"Suatu saat aku tahu akan sangat membanggakanmu. Tapi aku tak bisa menunggu hingga saat itu tiba. Dan adalah keliru mendorongmu terburu-buru mencapai itu. Kamu berhak mendapatkan apa yang kamu inginkan, termasuk seseorang yang lebih baik dariku. Aku memilih ini bukan karena tak mencintaimu. Justru karena aku sangat mencintaimu aku membuat pilihan sulit ini."
Secarik kertas itu telah menguning. Dari huruf-huruf yang tertata rapi
itu, aku bisa membayangkan di mana dia menuliskan kata-kata tadi.
Ya, di atas meja batu di belakang rumahnya, tempat dia biasa
menghabiskan petang sembari mendengar gemericik air selokan. Di situ pula aku
pertama kali menciumnya secara diam-diam.
Aku tak pernah lagi mengunjungi rumahnya, sejak menerima surat itu, yang
dikirimkannya seminggu sesudah ibunya berpulang.
Tiga tahun lalu aku berpapasan dengannya di bandara. Seorang ibu dengan
anak tiga. Dua anaknya masih kecil, mungkin berumur tiga dan lima tahun,
berlarian kesana-kemari di ruang tunggu, sementara yang paling besar, seorang
gadis kecil yang mewarisi paras ibunya, asyik duduk membaca komik.
Ia terkesiap ketika memergoki pandanganku. Mukanya letih, tapi tetap
terlihat cantik.
"Mau kemana?" tanyaku, waktu itu.
Dia tak segera menjawab pertanyaanku. Matanya dilempar ke kedua anaknya
yang sedang berlarian. Dari samping kulihat air mukanya memerah. Ia mencoba
menahan sesuatu. Tapi, sebutir cahaya berkilau segera menerobos sudut matanya.
Aku tentu saja grogi dengan situasi itu. Kulihat sekeliling. Sesudah
memeriksa koper dan tas kecil yang dibawanya, aku tahu ia hanya bepergian
seorang diri. Spontan kuraih pundaknya. Air matanya segera tumpah di dadaku.
Sebulan yang lalu, ceritanya, sesudah sanggup menguasai diri, suaminya
meninggal dalam sebuah kecelakaan di Kalimantan. Hidupnya, yang sebelumnya
menyenangkan, kemudian limbung. Mengurus tiga anak kecil di kota yang keras
memang tidaklah mudah, apalagi seorang diri. Dia kemudian memutuskan untuk
pulang kampung.
Aku menyimak ceritanya dengan seksama, sembari sesekali memandang
wajahnya, wajah yang tiap incinya dulu begitu kukenali. Wajah sendunya yang
penuh duka, sekali lagi tak sanggup menyembunyikan kecantikannya.
"Apa kamu akan tinggal di rumah yang dulu?" tanyaku.
Ia menggeleng, lalu menyebutkan sebuah alamat.
"Jika singgah ke kotamu, tak apakah kalau aku mampir?" tanyaku
lagi.
Dia memandangku. Dari caranya memandang, aku tahu dia mencoba
menyelidikku. Kemudian dia mengangguk.
Aih...
Kumasukkan secarik kertas yang telah menguning itu ke dalam amplop
cokelat, lalu kukembalikan ke sebuah laci di lemari paling pojok, beserta
sejumlah kertas yang telah menguning lainnya.
Dadaku masih terasa sesak, ketika dua hari lalu Satrio, teman sekolahku,
mengabari jika perempuan itu, yang dulu sering kucumbui di atas meja batu di
belakang rumahnya, telah berpulang. Ia sakit. Hanya itu yang diceritakan
Satrio.
Aku menyesal tak pernah menjenguknya sejak pertemuan di bandara tempo
hari. Mungkin aku tak akan pernah jadi suaminya. Tapi yang jelas aku telah
meluputkan kesempatan untuk kembali berteman dengannya, sesuatu yang mungkin
saja dibutuhkannya.
Tiba-tiba mataku menjadi nanar. Maafkan aku, Rat. #nunpoem
Jakarta, 4 Oktober 2018