Senin, 06 Maret 2023

TELANJANG


 
"Apa yang kamu pikirkan saat melihat perempuan telanjang," tanya perempuan itu.

Keduanya secara tak sengaja ketemu di depan lukisan "Five Senses", siang itu. Lukisan lima perempuan telanjang pada lima kanvas terpisah yang diselesaikan Hans Makart pada 1879. Lima lukisan itu tergantung di dinding museum Istana Belvedere yang megah.

"Telanjang cumalah seragam dalam bentuk lain saja," ujar lelaki itu.

Perempuan itu mengernyitkan dahinya.

"Berarti, bukan sesuatu yang istimewa?!" tanya perempuan itu, penasaran.

Lelaki itu melirik sebentar. Tapi pandangannya segera kembali ke dinding. Lukisan-lukisan itu sangat sensual dan dramatis, seperti karya-karya Makart lainnya, batinnya.

"Jadi, ada berapa perempuan yang pernah telanjang di depanmu," tanya perempuan itu. Kali ini ia benar-benar menyelidiki muka lelaki di depannya.

Lelaki itu menarik nafas sebentar. Ditatapnya mata perempuan itu.

"Kamu tahu, mencintai banyak orang itu mudah. Yang sulit adalah melupakan satu orang," ujarnya.

Perempuan itu mengatupkan bibirnya. Keduanya kemudian saling terdiam. #nunpoem

Jakarta-Cikampek, 1 Agustus 2021

HANTU

 



























“Aku ingin sembunyi,” ujar lelaki itu.

“Dariku?” tanya perempuan itu.

“Bukan!” jawab lelaki itu.

Ia menatap perempuan yang duduk di depannya. Setengah jam lalu tanpa direncanakan mereka ketemu di gerbong restorasi.

Sudah lebih dari lima tahun mereka tak bersitatap. Tak ada pesan pendek, atau percakapan-percakapan panjang lewat telepon seperti dulu. Keduanya bahkan tak saling berhubungan di media sosial.

“Lantas?” tanya perempuan itu lagi.

Lelaki itu mengambil nafas panjang.

“Aku ingin sembunyi dari rindu yang terus menguntitku!” jawabnya.

Keduanya saling beradu pandang.

“Berhasil?” tanya perempuan itu.

“Entahlah. Menurutmu?” ujar lelaki itu, sembari mengaduk cangkir mie instan di depannya.

“Sebenarnya apa sih yang kamu harapkan?!” tanya perempuan itu. “Maksudku, sejak dulu kamu tidak pernah mengatakan sesuatu yang jelas padaku.”

Lelaki itu menatap tajam perempuan di depannya.

“Dari dulu harapanku kan cuma satu. Dan kamu tahu itu,” ujarnya.

“Aku tidak tahu! Sejak dulu aku hanya bisa menebak-nebak isi pikiranmu,” jawab perempuan itu, sembari meraih cangkir tehnya.

Lelaki itu membuang nafas panjang.

“Harapanku sejak dulu cuma satu, Nun.”

“Dan apakah itu, Tuan Serius?” sergah perempuan itu.

“Aku berharap kamu tidak pernah ada!” jawab lelaki itu, dingin.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Ia sangat membenci percakapan-percakapan semacam itu.

“Kenapa kamu berharap aku tak pernah ada?”

“Agar kita tak pernah ketemu, sehingga kamu tak pernah menghantuiku,” ujar lelaki itu, sembari menatap perempuan di depannya.

Sinar mentari senja menerabas kaca jendela. Di luar sana terlihat beberapa truk sedang mengangkut pasir Kali Progo. #nunpoem

Karawang, 12 Maret 2021

RAYUAN KOPI























Lelaki itu terus memandangi perempuan berambut panjang yang berdiri di rak seberang. Hari itu toko buku kebetulan agak lengang. Dan di tengah deretan rak-rak buku, perempuan dengan tas selempang berwarna abu-abu itu terlihat sangat menonjol. Pandangannya tak pernah beranjak dari dari buku bersampul coklat yang ada di tangannya. Sesekali dia terlihat menggigit-gigit jarinya. Sepertinya, ia sedang tenggelam dalam buku itu.


Sesudah beberapa lama, lelaki itu berjalan mendekat. Agar tak mengejutkan perempuan itu, ia berdehem kecil.

"Banyak temanmu di kampus menyebutmu gadis yang pintar?" ujarnya, membuka obrolan.

Perempuan itu mendongak. Ekspresinya sedikit kaget.

"Sepertinya memang begitu," balasnya, dingin.

Ia segera kembali ke buku di tangannya.

"Kalau begitu, kamu pasti mau kutraktir secangkir kopi di kedai bawah?" tanya lelaki itu.

Perempuan itu kembali mendongak. Kali ini dia tersenyum.

"Terima kasih. Aku sedang asyik dengan buku ini," ujarnya, sopan.

Lelaki itu segera mengernyitkan dahinya.

"Oh... Berarti teman-temanmu pasti keliru. Ternyata kamu tak sepintar itu," ujarnya, sembari ngeloyor pergi.

Mendapat respon demikian, perempuan itu tentu saja melongo. Untuk beberapa saat dia masih terlihat kaget memandangi lelaki yang baru saja menyapanya.

"Heiii... Tunggu!" ujarnya, kemudian.

Ia segera mengembalikan buku yang dipegangngnya ke rak dan bergegas mengejar lelaki itu. #nunpoem

Karawang-Tendean, 31 Januari 2021

PERCAKAPAN HUJAN



















Guguran bunga flamboyan berserak di halaman. Angin, yang setengah jam lalu seperti bergemuruh, masih bertiup kencang, mengantarkan aroma tanah basah melewati kisi-kisi jendela yang separuh terbuka itu. Hujan memang baru saja lewat.


“Kata orang, jika kita sangat menginginkan sesuatu, lepaskan saja.”


Perempuan itu mengucapkannya tanpa menatap tamu di depannya. Pandangannya menerawang jauh ke luar sana.

Mendengar itu, lelaki di depannya hanya melirik kecil. Keduanya masih terduduk di kursinya masing-masing, seperti tiga puluh menit lalu.

“Sepertinya terdengar ganjil. Kenapa begitu?” tanya lelaki itu.

Perempuan itu memalingkan mukanya. Kali ini ia menatap lelaki di hadapannya.

“Supaya kamu tahu, kalau ia kembali, berarti ia memang milikmu. Sesudahnya, pasti tak akan lepas lagi. Tapi jika tak kembali, berarti memang bukan milikmu,” ujarnya.

Lelaki itu mengernyitkan dahinya.

“Kalau begitu, aku benar-benar milikmu dong,” ujarnya.

Perempuan di depannya tertawa kecil.

“Kok bisa begitu?” tanyanya.

“Soalnya, aku selalu kembali,” ujar lelaki itu, sembari terkekeh.

Perempuan itu ikut tertawa.

“Emang aku pernah mengatakan sangat menginginkanmu?” ujarnya kemudian.

Mendengar hal itu, lelaki di depannya mendengus.

“Ayolah. Hujan tadi sudah membuat pertemuan ini jadi syahdu, kamu jangan merusaknya,” ujarnya.

Perempuan itu terkekeh.

Ia tatap lelaki di depannya dalam-dalam.

Lelaki ini tak pernah mampir di mimpinya. Tetapi, dari caranya menatap sejak mereka pertama kali ketemu, dari surat-suratnya yang panjang dan tak berkesudahan itu, dari kegigihannya yang pernah membuatnya sebal itu, ia bersyukur kalau lelaki ini bukanlah mimpi.

“Oh, Tuhan, hampir lupa. Maaf, aku belum menawarimu minum,” ujar perempuan itu, sembari menutup mukanya. Ia kemudian berdiri.

“Kamu mau apa, teh atau kopi?” tanyanya.

Lelaki itu menggaruk-garuk tengkuknya.

“Kalau boleh, aku minta susu saja,” ujarnya, sembari menguap.

Perempuan itu, yang hampir beranjak ke belakang, segera menghentikan langkahnya. Dahinya mengernyit.

“Kamu serius?” tanyanya.

Giliran lelaki itu yang mengernyitkan dahinya.

“Memang kenapa? Kamu nggak punya?!”

Perempuan itu terlihat salah tingkah.

“Tapi…” kata-katanya kali ini tercekat.

Giliran lelaki itu menatap perempuannya. Dahinya ikut mengernyit. Heran.

Untuk beberapa saat keduanya saling mendelikkan mata, sebelum kemudian sama-sama tertawa.

Jalanan mulai gelap. Beberapa rumah di kiri-kanan tampak mulai menyalakan lampu. #nunpoem

Jakarta, 18 Januari 2021

CANTIK ITU DUSTA




















"Bercakaplah denganku, maka kau akan mendapat kedalaman," ujar lelaki itu.

Perempuan di depannya tertawa.
"Nyindir," ujarnya, dengan mata mengerling.
Lelaki itu ikut tertawa.
"Lho, aku bilang 'kedalaman', bukan 'esensi', apalagi menyinggung-nyinggung soal Puteri Indonesia," kelit lelaki itu.
Perempuan di depannya pura-pura mendengus. Tapi, alih-alih menyeramkan, wajahnya malah terlihat menggemaskan. Ah, itu wajah yang selalu bisa meruntuhkan prinsip, batin lelaki itu.
Melihat lelaki di depannya termangu, perempuan itu menatapnya dalam-dalam.
"Apa yang sebenarnya yang kau inginkan," tanyanya.
Lelaki itu mengangkat mukanya dan menatap balik perempuan di depannya.
"Aku hanya ingin mencintaimu dan anak-anak."
Perempuan itu menundukkan mukanya. Malam semakin larut. #nunpoem

Karawang, 17 Februari 2020

SAJAK MINYAK ANGIN


















Saat aku tua nanti

aku ingin menikmati hujan dari bilik perpustakaan
sembari ditemani rindu pada anak cucu
dan ubi rebus buatanmu
Aku ingin menua seperti buku-bukuku
yang telah kau rawat dengan penuh hormat
dan selalu kau jamah dengan ramah
Sebab, hanya seorang terpelajar
yang bisa memperlakukan buku dengan benar
ujarmu, suatu kali kepadaku
Saat kau ikut menua bersamaku
aku ingin kau tahu
meskipun krim tubuhmu telah diganti balsem
dan parfumu telah berbau minyak kayu putih
kasihku padamu tak pernah letih
Sembari menikmati hujan dari bilik perpustakaan
kita akan berbincang tentang masa lalu
juga tentang encok dan nyeri sendi
ditemani sebotol minyak angin dan secangkir kopi
Adisucipto, Yogyakarta, 28 November 2017

PAYUNG

 






































"Benar kata pepatah," ujar lelaki itu sembari melepaskan asap cerutunya. Matanya menembus ke luar jendela. Di luar sana hujan jatuh bercucuran.

"Maksudmu?" tanya perempuan yang duduk di depannya. Mulutnya masih mengunyah irisan apel yang tadi dikupasnya.

Perempuan itu tinggi semampai. Dengan kebaya yang belum dilepas, serta rambut yang disanggul kecil, sekilas ia mirip para pramugari Garuda.

"Kamu tahu apa pepatah yang sering digunakan orang di musim hujan?" tanya lelaki itu.

"Apa?! Sedia payung sebelum hujan?"

"Bukan!"

"Lha, terus apa?" tanya perempuan itu, penasaran. Kali ini ia mengambil apel dengan pisau buah. Potongan apel itu digigit-gigit kecil di mulutnya yang mungil.

Ditatapnya lelaki yang duduk di depannya. Cahaya lilin di meja membuat matanya yang coklat jadi terlihat berkilauan.

Lelaki itu menatap balik perempuan di depannya.

"Bukan sedia payung sebelum hujan, Non," ujarnya, lirih. Hampir berbisik.

"Lantas, apa?!"

"Mmm... Sedia kamu sebelum hujan!"

"Ah, kau...."

Hujan turun kian deras. #nunpoem

Jakarta, 14 Oktober 2019