Rabu, 17 September 2014
#NUNPOEM 08
Poesi adalah produk sekaligus proses, Nun. Ia persis seperti imajinasi yang membentuk sebuah bangsa, pergumulan dialektik antara 'fakta' dengan 'kehendak'. Setiap kehendak selalu memerintahkan kerja, menghasilkan produk. Namun, fakta tak bisa membatasi kehendak. Itu sebabnya kehendak tak bisa diperiksa oleh logika, Nun, karena kehendak tak dibangun oleh 'tesis', melainkan oleh 'premis'. Sebuah bangsa, seperti halnya sebuah hubungan, bisa gagal seringkali bukan karena premis-premisnya tak terpenuhi, tapi karena salah urus. Ketika fakta mulai membatasi dan menimbulkan frustrasi, itu saat yang tepat untuk menengok kembali kehendak. Itu waktunya untuk kembali pada poesi, Nun. #nunpoem
#NUNPOEM 07
Sebuah puisi, meminjam Robert Prost, dimulai dari tenggorokan yang tercekat. Ah, itu persis seperti malam ketika aku bertandang padamu, hari itu, Nun. Malam terkutuk yang melahirkan puisi tak berkesudahan. Ya, setiap kutukan puitis sepertinya memang hanya bisa diobati dengan terapi puisi. Sebab, seperti ditadaruskan Paul Valéry, tak ada puisi yang pernah selesai, hanya ditinggalkan. Duh...#nunpoem
#NUNPOEM 06
Air mata, menurut Paulo Coelho, adalah kata-kata yang
merajuk minta dituliskan. Jadi, sudah berapa banyak tulisan dari air
matamu, Nun? #nunpoem
#NUNPOEM 05
Pagi selalu bikin sakit hati. Ia cuma singgah sebentar. Mencuri rindu yang gentar. Ah, aku ingin pagi sepanjang hari. Agar anak-anak bisa berlari, dan kita tuntaskan nyeri, Nun. #nunpoem
#NUNPOEM 04
Menulis, meminjam Irish Murdoch, itu seperti menikah,
katanya. Seseorang tak boleh memberikan komitmennya sebelum ia
mendapatkan keberuntungan yang membuatnya terpana. Ah, itu pula alasanku
menikahimu, Nun. Menikahimu lewat puisi. Sebab kau selalu membuatku
terpana. Darimu aku mendapat banyak anak kata-kata. #nunpoem
#NUNPOEM 03
Matamu tingkap. Senyummu lindap. Tuturmu rancap. Hati dan hadirmu cangkat, singkat. Tapi, kasihku penad, Nun. #nunpoem
#NUNPOEM 02
Dinihari. Hujan puisi. Kata-kata tumpah. Ingatan basah. Harapan menggenang. Doa-doa mengalir. Ah, masih kuingat cahaya di situ matamu, pada tepi subuh itu. Orang-orang bergegas ke masjid. Kita menandaskan sahur. Seperti pernah kutulis, keadilan adalah dinihari, ketika gelap telah tergelincir, namun fajar belum menyingsing. Dan seperti pagi di pinggir jembatan itu, dinihari ini masih kusebut namamu, dari atas tikar ini. Nun... #nunpoem
#NUNPOEM 01
Kopi yang puitik harus diseduh dengan perasaan yang tak terlalu mendidih, Nun. Jika terasa pahit, tambahkanlah dua sendok kebijaksanaan. Hidangkanlah segera ketika aroma kasih sayangnya masih mengepul. Sebab, kopi yang dingin tak lagi menarik. #nunpoem
/13/ POESIKU
/13/ "Aku memikirkan omonganku kemarin," perempuan itu membuka percakapan. Hari itu matahari bersinar terik sekali.
"Soal?" tanya lelaki di sampingnya. Mereka duduk di tepi danau kecil. Pohon-pohon rindang melindungi keduanya dari terik siang itu.
"Soal bahwa kamu adalah pohon besar dan rindang bagiku." Ia mengatakannya sembari melempar beberapa batu kecil ke tengah danau.
"Itu membuatku selalu mengetahui bahwa selalu ada tempat yang teduh untukku. Dan kenyataannya, aku selalu kembali kepadamu."
Dua ekor tupai berlairan di sebuah dahan. Sepertinya asyik sekali. Lelaki itu tak melepaskan pandangannya pada dua tupai itu.
"Tapi aku juga heran," lanjut perempuan itu, "kenapa kita selalu saja ketemu persoalan yang akan membuat percakapan-percakapan ini datang dan pergi berkali-kali, dalam jeda yang tak tentu, yang kamu sebut sebagai perpisahan-perpisahan itu?!"
Lelaki itu menatap perempuan di sampingnya. "Sepertinya aku tahu kenapa," jawabnya.
"Kenapa?"
"Karena aku terlalu mencintaimu."
"Apa hubungannya?"
"Karena aku terlalu mencintaimu, maka Tuhan jadi cemburu. Makanya Ia berkali-kali berusaha menggagalkan hubungan kita," lelaki itu mengatakannya sembari terkekeh.
"Ah, kau..." perempuan itu tersipu. "Makanya, mbok biasa saja kau mencintaikunya," terusnya manja.
"Aku bahkan punya pilihan yang lebih baik."
"Apa?"
"Tadi malam aku sudah memutuskan. Agar Tuhan tak lagi cemburu, maka aku ingin berhenti mencintaimu." Lelaki itu kini terbahak.
Perempuan itu memberinya sebuah tinju di pundak. Kini giliran dua ekor tupai di atas dahan yang menonton dua orang itu. Hening. Hanya suara dedaunan bergesekan ditiup angin. #poesiku
/12/ POESIKU
/12/ "Aku selalu menikmati perpisahan-perpisahan kita." Lelaki itu mengatakannya sembari menggeser tumpukan buku di atas meja ke tepi. Kini tak ada lagi buku di antara keduanya, dia dan perempuan itu. Hari telah merambat petang. Lampu-lampu mulai dinyalakan.
"Kok? Aneh." Perempuan itu mengernyit.
"Setiap percakapan-percakapan puitik, barangkali memang harus diakhiri dengan tragik."
Ia, lelaki itu, memandang sekeliling ruangan. Hanya tinggal meja-meja dan kursi-kursi serta mereka berdua. Tepatnya, bertiga. Seorang lelaki kurus dengan rambut panjang, yang duduk di pojok belakang ruangan, sudah mulai membereskan tasnya. Ia segera pulang.
"Apakah perpisahan kita selalu tragis?! Setragis itukah, menurutmu?" perempuan itu menyelidik.
Lelaki itu menatap perempuan di depannya.
"Entahlah. Menurutmu?" ia balik bertanya.
Perempuan itu mengernyitkan dahinya, mengingat-ingat.
Mereka duduk di sebuah meja besar di tepi jendela. Saat pagi, meja itu selalu bermandikan cahaya. Namun, ketika menjelang petang, itu menjadi meja paling teduh di ruangan itu. Di balik dinding sebelah, deretan rak-rak buku nampak berdebu.
"Mmm... aku tak pernah mengingatnya dengan baik," perempuan itu mengatakannya sembari mengerling dan tertawa kecil.
Lelaki itu menekuk mukanya. Kali ini cukup lama ia memasang ekspresi itu, sembari melempar pandang keluar jendela.
"Lha, kok ngambek? Cepet tua lho nanti," ujar perempuan itu, manja. Tak berhasil.
Lelaki itu masih saja diam. Ia duduk mematung dengan pandangan masih keluar jendela. Di bawah sana, trotoar sudah dipenuhi warung-warung lesehan.
Perempuan itu mengibas-ibaskan tangannya di depan muka si lelaki. Tapi ia tetap tak terpancing. Perempuan itu kemudian terdiam.
"Aku tidak pernah bisa mengingat perpisahan-perpisahan kita, karena kamu adalah sebuah pohon besar yang rindang." Perempuan itu menarik napas.
"Kemanapun aku pergi, atau dimanapun aku tersesat, aku tak pernah bisa lepas dari bayanganmu. Termasuk setahun terakhir kemarin."
Kali ini lelaki itu menengok. Ia menatap perempuan di depannya.
"Jadi, itu yang membuatku tak pernah punya ingatan pernah berpisah darimu." Perempuan itu memilin-milin tali tasnya. "Terdengar gombal ya. Tapi aku memang tak pernah memiliki ingatan itu."
Lelaki itu hanya menatap lekat perempuan di depannya. Hening.
Mungkin, meminjam Subagio, itu keheningan yang mengandung bicara. Sebab, ketika adzan Maghrib mengalun dari masjid di seberang jalan, perempuan itu segera memberesi buku di atas meja tadi dan memasukannya ke dalam tas lelaki di depannya.
Hingga ketika mereka sama-sama turun ke mushala kecil di lantai bawah gedung, lelaki itu masih saja diam. Baru ketika keduanya sama-sama keluar dari tempat wudhu, yang tak berjauhan, lelaki itu berdiri tertegun. Ia menatap perempuan itu dengan seksama.
Perempuan itu bingung. "Ada apa?" tanyanya. Tapi pertanyaan itu tak keluar dari mulutnya, tapi melalui sebuah kode di mukanya.
"Aku jatuh cinta pada air wudhu yang jatuh di dagumu." Jawaban itu dituliskan lelaki itu pada secarik kertas. Ia memberikannya kepada perempuan itu setelah mereka selesai shalat. Perempuan itu tersenyum. Hari merambat malam. #poesiku
Sabtu, 30 Agustus 2014
JANJI DAUN
seperti dedaunan
hidup tumbuh berguguran
patuh pada cinta
dan duka yang bertukaran
namun, pada ranting ditinggalkan
ada janji daun
tentang kematian yang menghidupkan
mereinkarnasi kesuburan
pada daun yang gugur
ranting hanya bisa tertunduk
dengan kepedihan yang rimbun
menunggu janji daun
Yogyakarta, 30 Agustus 2014—mengenang guru pohon, profesor suhardi
Rabu, 23 Juli 2014
ALASAN HUJAN
Hujan ini telah kehilangan alasan
setelah ditinggal awan hitam
dan angin yang membetot dedaunan
Ia hanya bisa terkapar
di tengah aspal dan trotoar jalan
tak sanggup menggapai selokan
apalagi lautan
Hujan ini telah kehilangan alasan
setelah ditinggal guruh yang menggeram
dan petir yang mengancam
Ia hanya bisa menggenang
di pojok halaman basah
tak sanggup menyusup tanah
apalagi menyantuni akar
Hujan ini telah mati di jalan, Nun...
Yogya, 23 Juli 2014
Senin, 21 Juli 2014
SEDEKAH
"Cintaku adalah sedekah, kamu tidak harus membalasnya," kalimat tatag itu meluncur dari mulut lelaki itu. Senyumnya teduh, tak lagi penuh gairah seperti sebelumnya. Perempuan di depannya menatap tajam. "Apa yang kamu lakukan?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya. "Aku melakukan semua yang kuucapkan. Termasuk yang barusan kamu dengar," jawab lelaki itu mantap. Perempuan itu terdiam sejenak. "Apa yang kamu harapkan dari semua ini?" tanyanya kemudian. "Seperti semua sedekah, saya hanya ingin memberikannya, yang dalam hal ini hanya akan saya berikan padamu saja, dan tidak berharap balasan apa-apa, dari apapun, atau siapapun, termasuk darimu." Lelaki itu mengucapkannya sembari tersenyum. Nada kalimatnya pasti. Sepertinya dia tahu betul apa yang diucapkannya.
"Apa kamu yakin?" perempuan itu seperti tak percaya.
Lelaki itu tersenyum. Tangan kanannya ia tempelkan di dada. "Dengan sepenuh hati."
"Tapi untuk apa kamu melakukan semua ini?" perempuan itu mengulangi pertanyaannya. Ia seperti ingin mencari sesuatu yang diluputkannya.
"Kenapa kamu seperti keberatan, padahal aku kini tak lagi mengharapkan apapun darimu?" kali ini lelaki itu yang balik bertanya.
"Kauuuu..." perempuan itu setengah berteriak. Ketika sadar bahwa pengunjung lain menengok kepadanya, ia menundukkan kepala.
"Kenapa kamu mengubahnya menjadi sedekah?" tanya perempuan itu lirih, setelah amarahnya reda.
Lelaki itu menatapnya dalam. Ia tak menyangka reaksi perempuan itu, yang biasanya tenang jika di depannya. "Cintaku adalah sedekah, karena tak ada yang mengharuskan aku mencintaimu. Jika ada yang mengharuskannya, namanya mungkin 'zakat cinta', bukan lagi 'sedekah'," lelaki itu mengucapkannya sembari terkekeh.
"Kalau kamu menjawab seperti itu, aku bisa melempar asbak ini padamu," perempuan di depannya kembali memasang muka marah.
"Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak tahu darimana cinta ini datang. Aku tidak pernah mengundangnya, atau memintanya. Aku hanya tiba-tiba memilikinya, dan aku ingin memberikannya kepadamu, karena aku memang sungguh-sungguh mencintaimu." Lelaki itu mengakhirinya dengan sebuah desahan. "Tapi kamu tidak pernah menghiraukannya."
"Kamu kan tahu sendiri situasiku sebelum ini?" perempuan itu menjawab dengan nada tinggi.
"Aku tahu, dan aku juga tahu bahwa aku tak pernah tahu hingga kapan kamu akan mengurung diri dalam situasi itu." Lelaki itu menarik badannya ke belakang, seperti ingin melemaskan sesuatu. "Jadi, aku ingin bersedekah saja kini."
"Kamuu..." perempuan itu melemparkan sepotong batu es kepada lelaki di depannya.
Lelaki itu terhenyak. "Kenapa kamu marah padaku? Bukankah mestinya kamu senang? Kamu tidak pernah kehilangan cintaku, tapi kini kamu tak lagi harus membalasnya. Bukankah kamu sangat beruntung?" kali ini lelaki itu meninggikan suaranya.
Perempuan itu mengepalkan lengannya. Dia seperti ingin memukul lelaki di depannya. Sepertinya dia marah sekali. Mukanya merah. "Kamu tega sekali mengatakan itu."
"Kenapa memang?"
"Kamuuuu...."
Lelaki itu diam. Dia mencoba memahami perempuan di depannya. Agak lama keduanya terdiam.
"Kamu kini tahu kan bagaimana rasanya tak lagi diharapkan, meskipun oleh orang yang masih mencintaimu," lelaki itu angkat bicara. Dia mencoba membaca pikiran perempuan itu. "Mestinya kamu juga bisa membayangkan bagaimana rasanya tak diharapkan oleh orang yang telah kau santuni dengan kasih."
"Jadi kamu ingin membalasku?" perempuan itu setengah berteriak.
"Bagaimana aku bisa melakukannya, sedangkan aku tak pernah berhenti mencintaimu?" lelaki itu juga setengah berteriak. Keduanya tak lagi peduli dengan sekitarnya.
"Berhenti! Cukup!" Perempuan itu mulai berurai air mata. Keduanya kini tertunduk.
Setelah beberapa saat, lelaki itu meraih tangan perempuan di depannya. "Kamu tahu, tentu saja aku lebih suka jika kamu bisa membalas cintaku. Tapi kamu tak pernah melakukannya. Jadi, aku kemudian berpikir untuk menyedekahkannya saja padamu. Itu kulakukan semata untuk mengurangi luka." Mata lelaki itu nanar.
Perempuan itu menghapus air matanya. Ia menatap lelaki di depannya. Tangannya kini balik menggenggam tangan lelaki itu. "Berhentilah saling menyakiti," pintanya. Dia menatap mata lelaki itu. "Kamu tahu, akupun sebenarnya..." perempuan itu tak meneruskan ucapannya. Telunjuk lelaki itu menempel di bibirnya.
"Aku tahu," balas lelaki itu. "Aku kini mengetahuinya."
Dedaunan berguguran di luar jendela. Musim hujan memang segera datang.
Jumat, 18 Juli 2014
REINKARNASI
hidup ini seperti dedaunan gugur
ia bereinkarnasi pada tanah yang gembur
di basah hujan, darma ditunaikan
kembali, berulang-ulang
kita mungkin kembali hidup
pada satu dahan, seperti sebelum ini
saling bergesekan,
berbagi embun pagi
duh gusti...
tapi darma kemudian
mungkin melibatkan hukuman
kamu tumbuh di dahan ini,
sementara aku di pohon sana
kita hanya bisa bersitatap dari kejauhan
sesekali bertukar pesan
melalui kupu-kupu yang hinggap
atau lebah yang singgah
karena sebelum mengering
kita jadi saling mendiamkan
itu sebabnya, aku tak pernah berhenti
menuliskan pesan ini
aku ingin tumbuh dan melapuk bersamamu
nuunn...
Yogyakarta, 18 Juli 2014
KAMA RATIH
Brahma itu dewa pencipta, ia berpasangan dengan Saraswati, dewi ilmu pengetahuan. Penciptaan dan pengetahuan memang seperti dua sisi mata uang. Wisnu adalah dewa pemelihara, ia berpasangan dengan Laksmi, dewi kemakmuran dan kesuburan. Dalam kepercayaan Hindu Dharma, Dewi Laksmi mewujud menjadi Dewi Sri. Kita memang hanya bisa memelihara semesta dengan menjaga kemakmuran dan kesuburannya. Syiwa adalah dewa pelebur, perusak, pencipta equilibrium baru, ia berpasangan dengan Durga, dewi kasih sayang. Ya, kita hanya bisa menciptakan keseimbangan (baru) melalui kasih sayang, dengan jalan melebur semua hal buruk dan jahat.
Jadi, Ratih, sudahkah kau bersama Kamamu?
Yogyakarta, 17 Juli 2014
HUJAN
Hujan adalah jarak antara mendung dengan halaman basah. Tapi malam ini, hujan adalah jarak antara pertemuanku denganmu dengan kerinduan yang enggan ditidurkan ini.
Yogyakarta, 13 Juli 2014
Minggu, 13 Juli 2014
GILDAE
"Tanpa
puisi, hidup bisa jadi sebuah kesalahan," aku mengatakannya begitu saja
kepadamu. Anak-anak sudah berangkat ke sekolah. Aku duduk di meja besar
dengan tumpukan kertas menggunung di atasnya. Secangkir kopi yang kau
seduh pagi tadi telah dijoki. Kamu duduk di depanku, di samping jendela
dimana semburat mentari menerobos dari balik dedaunan di kebun belakang.
Sesekali kamu menyembulkan muka dari balik kanvas. Aku menulis puisi
untukmu, dan kamu melukis untukku. "Tanpa lukisan, hidup pastinya
membosankan," balasmu. Aku menatapmu. "Dan tanpamu, hidup adalah
kematian." Kamu tersipu. Duh Gusti...
Jumat, 11 Juli 2014
DESTITUTIO
Di halaman 205 novel klasik itu, ia menemukan sepucuk surat pendek. Mungkin surat itu, seperti halnya buku klasik tadi, milik penulisnya. Tapi mungkin juga milik penerimanya.
"Seorang penulis adalah ringkasan dari pengalamannya. Dan pengalamanku selama ini cuma satu: aku menghabiskan imajinasiku padamu. Aku bukan penulis yang hebat. Belum kutulis apapun semenjak kita berhenti berbicara pagi itu. Kamu tahu, aku masih duduk di sana. Tak pernah beranjak, meski ruangan menjadi gelap. Kini, tak ada lagi jalan pulang. Atau pergi. Aku masih terduduk. Tanpa jembatan kata-kata yang menghubungkanku padamu. Aku tahu, kamu hanya butuh waktu. Tapi entah, sampai kapan."
Setiap kali membaca surat itu, ia selalu kehabisan kopi dan merasakan dahaga teramat sangat.
Minggu, 06 Juli 2014
MASBUK
Kamu
seperti pengantin kesunyian, Nun. Tapi aku tak bisa mengejamu
diam-diam. Hari sudah malam, dan bacaanku harus dikeraskan. Kita masih
punya kesempatan, sampai rakaat terakhir dipungkasi salam. Kamu hanya
perlu mengaminiku. Mari kelak kita akhiri ini dengan tadarus bersama,
seperti pernah kita lakukan pada Ramadhan tahun itu. Kita saling
membacakan ayat-ayat cinta yang sublim dan mendalam. Malaikat juga tahu,
aku sedang memanjangkan rakaat terakhir ini, untukmu. Segeralah masbuk,
Nun.
Yogyakarta, 4 Juli 2014
Senin, 30 Juni 2014
PUASA PUISI
puisiku adalah puasa
puasaku adalah puisi
dalam puasaku aku berpuisi
dalam puisiku aku berpuasa
puasa puisi, puisi puasa
puasa berbuka, puisi berprosa
kapan maghrib, nun?
yogya, 29 juni 2014
Minggu, 22 Juni 2014
TADARUS
Nun. Aku menyebutmu 'Nun', karena itu adalah bunyi paling indah di antara dua puluh delapan huruf Hijaiyah. Aku menyebutmu 'Nun', karena itu adalah piktogram untuk ular dan belut. Kamu seperti ular, karena mulutmu kadang berbisa. Kamu seperti belut, karena setelah satu dekade, masih juga sulit ditangkap. Dalam beberapa bahasa, kamu adalah lambang dari sifat feminin, 'Nun'. Dalam bahasa Arab, dirimu berarti ikan paus. Ah, aku sepertinya kini tahu, apa yang terjadi jika kamu sudah membuka mulut pausmu itu. Mengerikan, tapi aku tak gentar. Apalagi, kamu juga seperti perahu, 'Nun'. Dan dengan sebatang kayuh, aku ingin mengarungi samudera hidup ini bersamamu. Itu sebabnya aku tak pernah berhenti mendarasmu, Nun. Nuun waalqalami wamaa yasthuruun.
Sanur-Potorono, 20-22 Juni 2014
Kamis, 19 Juni 2014
SEDUH
rindu ini petang
selalu mengigaukan
malam yang panjang
agar kau mengenalku
bukan dengan ingatan yang gagu
seperti kau sering membuatku
termangu kemarin
cintaku bukan fiksi
seperti pagi yang sebentar
dan bertandang penuh gentar
ini cinta yang sungguh
tak pernah mencemaskan waktu
aku tahu, ini bukan cangkir pertamaku
dan kamu adalah kopi buleleng
yang harus diseduh
sedikit demi sedikit
lidahku dan lidahmu,
sudah sama-sama pahit
dan tak lagi percaya
pada gula yang legit
aku janji menyeduhnya
dengan seksama,
nun
tabanan-sanur, 19 juni 2014
Rabu, 18 Juni 2014
SENJA
cinta terbaik hadir di rembang petang
setelah daun ketapang berguguran
dan kembang-kembang sesaji melayu
senja akan memanggil
malam yang tak terulang lagi itu
dimana secangkir kopi melarut
bertingkap ingatan
pada sebuah kedai
nasib berhenti ditulis
menjadi percakapan-percakapan puitis
yang tak bisa ditidurkan
aku mengingat rambutmu terikat
dengan secarik senyum yang tak mudah pupus
tapi, setiap mentari menyusup pucuk-pucuk palem
di depan kamarku
kamu sudah pergi
sanur, 18 juni 2014
NUN
aku letih menulis sajak, nun
dan aku semakin kehabisan kata-kata
katakan, hingga kapan
kau ingin aku menuliskan sajak-sajak ini?
jika esok aku mati, aku hanya mewarisimu
mimpi yang membeku di bawah selimut
dan kata-kata kusut yang cemberut
tapi waktu belum usai
selama pasir masih disapu ombak
dan orang-orang masih membakar dupa
aku masih menunggumu
malam ini, bulan putih di atas pura
dan aku rindu padamu, nun
sanur, 17 juni 2014
Selasa, 10 Juni 2014
PENGAKUAN
“Aku tahu, hanya kamu seorang yang memiliki perasaan begitu mendalam padaku.” Perempuan itu mengatakannya sembari menandaskan gelasnya. Dia selalu memesan jus jeruk. Begitu juga petang itu.
“Aku pernah merasa menderita karena dikhianati seseorang. Namun, ketika menerima undangan pernikahanmu, aku merasa mati rasa. Itu lebih buruk dari sekadar menderita. Aku jengkel, sedih, dan marah padamu. Semua perasaan itu menyatu. Kehilangan dirinya memang memiliki efek cukup lama. Namun kehilanganmu, sepertinya akan jadi efek selamanya.” Ia memain-mainkan gelas jus yang telah kosong itu. Sesekali matanya menatap lelaki itu, yang mengawasinya dengan seksama.
“Sejak lama aku merasa kamu menyukaiku. Tapi kamu tak pernah mengatakannya dengan jelas. Kamu pria yang baik, terhormat, stabil. Itu yang membuatku selalu tak percaya jika kamu benar-benar menyukaiku. Aku juga dihantui rasa takut tak bisa merawatmu. Sebetulnya aku orang yang cukup agresif. Tapi entah kenapa, jika berada di dekatmu aku selalu membeku. Kepalaku hanya berisi respek. Aku merasa tak pantas.” Ia mendesah.
“Aneh ya, jadinya aku tak pernah punya imajinasi erotis yang liar terhadapmu.” Kali ini bibirnya menyunggingkan senyum. Bersemu malu.
“Aku sudah berusaha untuk menyampaikannya padamu.” Kali ini si lelaki menyahut. Butuh dua tegukan kopi sebelum ia membuka omongannya itu.
“Aku sudah menyampaikannya dengan berbagai cara, padamu. Bahwa aku mencintaimu. Tapi hingga tahun itu, aku merasa kamu tak pernah benar-benar menyahut padaku, meski kita telah melewati banyak momen bersama yang mengesankan.” Lelaki itu melempar pandangannya ke luar jendela.
“Iya, aku benar-benar bego waktu itu,” perempuan itu menimpali. Mukanya tertunduk. “Kamu sama sekali tidak keliru. Momennya saja yang keliru. Aku merasa begitu buruk sekali waktu itu,” perempuan itu menggigit bibirnya. “Tapi undanganmu benar-benar membuatku terkejut. Kok jadi begini?!”
“Aku meninggalkanmu waktu itu karena mengira kamu menginginkannya demikian,” mata cokelat lelaki itu menatap perempuan di depannya.
“Kenapa kamu tak menyelidiki dulu situasiku?” Ada nada kecewa dalam suara perempuan itu. Muka sendunya kini menjadi cemberut.
“Karena kata-katamu demikian tegas hari itu. Dan itu telah membuatku menyalahkan diri sendiri. Aku merasa telah terlalu bersemangat mencintaimu, sementara kamu lebih sering datang dan pergi, sesukamu. Kamu tahu, aku tak pernah beranjak. Dan itu telah membuatku merasa sangat buruk.” Lelaki itu mencoba mengingat-ingat.
“Ah, kita sedang dipermainkan oleh momentum yang buruk waktu itu,” sesal perempuan itu. “Aku sedang sangat terpuruk waktu itu. Tapi aku terlalu tinggi hati, sehingga tak pernah mengungkapkannya padamu. Kemarahanku padamu hanya menunjukkan kerapuhanku. Aku marah karena sesungguhnya aku rapuh. Tapi aku tentu tak ingin kamu pergi, hari itu.” Perempuan itu mengaduk-aduk gelas kosongnya dengan sedotan. Tatapnya terbagi kepada gelas dan lelaki yang duduk di depannya. “Kenapa kamu tiba-tiba menjauh, dan lantas datang kembali dengan sepucuk undangan?!” Nada perempuan itu agak meninggi.
Lelaki itu hampir menggapai lengan perempuan itu. Namun diurungkannya. Ia menggantinya dengan sebuah tatapan lembut, seperti kapas yang terkena embun. Suasana sedikit hening.
“Kenapa tak berani menjamahku?” Setelah nada-nada sendu, kali ini perempuan itu mengatakannya dengan nada menggoda.
Lelaki itupun terkekeh. “Kamu tahu, aku selalu menghormatimu.”
“Andaikan status kita lajang sekarang, masak tidak berani?” Godaan itu terus berlanjut.
“Jangan pernah mengujiku,” lelaki itu menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan muka perempuan itu, sembari tersenyum malu. Perempuan itupun tersipu.
Suasana menjadi hening kembali. Di luar kedai, lampu-lampu jalan mulai menyala.
“Kenapa kita harus melalui liku-liku itu hanya untuk sampai ke meja ini?” perempuan itu menatap lelaki di depannya.
Lelaki itu mendesah, seolah hendak melepas sebuah beban yang menghimpit di dadanya.
“Kamu tahu,” sebelum melanjutkan kalimatnya, lelaki itu menatap perempuan di depannya, “aku tidak pernah beranjak.”
“Aku ingin pergi, tapi yang bisa kulakukan hanya menyelinap ke halaman samping. Aku tak pernah benar-benar bisa pergi.”
Perempuan itu tertunduk. Pipinya merekahkan rona merah.
“Untuk bisa menghargai pilihan yang benar, apakah kita harus selalu salah belok dulu?” Perempuan itu bertanya.
Lelaki itu menggeser kursinya, mendekati perempuan itu. Tangan perempuan itu diraihnya. Dia menggenggamnya dengan erat. Matanya terpejam. Bibirnya membisu. Perempuan itu menatap lelaki yang sedang menggenggam tangannya. Sebentuk kilau mutiara merembes dari sudut matanya. Di luar kedai, senja jatuh dengan malu-malu.
Minggu, 08 Juni 2014
PRINSIP
Malam sudah sampai ke pucuk ketika telepon selulernya berbunyi. Untuk sesaat dia tertegun. Setahun sudah berlalu sejak mereka tak berusaha untuk memperbaiki jembatan komunikasi yang pernah runtuh itu. Tapi di pucuk malam yang menggigil itu, setelah sebuah jeda komunikasi yang panjang, perempuan itu kembali menghubunginya. Apa lagi ini? Kenapa lagi dia? Batinnya.
"Sudah tidur, Mas?" begitu pesan pendek perempuan itu.
Dia ingin sekali melempar pesawat selulernya. Dia selalu membayangkan jika hal-hal semacam itu akan selalu memarkirnya ke pelataran yang sama. Pelataran dimana dia akan ketemu banyak dilema dengan dada penuh sesak. Tapi pikiran itu segera ditepisnya. Apa lagi yang akan kau alami jika aku tak membalas pesanmu? Kembali ia membatin. Perempuan itu sepertinya memiliki sejenis sihir yang tak pernah sanggup ditangkalnya. "Kamu selalu bisa meruntuhkan semua prinsip yang ingin kuimani," akunya kepada perempuan itu, bertahun lalu.
"Jika bisa runtuh, bukan prinsip dong namanya," balas perempuan itu manja.
"Baik kokoh maupun rapuh, itu tak membatalkan identitas sebuah prinsip," jawabnya, sembari menarik-narik ujung lengan baju perempuan itu. "Lembaran beton maupun sebatang bambu, jika dia menghubungkan dua bibir sungai, namanya tetap jembatan." Kali ini tangannya menarik-narik lembut rambut perempuan itu. Pemilik rambut tergerai itu terlihat pasrah.
"Hebat sekali ya aku," perempuan itu terkikik.
"Aku lebih sering merasakannya sebagai, 'jahat sekali ya dirimu'," lelaki itu mengatakannya sembari mengecup kepala perempuan itu.
"Kenapa jahat?"
"Karena aku selalu memperbaiki prinsip itu sendirian, setelah kamu rusak dan kamu ngeloyor entah kemana." Kecupan di kepala itu kini telah sampai di daun telinga. Perempuan itu melenguh.
"Apa itu berarti bahwa aku adalah kelemahanmu?" perempuan itu menatapnya lekat. Jarak dua pandangan mereka hanya lima senti.
Lelaki itu menghela nafas. Tepatnya, ia mengatur nafasnya.
"Bukan. Kamu adalah sebagian energiku. Dan kehilanganmu selalu membuatku kehilangan energi," lelaki itu menjelaskan.
"Kukira kamu akan menyebutku sebagai Kryptonite," perempuan itu mengatakannya sembari mendekatkan bibirnya.
Dalam beberapa menit, percakapan itu terputus.
Sebuah tepukan di pundak menyadarkan lelaki itu. "Bocornya ada tiga, Mas, jadi semuanya lima belas ribu." Kalimat itu milik tukang tambal ban. Lelaki itu tersadar dari lamunannya. Setelah mengeluarkan duit, dia tak segera beranjak. Apa lagi yang akan kau berikan di ujung jalan ini? Batinnya lagi, sembari melihat layar telepon selulernya.
Dengan ragu dia mulai membalas pesan perempuan itu: "Sudah tidur?! Bahkan jika aku sudah dikuburpun, aku akan bangkit jika kamu menyebut namaku."
Malam terus bergegas memburu pagi. Ya, perempuan itu memang selalu bisa meruntuhkan setiap prinsip yang diimaninya. Kabut tipis yang melayang di tengah jalanan yang melengang menjadi saksinya.
TEKA-TEKI
"Aku sungguh tidak layak untukmu," kata perempuan itu, sembari mengatupkan bibirnya yang pucat. Lelaki itu menatapnya nanar. Lelucon macam apa ini? Atau, ejekan macam apa itu? "Apa kamu sedang berusaha untuk mengatakan sebaliknya?" nada suara lelaki itu bergetar. Perempuan itu terisak. "Tidak, aku mengatakan yang sebenarnya," bibir pucat itu terlihat kering, tak lagi basah seperti biasa disaksikan lelaki itu. "Kenapa kamu terus mengulang-ulang kata-kata itu?" tanya si lelaki. Sebuah lemari kayu pecah dihantam tinjunya. Tinju yang tak pernah diumbarnya, kecuali pada situasi yang membuatnya merasa sesak. Tidak. Dia tidak melepaskan amarahnya di depan perempuan tadi. Itu terjadi setelah ia kembali ke rumahnya yang teduh di tengah kebun mangga di tepi sungai yang selalu mengirimi suara gemericik. Ya, itu bukan kali pertama ia mendengar kalimat itu.
Ketika pada akhirnya si perempuan tadi memiliki "keberanian" untuk menjadi kekasihnya, bertahun kemudian, pertanyaan itu tak pernah berhenti menguntitnya: apa maksud pujaan hatinya itu pernah mengucapkan kata-kata tadi? Jika maksudnya untuk meninggikan, siapalah dirinya, demikian batinnya, sehingga perempuan yang diinginkannya itu sampai menganggap bahwa dia bukan perempuan yang layak untuknya?! Jika maksud ucapan itu adalah untuk merendahkannya, kenapa pada akhirnya perempuan itu mau jadi kekasihnya, lewat sebuah penerimaan yang sebenarnya tak lagi dipintanya?!
Pertanyaan itu sangat mengganggunya. Syahdan, ketika hubungan mereka sudah berlangsung beberapa tahun, lelaki itu memutuskan untuk meninggalkan perempuannya. Perempuannya meraung-raung. Ia tak mengira lelakinya akan mengambil pilihan muskil itu. "Aku selalu mengatakan yang sebenarnya," kata perempuan itu dengan suara terbata. "Itu masalah yang selalu dihadapi perempuan jika sikap hormatnya mendahului cintanya," tambahnya dengan terguguk.
Lelaki itu hanya memandang tak percaya. Tapi kata-katanya sudah kadung jatuh. Ia belajar untuk tak gampang menoleh. Selama bertahun-tahun kemudian, ia menyesali kenapa dirinya terlalu gampang menulis kata penutup sebagaimana diucapkannya hari itu.
Tiga malam lalu, ada seorang perempuan mengucapkan kalimat yang sama padanya. Perempuan yang selalu menerbitkan purnama pada tiap kehadirannya, setelah malam gelap bertahun-tahun itu. Apakah ini sejenis kutukan? Ia hanya bisa membatin.
Apakah perempuan itu hendak menghinanya? Tapi, jika dia ingin menghinanya, kenapa dia selalu saja datang kepadanya meminta pelukan? "Di dadamu, aku selalu merasa tenang," bisik perempuan itu suatu ketika. "Aku selalu bisa beristirahat dalam pelukanmu," tambahnya. "Untuk itukah kau singgah?" lelaki itu menyelidik. Perempuan itu menjawabnya dengan sebuah lumatan bibir. "Tapi aku bukan rumah singgah," terus lelaki itu, setelah perempuan itu melepaskan ciumannya.
"Apa kamu merasa seperti itu?"
"Kadang begitu."
"Itu karena aku sesungguhnya tidak layak untukmu," kata perempuan itu. Malam mendadak hening. Ya, kalimat itu lagi. Apakah itu sejenis kutukan? Lelaki itu ingin beranjak menjauh. Tapi satu kakinya ditarik oleh perempuan itu.
Minggu, 18 Mei 2014
SECANGKIR KOPI
secangkir
kopi ini
mengingatkanku
pada bau tubuhmu
bau coklat sepat
dengan rasa mengikat
ah, bau itu
selalu membinasakan akal sehatku
sejak dulu
apalagi jika
kau sedang marah
tubuhmu
seperti campuran rempah-rempah
pahit sekali
rasanya
namun aku
selalu ingin menyeduhnya
seperti
pahit jamu, itu takan membunuhku
kopi ini
selalu mengingatkanku padamu
jika
rasanya aneh,
itu memang karena aku belum selesai menyeduhnya
Yogyakarta,
18 Mei 2014 15.00 WIB
Jumat, 16 Mei 2014
LENTERA
lentera ini
akan tetap menyala
andai tak kau
tiup, sayang
kerlipnya akan
berpijar
membunuh
gelap dan diam
mengapa
kerlip itu kau biarkan
kalau
nantinya kau tiup
mengapa
harus kau tiup pula
kalau
kau mabuk pijarnya?
biarkan
dia berpijar, sayang
agar
hidupmu merona terang
Adisucipto, 15 Mei 2014
Langganan:
Postingan (Atom)