Selasa, 07 Maret 2023

RATNA

 

"Suatu saat aku tahu akan sangat membanggakanmu. Tapi aku tak bisa menunggu hingga saat itu tiba. Dan adalah keliru mendorongmu terburu-buru mencapai itu. Kamu berhak mendapatkan apa yang kamu inginkan, termasuk seseorang yang lebih baik dariku. Aku memilih ini bukan karena tak mencintaimu. Justru karena aku sangat mencintaimu aku membuat pilihan sulit ini."

Secarik kertas itu telah menguning. Dari huruf-huruf yang tertata rapi itu, aku bisa membayangkan di mana dia menuliskan kata-kata tadi.

Ya, di atas meja batu di belakang rumahnya, tempat dia biasa menghabiskan petang sembari mendengar gemericik air selokan. Di situ pula aku pertama kali menciumnya secara diam-diam.

Aku tak pernah lagi mengunjungi rumahnya, sejak menerima surat itu, yang dikirimkannya seminggu sesudah ibunya berpulang.

Tiga tahun lalu aku berpapasan dengannya di bandara. Seorang ibu dengan anak tiga. Dua anaknya masih kecil, mungkin berumur tiga dan lima tahun, berlarian kesana-kemari di ruang tunggu, sementara yang paling besar, seorang gadis kecil yang mewarisi paras ibunya, asyik duduk membaca komik.

Ia terkesiap ketika memergoki pandanganku. Mukanya letih, tapi tetap terlihat cantik.

"Mau kemana?" tanyaku, waktu itu.

Dia tak segera menjawab pertanyaanku. Matanya dilempar ke kedua anaknya yang sedang berlarian. Dari samping kulihat air mukanya memerah. Ia mencoba menahan sesuatu. Tapi, sebutir cahaya berkilau segera menerobos sudut matanya.

Aku tentu saja grogi dengan situasi itu. Kulihat sekeliling. Sesudah memeriksa koper dan tas kecil yang dibawanya, aku tahu ia hanya bepergian seorang diri. Spontan kuraih pundaknya. Air matanya segera tumpah di dadaku.

Sebulan yang lalu, ceritanya, sesudah sanggup menguasai diri, suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan di Kalimantan. Hidupnya, yang sebelumnya menyenangkan, kemudian limbung. Mengurus tiga anak kecil di kota yang keras memang tidaklah mudah, apalagi seorang diri. Dia kemudian memutuskan untuk pulang kampung.

Aku menyimak ceritanya dengan seksama, sembari sesekali memandang wajahnya, wajah yang tiap incinya dulu begitu kukenali. Wajah sendunya yang penuh duka, sekali lagi tak sanggup menyembunyikan kecantikannya.

"Apa kamu akan tinggal di rumah yang dulu?" tanyaku.

Ia menggeleng, lalu menyebutkan sebuah alamat.

"Jika singgah ke kotamu, tak apakah kalau aku mampir?" tanyaku lagi.

Dia memandangku. Dari caranya memandang, aku tahu dia mencoba menyelidikku. Kemudian dia mengangguk.

Aih...

Kumasukkan secarik kertas yang telah menguning itu ke dalam amplop cokelat, lalu kukembalikan ke sebuah laci di lemari paling pojok, beserta sejumlah kertas yang telah menguning lainnya.

Dadaku masih terasa sesak, ketika dua hari lalu Satrio, teman sekolahku, mengabari jika perempuan itu, yang dulu sering kucumbui di atas meja batu di belakang rumahnya, telah berpulang. Ia sakit. Hanya itu yang diceritakan Satrio.

Aku menyesal tak pernah menjenguknya sejak pertemuan di bandara tempo hari. Mungkin aku tak akan pernah jadi suaminya. Tapi yang jelas aku telah meluputkan kesempatan untuk kembali berteman dengannya, sesuatu yang mungkin saja dibutuhkannya.

Tiba-tiba mataku menjadi nanar. Maafkan aku, Rat. #nunpoem

Jakarta, 4 Oktober 2018

PINTU

 

"Cinta itu seperti daun pintu," katamu, "hanya akan terbuka oleh kunci yang tepat."

"Tapi, untuk alasan tertentu, kadang kita harus mendobrak pintu, tak perlu menggunakan kunci."

"Ah, kau..."

"Lagi pula, pintu bukan satu-satunya jalan masuk ke dalam rumah bukan?!"

"Huh!" #nunpoem

Jakarta, 15 Maret 2018

RUANG TUNGGU

 























Sesudah merapikan syalnya, lelaki itu kembali meraih cangkir kopi yang tadi dibawanya. Aroma wine dan keasaman kopi Kenya yang menghentak selalu berhasil membantunya tetap terjaga. Seorang kenalannya yang mengajar di Columbia memperkenalkan kopi itu kepadanya enam bulan silam, saat mereka bertemu di sebuah konferensi. Ia segera menyukai kopi itu. Sekilas, rasanya mirip kopi Gunung Sindoro yang kerap diseduhnya saat masih tinggal di Yogya.

Di luar ruang tunggu bandara, salju masih turun berderai-derai. Tapi kini ia tak lagi merutuki cuaca di luar sana yang telah membuat penerbangannya tertunda sejak satu setengah jam lalu.

Pandangan lelaki itu kemudian beralih kepada perempuan yang duduk di sampingnya. Ia memandanginya dalam-dalam, seperti tengah menyelidiki sesuatu. Sebenarnya, bukan secangkir kopi itu benar yang berhasil memaksanya terus terjaga dan berhenti merutuki cuaca, tapi perempuan di sampingnya itu.

“Kau memang tak banyak berubah,” ujar perempuan itu.

“Maksudmu?!?”

“Tatapanmu itu lho, masih tetap seperti singa yang hendak menerkam mangsanya.” Kali ini ia mengutarakannya sembari tersenyum tipis.

“Kamu tahu, sejak dulu aku memang selalu ingin menerkammu,” jawab lelaki itu.

Perempuan itu terkekeh.

Suasana kemudian hening kembali.

Tak ada lagi pengumuman yang bersahutan seperti satu jam lalu. Orang-orang lebih suka terduduk mengantuk, atau bermain-main dengan ponsel mereka, selain lalu-lalang ke toilet. Seorang petugas tiket yang setia duduk di kursinya terlihat bercengkerama dengan petugas keamanan bandara yang tadi menghampirinya. Mereka sepertinya sedang kasmaran.

“Eh, sudah berapa lama ya kita tak ketemu?” tanya perempuan itu, sesaat kemudian.

“Mmm, sepertinya enam tahunan.”

“Wow, lama juga ya.”

“Ya, cukup lama.”

Keduanya kemudian membisu kembali.

“Jadi, bagaimana selama enam tahun kemarin, sudahkah kau menemukan cintamu?!” tanya lelaki itu.

“Oh, sinismemu juga tak banyak berubah.”

It’s just a question.”

Perempuan itu melempar pandangannya ke luar. Bibirnya terkatup. Ia sedang dalam perjalanan kembali ke Jakarta sesudah menjadi peneliti tamu di sebuah kampus di kota ini.

“Sepertinya kamu benar. Cinta tak bisa dicari. Atau ditemukan. Selalu cinta yang biasanya menghampiri kita,” ujar perempuan itu kemudian.

Lelaki itu terkekeh mendengarnya.

“Jadi, apa artinya itu?” tanya lelaki itu.

“Kamu benar-benar bertanya, atau memancing?!”

Kali ini giliran perempuan itu menatap dalam-dalam lelaki di sampingnya.

Lelaki itu kembali terkekeh. Kepalanya menggeleng.

“Kamu kan tahu, sejak dulu aku lebih suka pergi ke warteg atau warung Padang untuk makan ikan. Aku tidak suka memancing.”

“Ah, kau.”

“Serius, aku ingin tahu. Karena ini pertama kalinya kita ketemu, dan aku tak pernah mendengar cerita apapun tentang dirimu selama enam tahun ini.”

“Sama sekali?!”

“Sama sekali!”

“Wow, bagaimana bisa?!”

“Maksudmu?!?”

“Sepertinya itu bukan kamu yang kukenal dulu!?” ujar perempuan itu.

“Jadi, kamu benar-benar berharap aku terus menguntitmu, begitu?! Ha ha ha…”

Lelaki itu kembali menggapai cangkir kopinya. Keningnya mengernyit. Sialan, kopi itu mulai dingin, batinnya.

“Setiap orang berubah bukan?!” ujar lelaki itu, kemudian.

“Mungkin.”

“Kamu tak merasa dirimu berubah?”

“Entahlah.”

“Oke, aku akan mengubah pertanyaannya. Ada berapa kali cinta menghampirimu dalam enam tahun terakhir?! Apakah kamu kini hidup dengan salah satunya?”

Lelaki itu mengubah mimiknya. Ekspresinya kini serius. Matanya tajam menatap perempuan di sampingnya.

“Bisakah kamu berhenti menginterogasiku setiap kali kita ketemu?”

“Oh, apa aku memang selalu melakukannya?”

“Ya.”

Well, setidaknya kamu jadi tahu jika ada satu lagi sifatku yang tak berubah.”

Keduanya kembali terdiam. Di saat itulah petugas mengumumkan jika pesawat akan segera diberangkatkan. Lelaki itu segera menandaskan kopinya.

“Kamu mau ke Jakarta?” tanya perempuan itu.

“Nggak. Aku turun di Tokyo.”

“Oh.”

“Biasanya pesawat ini transit lama di Tokyo. Kamu ingin ditemani di sana?” tanya lelaki itu.

“Aku boleh bertanya?”

“Tidak. Kamu harus menjawab pertanyaanku tadi dulu,” ujar lelaki itu, sembari pura-pura marah.

Perempuan itu tertawa.

“Jawabannya adalah 'tidak',” ujarnya.

“Oh, oke. Take care, ya,” balas lelaki itu, sembari meraih travel bag-nya.

“Oh, bukan, bukan itu. Maksudku, tak ada seorangpun,” ujar perempuan itu sembari tersipu.

“Maksudmu?!” tanya lelaki itu, sembari mengernyitkan dahinya.

“Selama enam tahun ini, tak seorangpun,” ujar perempuan itu.

Lelaki itu menarik nafasnya dalam-dalam. Di luar ruang tunggu bandara, salju masih turun berderai-derai. Tapi badainya sepertinya sudah mereda. #nunpoem

Jakarta, 28 Agustus 2017

SURAT UNTUK CINTA











Ta,

Aku sedang membaca lagi Pram ketika secara tak sengaja menemukan kembali majalah-majalah lama bersampul dirimu di bawah meja ruang tamu. Pram dan majalah-majalah itu lalu membuatku jadi memikirkan sesuatu, Ta, pikiran yang kemudian menuntunku menuliskan surat ini.

Sesudah empat belas tahun, akhirnya kita bisa bertemu lagi. Kamu, aku. Meskipun selalu memimpikannya, secara bersamaan pertemuan itu juga menjadi hal yang selalu kuanggap sebagai kemustahilan. Itu sebabnya hingga detik ini terus terang aku masih tak percaya jika pertemuan kita kemarin benar-benar terjadi.

Aku menikmati percakapan-percakapan denganmu, Ta.

Jikapun ada yang ingin kusesali, itu karena percakapan-percakapan kita kemarin ternyata tak bisa sekuat percakapan-percakapan Jesse dan Celine, ketika mereka bertemu kembali dalam “Before Sunset”. Ya, aku tahu, Mas Riri dan Mbak Mira bukanlah Linklater, Nico dan Dian belumlah seperti Ethan Hawke dan Julie Delpy, sehingga percakapan-percakapan kita kemarin tak sanggup menjangkau esensi apapun.

Pada kenyataannya, berbeda dengan Jesse, aku juga memang belum menulis satupun buku, kecuali sekadar artikel-artikel penyambung hidup. Dan sesudah empat belas tahun, bahkan akupun belum juga merancang sebuah buku yang bisa mengabadikan kegilaanku padamu, sebuah buku yang jika kau temukan akan menuntunmu kembali kepadaku, dimanapun dan dalam situasi apapun dirimu berada pada saat itu. Persis di situ aku merasa iri pada Jesse, Ta.

Jika aku bisa menuliskan kembali cerita pertemuan kita kemarin, maka aku akan memilihnya begini: aku menulis sebuah buku yang merupakan catatan kegilaanku atasmu selama ini, dan buku itu diterbitkan oleh sebuah penerbit di Yogya. Seperti halnya pertemuan Jesse dengan Celine, kita bertemu lagi dalam launching buku itu. Ya, sejenis diskusi kecil, mungkin di Toko Buku Togamas, pada sebuah petang, dimana kau akan menyelinap diam-diam di dekat tangga, mencari tahu bagaimana rupa lelaki yang pernah mengesalkanmu itu kini.

Sesudah beberapa tegur sapa yang canggung, tiba-tiba saja kita sudah bercakap-cakap di sepanjang jalan di tepian selokan Mataram, mengintip sinar bulan dari bawah pepohonan di jalanan Bulaksumur, menyusuri boulevard UGM, nongkrong di angkringan Tugu, lalu menikmati dinihari di Malioboro dengan dua mangkuk wedang ronde yang mengepul sembari merutuki masa lalu.

Aku tak ingin melewatkan waktu tanpa bercakap denganmu, Ta. Dan kita memang tak perlu bertualang kemana-mana, karena sudah cukup petualangan empat belas tahun tanpa saling memiliki satu sama lain.

Di tempat-tempat itu kita akan bercakap mengenai apapun. Tentang politik yang licik, tentang ketololan kita dalam memilih presiden pada Pemilu lalu, tentang aktivis-aktivis kiri yang tak banyak bersuara atas ekspansi modal RRC di Republik, tentang sastra, tentang puisi, dan tentang hal-hal lain yang akan membuat pertemuan itu jadi seperti dongeng yang realistis.

Jangan khawatir, kamu sama sekali tak akan memikirkan Trian waktu itu, sebab percakapan pertama kita waktu itu adalah tentang sastra, dan yang akan kita obrolkan adalah novel “Arok Dedes”. Sejauh apapun kau melangkah bersama Trian, kau pasti mengetahui bahwa ia hanya akan jadi sejenis Tunggul Ametung, karena takdir hidupmu adalah bersamaku, Ta. Jangan pernah meragukan kemampuan propagandaku mengenai hal itu.

Memikirkan semua itu membuatku jadi ingin menulis sebuah buku untukmu, Ta. Semoga aku bisa segera bersemedi untuk menuliskanya.

Sedang apa malam ini kamu, Ta? Sengaja aku tak berkirim pesan pendek, dan tak kujawab segera pesanmu, agar aku dan kamu bisa menabung sejumlah kerinduan.

Jika surat ini sudah kamu terima, balas segera ya, Ta.

Jakarta, 22 Mei 2016 

ttd.

 

Rangga

#nunpoem

 


Senin, 06 Maret 2023

POHON















"Aku selalu menikmati perpisahan-perpisahan kita." Lelaki itu mengatakannya sembari menggeser tumpukan buku di atas meja ke tepi. Kini tak ada lagi buku di antara keduanya, dia dan perempuan itu. Hari telah merambat petang. Lampu-lampu mulai dinyalakan.

"Kok? Aneh." Perempuan itu mengernyit.

"Setiap percakapan-percakapan puitik, barangkali memang harus diakhiri dengan tragik."

Ia, lelaki itu, memandang sekeliling ruangan. Hanya tinggal meja-meja dan kursi-kursi serta mereka berdua. Tepatnya, bertiga. Seorang lelaki kurus dengan rambut panjang, yang duduk di pojok belakang ruangan, sudah mulai membereskan tasnya. Ia segera pulang.

"Apakah perpisahan kita selalu tragis?! Setragis itukah, menurutmu?" perempuan itu menyelidik.

Lelaki itu menatap perempuan di depannya.

"Entahlah. Menurutmu?" ia balik bertanya.

Perempuan itu mengernyitkan dahinya, mengingat-ingat.

Mereka duduk di sebuah meja besar di tepi jendela. Saat pagi, meja itu selalu bermandikan cahaya. Namun, ketika menjelang petang, itu menjadi meja paling teduh di ruangan itu. Di balik dinding sebelah, deretan rak-rak buku nampak berdebu.

"Mmm... aku tak pernah mengingatnya dengan baik," perempuan itu mengatakannya sembari mengerling dan tertawa kecil.

Lelaki itu menekuk mukanya. Kali ini cukup lama ia memasang ekspresi itu, sembari melempar pandang keluar jendela.

"Lha, kok ngambek? Cepet tua lho nanti," ujar perempuan itu, manja. Tak berhasil.

Lelaki itu masih saja diam. Ia duduk mematung dengan pandangan masih keluar jendela. Di bawah sana, trotoar sudah dipenuhi warung-warung lesehan.

Perempuan itu mengibas-ibaskan tangannya di depan muka si lelaki. Tapi ia tetap tak terpancing. Perempuan itu kemudian terdiam.

"Aku tidak pernah bisa mengingat perpisahan-perpisahan kita, karena kamu adalah sebuah pohon besar yang rindang." Perempuan itu menarik napas.

"Kemanapun aku pergi, atau dimanapun aku tersesat, aku tak pernah bisa lepas dari bayanganmu. Termasuk setahun terakhir kemarin."

Kali ini lelaki itu menengok. Ia menatap perempuan di depannya.

"Jadi, itu yang membuatku tak pernah punya ingatan pernah berpisah darimu." Perempuan itu memilin-milin tali tasnya. "Terdengar gombal ya. Tapi aku memang tak pernah memiliki ingatan itu."

Lelaki itu hanya menatap lekat perempuan di depannya. Hening.

Mungkin, meminjam Subagio, itu keheningan yang mengandung bicara. Sebab, ketika adzan Maghrib mengalun dari masjid di seberang jalan, perempuan itu segera memberesi buku di atas meja tadi dan memasukannya ke dalam tas lelaki di depannya.

Hingga ketika mereka sama-sama turun ke mushala kecil di lantai bawah gedung, lelaki itu masih saja diam. Baru ketika keduanya sama-sama keluar dari tempat wudhu, yang tak berjauhan, lelaki itu berdiri tertegun. Ia menatap perempuan itu dengan seksama.

Perempuan itu bingung. "Ada apa?" tanyanya. Tapi pertanyaan itu tak keluar dari mulutnya, tapi melalui sebuah kode di mukanya.

"Aku jatuh cinta pada air wudhu yang jatuh di dagumu." Jawaban itu dituliskan lelaki itu pada secarik kertas. Ia memberikannya kepada perempuan itu setelah mereka selesai shalat. Perempuan itu tersenyum. Hari merambat malam.

Jakarta, 2 September 2015

#NUNPOEM 37

 

Kata orang, Yogya terbuat dari rindu. Namun tanpamu, yang tersisa di kota ini hanya sendu. #nunpoem

Yogyakarta, 9 November 2022

#NUNPOEM 36


Aku melihatmu duduk di kursi itu, ditemani seikat rindu dan rasa penasaran: apa kesalahan yang telah kubuat di kehidupan lain, sehingga kita jadi begitu lama dipertemukan?! #nunpoem

Jakarta, 1 September 2021