yang pernah kita lewati memang aneh?!” lelaki itu balik bertanya.
“Semuanya?!”
“Ya. Semuanya!”
“Ha ha ha ha,” perempuan itu tertawa, memamerkan gigi-giginya yang putih.
Lelaki itupun ikut tertawa.
“Sejujurnya, kau menganggapku apa sih?” tanya perempuan itu.
Lelaki itu menatap perempuan di depannya.
“Kenapa kau menanyakannya?”
“Anggap saja aku sangat memerlukan jawabannya.”
“Kau saat ini atau kemarin?” tanya lelaki itu.
“Secara keseluruhan,” jawab perempuan itu, mantap.
Lelaki itu terdiam sesaat.
“Kamu itu seperti hari raya,” ujarnya kemudian.
“Maksudnya?”
“Dalam setahun, kita hanya sesekali bertemu. Jangan salah, itu selalu merupakan pertemuan yang menggembirakan. Tapi, sayangnya, hidup yang sebenarnya adalah di luar hari itu,” ujar lelaki itu, sembari menatap perempuan di depannya.
Perempuan itu menundukkan mukanya.
“Entah kenapa aku jadi sedih mendengar jawaban itu,” ujar perempuan itu.
“Maksudmu?” tanya lelaki itu.
“Entahlah…” #nunpoem