Ta,
Aku sedang membaca lagi Pram ketika secara tak sengaja menemukan kembali majalah-majalah lama bersampul dirimu di bawah meja ruang tamu. Pram dan majalah-majalah itu lalu membuatku jadi memikirkan sesuatu, Ta, pikiran yang kemudian menuntunku menuliskan surat ini.
Sesudah empat belas tahun, akhirnya kita bisa bertemu lagi. Kamu, aku. Meskipun selalu memimpikannya, secara bersamaan pertemuan itu juga menjadi hal yang selalu kuanggap sebagai kemustahilan. Itu sebabnya hingga detik ini terus terang aku masih tak percaya jika pertemuan kita kemarin benar-benar terjadi.
Aku menikmati percakapan-percakapan denganmu, Ta.
Jikapun ada yang ingin kusesali, itu karena percakapan-percakapan kita kemarin ternyata tak bisa sekuat percakapan-percakapan Jesse dan Celine, ketika mereka bertemu kembali dalam “Before Sunset”. Ya, aku tahu, Mas Riri dan Mbak Mira bukanlah Linklater, Nico dan Dian belumlah seperti Ethan Hawke dan Julie Delpy, sehingga percakapan-percakapan kita kemarin tak sanggup menjangkau esensi apapun.
Pada kenyataannya, berbeda dengan Jesse, aku juga memang belum menulis satupun buku, kecuali sekadar artikel-artikel penyambung hidup. Dan sesudah empat belas tahun, bahkan akupun belum juga merancang sebuah buku yang bisa mengabadikan kegilaanku padamu, sebuah buku yang jika kau temukan akan menuntunmu kembali kepadaku, dimanapun dan dalam situasi apapun dirimu berada pada saat itu. Persis di situ aku merasa iri pada Jesse, Ta.
Jika aku bisa menuliskan kembali cerita pertemuan kita kemarin, maka aku akan memilihnya begini: aku menulis sebuah buku yang merupakan catatan kegilaanku atasmu selama ini, dan buku itu diterbitkan oleh sebuah penerbit di Yogya. Seperti halnya pertemuan Jesse dengan Celine, kita bertemu lagi dalam launching buku itu. Ya, sejenis diskusi kecil, mungkin di Toko Buku Togamas, pada sebuah petang, dimana kau akan menyelinap diam-diam di dekat tangga, mencari tahu bagaimana rupa lelaki yang pernah mengesalkanmu itu kini.
Sesudah beberapa tegur sapa yang canggung, tiba-tiba saja kita sudah bercakap-cakap di sepanjang jalan di tepian selokan Mataram, mengintip sinar bulan dari bawah pepohonan di jalanan Bulaksumur, menyusuri boulevard UGM, nongkrong di angkringan Tugu, lalu menikmati dinihari di Malioboro dengan dua mangkuk wedang ronde yang mengepul sembari merutuki masa lalu.
Aku tak ingin melewatkan waktu tanpa bercakap denganmu, Ta. Dan kita memang tak perlu bertualang kemana-mana, karena sudah cukup petualangan empat belas tahun tanpa saling memiliki satu sama lain.
Di tempat-tempat itu kita akan bercakap mengenai apapun. Tentang politik yang licik, tentang ketololan kita dalam memilih presiden pada Pemilu lalu, tentang aktivis-aktivis kiri yang tak banyak bersuara atas ekspansi modal RRC di Republik, tentang sastra, tentang puisi, dan tentang hal-hal lain yang akan membuat pertemuan itu jadi seperti dongeng yang realistis.
Jangan khawatir, kamu sama sekali tak akan memikirkan Trian waktu itu, sebab percakapan pertama kita waktu itu adalah tentang sastra, dan yang akan kita obrolkan adalah novel “Arok Dedes”. Sejauh apapun kau melangkah bersama Trian, kau pasti mengetahui bahwa ia hanya akan jadi sejenis Tunggul Ametung, karena takdir hidupmu adalah bersamaku, Ta. Jangan pernah meragukan kemampuan propagandaku mengenai hal itu.
Memikirkan semua itu membuatku jadi ingin menulis sebuah buku untukmu, Ta. Semoga aku bisa segera bersemedi untuk menuliskanya.
Sedang apa malam ini kamu, Ta? Sengaja aku tak berkirim pesan pendek, dan tak kujawab segera pesanmu, agar aku dan kamu bisa menabung sejumlah kerinduan.
Jika surat ini sudah kamu terima, balas segera ya, Ta.
ttd.
Rangga