Minggu, 04 Mei 2014

MENJAUH





Terminal tak pernah bisa membawaku menghindar
stasiun tak pernah bisa membawaku pensiun
pelabuhan tak pernah bisa membawaku terjauhkan
dan bandara tak pernah bisa membawaku mengembara
Sungguh... 
aku tak pernah bisa berhenti untuk selalu kembali kepadamu...

Stasiun Tugu, 25 April 2014

MENDENGARKAN

 
"The first duty of love is to listen," kata Paul Tillich. Mungkin begitu. Mencintai adalah kesediaan untuk mendengarkan. Termasuk kesediaan untuk mendengarkan apa-apa yang sesungguhnya tak ingin kita dengarkan (termasuk yang menyakitkan?). Tapi siapa yang harus mengengarkan lebih dulu, dan bilamana? Ah, barangkali Rumi benar, "Lovers are patient and know that the moon needs time to become full.”

Jumat, 02 Mei 2014

GERIMIS


Sebuah perpustakaan sama seperti labirin. Rumit, penuh dengan lorong-lorong dan anak tangga. Dan sebuah labirin bisa menyenangkan atau membingungkan, dan bahkan mematikan. Menyenangkan, karena di sinilah avonturisme bisa dijejalkan ke segala pintu. Namun menjengkelkan setengah mati jika terlunta di dalamnya. Sebuah dunia tak berujung ada di sini. Misteri dan jawaban hadir dalam wajah paling ekstrim. Dan itu sangat tidak menyenangkan untuk sepenggal hidup yang terbatas.

Aku keluar dari perpustakaan dengan pikiran menjuntai. Langit seperti berada tepat di atas kepala, seakan hendak menelan sekujur tubuhku. Agaknya Tuhan ingin menunjukkan otoritasnya, bahwa aku hanya sekadar mahluk kecil tak berkuasa di muka bumi ini. Dan labirin yang dicipta Tuhan jauh lebih rumit dibanding labirin yang tercetak pada lembaran-lembaran kertas yang bertumpuk di perpustakaan.

Ya, setiap kali keluar perpustakaan aku akan selalu merasa bahwa langit memang seperti tepat berada di atas kepalaku. Dan Tuhan akan selalu menang dengan ejekan yang membungkam, “Labirinku jauh lebih rumit dibanding yang barusan kau jelajahi.” Dan aku akan selalu mengangguk. Entah, mungkin lebih karena lelah. Meski, kadang pada sela-sela yang hanya sedikit kumiliki, aku berpikir Dia sedang mengajakku berdialog bahwa jangan habiskan hidupmu hanya untuk menebalkan kulit di bagian pantat. Aku lalu akan tersenyum, sebelum tenggelam dalam bantal dan selimut.

Lampu-lampu jalan sudah lama menyala. Langit agak mendung. Pandangku terbatas pada beberapa meter ke depan. Bukan hanya pantatku yang menebal, ternyata. Gelas pipih di depan mataku juga ikut menebal. Tak lagi bisa kunikmati pemandangan sintal para karyawan bank di seberang sana.

Gerimis jatuh satu-satu. Aku mengumpat. Tubuh letih ini harus berlari-lari kecil ke halte. Mataku jadi berkunang-kunang. Aku jadi ingat sudah beberapa bulan ini tak pernah berolah raga. Tubuh ini jadi begitu renta.

Masih dengan pandangan kabur aku terduduk di kursi halte. Mataku terpejam. Alangkah enaknya jika aku sudah sampai di rumah dan berendam dalam air hangat. Sekali-kali, aku juga ingin memanjakan tubuh, bukan hanya menebalkan pantat. Aku jadi melamun.

“Mas.....” sebuah suara lirih terempas lamat-lamat. Aku masih tak sadar dengan lamunanku. Ketika suara lirih itu berulang, aku baru membuka mata. Kabur. Kepalaku masih pusing. Hanya kudapati sesosok tubuh di halte ini. Perempuan. Mataku terpicing. Perlu waktu agak lama untuk bisa memusatkan pandang. Bahkan, kini bukan hanya tubuhku yang rapuh, pandanganku pun kian tak bertenaga.

Sosok itu kukenali. Tepatnya pernah kukenali. Tepatnya lagi, itu sosok yang tak pernah ingin lagi kukenali. Lebih tepat lagi… sesungguhnya aku ingin lebih mengenalinya, semenjak dulu. Aku mendesah. Panjang.

Akhirnya aku bertemu kembali denganmu. Dunia ini sempit, ternyata. Pertemuan seperti ini terus berulang-ulang. Selalu dalam gerimis yang menggigit. Kita bertemu dalam keterbataan. Mini kata. Aku akan selalu pamit dengan salam yang juga terbata. Atau kamu akan pergi dengan senyum tipis tanpa makna. Dan semua itu menjengkelkan.




Lihatlah kini. Aku hanya bisa menatapmu yang tertunduk. Malu-malu. Pipimu merah. Semerah ketika kupernah mengecupmu malam itu. Tempo hari. Aku sudah lupa. Juga semerah pipiku ketika kau berikan surat itu dan aku marah besar.

Kenapa kita bisa mengingat masa lalu tapi tidak bisa mengingat masa depan? Kerucut masa lalu itu masih kuingat dengan koordinat-koordinatnya. Ini seperti fisika yang memusingkan. Dan kini aku sedang berada pada ujung kerucut masa lalu dengan masa depan. Dan aku sama sekali tidak tahu pada koordinat mana masa depanku saat ini, ketika bertemu kembali denganmu. Aku seperti masuk ke dalam labirin kembali. Dan Tuhan tentu tertawa lebar. “Labirinku lebih rumit lagi, bukan!?” selorohnya.

Kamu makin tertunduk. Tidak. Aku tidak menyalahkanmu. Ada banyak hal yang tidak bisa kita pahami memang, meski kadang kita jumawa dengan menganggap telah mengerti suatu persoalan. Dan aku juga mungkin tak memahamimu, sama seperti kamu tak memahami merahnya mukaku hari itu. Tidak. Aku juga tidak membencimu, meski kadang aku membenci kepura-puraanmu.

Labirin ini memusingkan. Aku tak tahu bagaimana tepatnya pikiranku saat ini. Aku kini sedang belajar, sama seperti isi suratmu tempo hari. Aku sedang belajar berpaling. Melupakanmu. Meski aku tak berpikir aku bisa.

Gerimis makin deras. Lamat-lamat aku teringat pada sepenggal puisi yang pernah kutulis, bertahun-tahun silam…

lupa itu mudah, Sayang
hanya secarik halaman kosong
dalam buku hidupku

menyobek halaman itu mudah
tinggal berpaling, dan seribu halaman lain berhamburan
hanya, satu yang sulit
membuat halaman baru yang berarti…

TAKLUK





"Buat aku bertekuk lutut," pintamu. Namun aku tak selalu bisa membuatmu bertekuk lutut. Bahkan, aku tak tahu apa yang kamu sebut bertekuk lutut. Aku juga tidak tahu kapan kamu bertekuk lutut dan kapan tidak. Kadang, aku berpikir, malah aku yang bertekuk lutut di hadapmu, jika yang dimaksud bertekuk lutut adalah kerinduan yang tak kuasa kubendung, dan cinta yang terus tumbuh dan menjalar. Atau, kadang aku yang bertekuk lutut jika yang dimaksud adalah verbalisme yang wadag, dan bukannya impresi yang sublim. Aku selalu gagal untuk menyembunyikan perasaanku padamu. 

Aku yang bertekuk lutut, jika yang dimaksud adalah aku seperti buku yang bisa kamu baca di mana saja, atau yang berbicara apa saja, dari kegilaan hingga hal-hal cabul. Jika itu yang kamu sebut bertekuk lutut, maka sesungguhnya aku yang bertekuk lutut di hadapmu. Dan jika kamu hanya mencari orang yang bisa membuatmu bertekuk lutut, dan bukan yang bertekuk lutut di hadapanmu, maka aku tetap tak akan pernah bisa menghentikan perasaanku padamu. Bahwa aku akan terus merayumu, memujimu, menyanjungmu dengan puisi yang berlarat-larat dan kosa-kata berlambak dari orang yang kasmaran.

Aku tak akan pernah bisa berdiri di hadapanmu, meski kamu meninggalkanku. Sebab aku mencintaimu, dan aku akan mencintaimu dengan caraku sendiri: dengan perasaan yang tak pernah ingin kubendung...

Jika cinta adalah semacam penaklukan, sebenarnya tak ada yang menang dan kalah. Dua-duanya sama penakluk dan tertakluk sekaligus. Kita tak pernah kalah karena mencintai seseorang. Kita selalu kalah karena enggan mengungkapkannya.

Aku bertekuk lutut di hadapmu, bukan karena aku rapuh. Aku melakukannya untuk mengurangi sebagian kekuatanku, agar aku bisa memberi tempat bagi sebagian kekuatanmu...

Kamis, 01 Mei 2014

SURAT UNTUK ANIN



Aku menemukanmu malam itu. Tubuh jangkung berbalut sweater dalam jarak lima meter. Dingin memang selalu mencekik penghujung tahun. Dan aku menemukanmu di tengah malam yang penuh gigil itu. Tapi yang sebenarnya terjadi: aku menemukan diriku sendiri. Aku menemukan mimpiku. Aku menemukan bayanganku. Dan itu ada pada dirimu, malam itu.

Interioritas subyek. Andai kamu tahu, kamu pasti menuduhku demikian. Aku menemukanmu, tapi yang kulihat adalah imaji batinku sendiri. Ah... Semua yang kulihat tiba-tiba mengada dalam batin. Dan imajiku tiba-tiba mengada dalam kesekitaran. Dua dunia menubuh. Dunia narcis, yang asyik dengan wajahnya sendiri.

Jadi aku tidak pernah benar-benara jatuh cinta padamu malam itu. Sampai aku menemukan diriku tak ada padamu.

Jatuh cinta adalah belajar jatuh cinta, Anin. Tanpa belajar, kita hanya akan mencintai tiada, menjadi si narcisus yang kan ditenggelamkan bayangannya sendiri.

Kamu kini menjadi kesadaran yang selalu mengingatkanku soal ada. Aku ada dan kamu ada. Kadang, aku dan kamu sama-sama meniada, tenggelam dalam menjadi, sesuatu yang baru. Entah apa itu. Sejak itu aku mulai mencintaimu. Setelah berbilang tahun, aku tak pernah bisa berhenti mencintaimu.




Koes

SURAT UNTUK SRI



Sri,

Sekarang pukul 00.22 dinihari. Tadi sore di sini mendung, tapi tidak hujan. Malam ini cuaca agak panas, sehingga aku harus melepas singlet yang basah oleh keringat. Seperti itulah, ini musim pancaroba. Panas dan hujan datang silih berganti. Kadang dingin menggigil, lalu tiba-tiba gerah membakar.

Kipas terus menguar di atap kamar. Kian lama bunyinya tambah bising, memecah kesunyian pagi. Aku masih tetap terjaga. Mata ini enggan pejam. Malah, malas memejam. memang besok ada tentamen, tapi yang jelas aku terjaga bukan karena itu. Lima buah buku yang tadi siang kubaca di perpustakaan sudah cukup untuk menghadapi tentamen besok.

Beberapa koran dan majalah berserak di lantai, baru saja selesai dibaca. Sebenarnya ada tiga buku yang kemarin dipinjam yang bisa dibaca, untuk menemani jaga pagi ini. Tapi malas. Biasanya aku suka membunuh waktu dengan main catur sendiri. Ya, aku suka berpura-pura menjadi dua orang yang berbeda di belakang papan catur. Tapi, melakukan itu dinihari ini sepertinya menjenuhkan.





Akhirnya, aku menulis surat ini, dengan iringan lagu di radio. Kamu masih ingat lagu Charles Aznavour, “She”? Lagu ini keluar ketika kita masih duduk di kampus kita dulu. Beberapa hari ini aku baru bisa menyukainya. Entahlah, untuk hal-hal yang berkaitan dengan hiburan kayaknya aku memang selalu terlambat mengapresiasi. Lagu ini, misalnya. Aku ingat, dulu teman-teman kita sering menyanyikan lagu ini kalau sedang berkumpul. Bayangkan, aku baru bisa menyukainya sekarang, setelah hampir sepuluh tahun berjalan.

Tapi aku tertarik pada lagu itu mungkin bukan karena lagunya itu sendiri. Suasana saat inilah yang membuat lagu tadi menarik. Seperti pagi ini: suasana sepi, mata yang masih nyala, jauh darimu, membuat syair-syair lagu tadi menjadi terasa menyentuh.

Sri, barangkali kamu sudah terbenam dalam selimut tebalmu saat ini. Dan kamu memang harus sudah tidur, karena besok mungkin akan ada banyak aktivitas yang harus kamu kerjakan. Apa saja yang menyibukanmu akhir-akhir ini? Sibuk sekali, sibuk, atau bagaimana? Bagaimana arisan di kampung? Bagaimana kabar mahasiswa-mahasiswamu, masihkah mereka gemar bikin ulah di kelas, yang membuat mereka tak ada bedanya dengan siswa taman kanak-kanak, seperti pernah kamu bilang?

Tapi tentunya kamu begitu sibuk. Sebab, belum sepotong tuturpun kau kirim. Tapi sudahlah. Barangkali itu tak penting. Yang penting, semoga kamu bisa menjalani semua itu dengan baik. Kamu memang selalu begitu, sejak dulu.

Sri, setiap hari aku masih selalu ketemu Veblen. Kamu tahu, di kampusku kini ada tempat paling sorga. Di bawah keriaman pohon, ada bangku-bangku bata dimana kita bisa duduk melamun, membaca, berpikir, atau berbaku bahak bersama kawan-kawan. Tempatnya di depan gedung perpustakaan tua. Setelah atau sebelum bercakap dengan Veblen aku suka berteduh di sana. Cicit burung, serta semilir angin yang membuat daun-daunan berbisik lirih, sangat mengingatkanku pada kampung kita.





Aku senang berlama-lama di gedung perpustakaan tua itu. Menurutku, itu tempat yang menawan, karena di antara kepungan rak aku bisa duduk berselonjor pada karpet-karpet merah yang menghampar. Jikapun malas membaca, di balik rak-rak dan tiang gedung aku bisa duduk atau berbaring mendengkur tidur siang. Tak masalah. Penjaga perpustakaan sudah mafhum.

Selepas menghadiri kelas aku selalu ketemu Veblen di sana. Sesiangan kami akan berdiskusi dan bertukar cerita panjang lebar. Dia teman berbincang yang nyaman. Kadang kita membincangkan topik yang sama berhari-hari. Kadang dia juga hanya diam menyaksikan aku berbincang dengan teman-teman seruangannya yang lain. Mereka mengajari aku lebih banyak ketimbang guru-guru di fakultas. Makanya, aku lebih suka berada di sana ketimbang ikut beberapa kelas yang menyebalkan. Jika tak ada kelas, atau tak ada janji dengan pembimbing, aku bisa lebih pagi menemui mereka. Selalu, dengan buku bersampul merah dan sebotol air minum, aku tahan berbincang berjam-jam dengan mereka. Tapi, terutama Veblen yang membuat aku kerasan di sana.

Hal yang paling memikatku, semenjak dulu, adalah ketika menyaksikan para guru sepuh berbaku dalih tentang pandangannya masing-masing. Mendengar mereka bertukar cakap dan beradu tangkas, rasanya seperti menghadapi hidangan makan yang sangat mewah. Terasa mewah, karena aku tak pernah membayangkan bisa kenal dan masuk dalam kehidupan mereka, menikmati lezatnya berpikir.





Aku jadi ingat, dalam pedagogik, tugas seorang guru bukanlah mentransfer pengetahuan pada murid-muridnya. Tugas seorang guru adalah menularkan karakter pada murid-muridnya, seperti pernah diceramahkan Bung Karno dulu, Sri. Jika seorang murid sudah tertular watak gurunya, maka dia akan berpikir dan berpandangan seperti gurunya. Dia akan belajar seperti gurunya. Dan dengan bekal watak bawaannya, sang murid bisa melengkapi kekurangan watak gurunya tadi, sehingga ia bisa menemukan jati dirinya sendiri. Pada akhirnya, dengan proses itu, setiap murid akan bisa lebih baik dan maju ketimbang gurunya.

Itulah kenapa dulu para calon pujangga dan kesatria harus menjadi cantrik lebih dulu, tinggal bersama dan melayani gurunya. Dari sana mereka diajar dan belajar memahami gurunya, memahami ilmunya, meniru lakunya. Peniruan adalah tahapan belajar paling mula. Meniru adalah melakoni. Dengan melakoni, si murid tak hanya sekadar tahu, melainkan juga bisa meresapi arti, menangkap makna. Sebagai cantrik mereka tak hanya dituntut jeli menerima ajaran verbal, melainkan juga menangkap kias. Sebab, bukankah dunia tak hanya dibangun oleh realitas ragawi yang nyata, melainkan juga oleh realitas mental yang abstrak? Di padepokan-padepokan, nun di lereng-lereng gunung sana, mereka belajar memahami keduanya, dengan tinggal dan melayani gurunya.

Di pojok rak-rak yang berserak, aku juga seperti merasa sedang berguru, belajar mencantrik, Sri. Ah, kamu sudah tahu itu. Aku tak hanya sedang berhadapan dengan labirin aksara, tapi sedang bercakap dan bersenda gurau dengan para empu jaman silam. Membaca adalah sebentuk percakapan. Lewat teks-teks itu, aku bercakap dan bercengkerama dengan mereka. Menyatu dalam persekutuan pikiran.





Jika hari telah petang, aku akan berpindah tempat, Sri. Jelang petang aku sudah menyusuri trotoar kampus, berjalan 1,5 km ke arah selatan, menuju gedung perpustakaan kota. Ah, itu juga sebuah gedung tua, Sri. Di sana aku menemui perkumpulan para guru lainnya. Aku sering mengundang mereka bertandang ke kamarku.

Semua itu, tempat yang teduh dengan cicit burungnya, gedung tua dengan deretan rak-rak tuanya, para penjaga yang murah tersenyum, serta kursi-kursi bata yang selalu setia menunggu, demikian menyenangkan untuk disambangi setiap hari. Aku menyukai semua itu. Tapi tahukah kamu, Sri, kalau boleh memilih, aku lebih bahagia kalau kau berada di dekatku ketimbang semua itu.

Tak ada yang lebih menyenangkan selain menyaksikan kau tersenyum, melihat deret putih gigimu. Menatap rupamu, aku akan geli menyaksikan kau selalu berusaha berbohong. Ya, kau akan selalu berusaha berbohong dengan cara yang primitif mengenai isi hatimu. Kau akan menyembunyikan bungkul-bungkul kerinduan, menutupi semua histeria, juga kerapuhanmu. Tapi matamu memberi tahu semuanya. Semakin kamu berbohong, semakin jujur kau terlihat. Kau tahu, kegenitanmu selalu mengusik kesendirianku. Aku rindu tatapmu. Aku rindu lirihmu. Aku rindu semua kekurang-ajaranmu kepadaku.

Obrolan-obrolan panjang dengan Veblen bisa jadi sebenarnya karena aku enggan terlalu merindukan semua itu jika sendiri. Karenanya, aku tak letih menapaki trotoar kota ini, menjelajahi semua sudut kampus, menemui banyak empu dan guru. Jika sedang termangu di kursi-kursi bata itu, sesekali aku seperti melihatmu. Hanya Veblen yang bisa membuat aku tak larut dalam ilusi batin. Dia akan memanggil dari dalam gedung, menyegerakan aku masuk.

Mereka sering bertanya tentang dirimu, Sri. Ah, itu pertanyaan yang menyenangkan. Karena, dengan begitu aku bisa bercerita tentang dirimu. Kerinduanku akan sedikit terobati setelah itu. Kamu tahu, mereka selalu titip salam buatmu.





Mereka baik sekali. Mereka akan menghibur begitu melihat kekasihmu ini mulai murung. Paman Paul akan menghibur dengan ketajamannya menangkap bermacam paradoks dalam keseharian, yang jika dicermati memang lucu. Begitu pula sindiran Si Tua Heilbroner yang selalu saja memikat. Dia selalu bisa menemukan kesalahan dari tempat paling tersembunyi sekalipun. Gosipnya ganjil dan akurat. Veblen sendiri tak kalah kocak, dengan kecerdasannya yang selalu bisa menelanjangi teman-temannya. Mereka menghibur aku dengan caranya masing-masing. Aku hanya tersenyum menyaksikan perhatian mereka yang begitu besar.

Aku berpikir, mungkin kamu di sana juga mengalami hal yang sama, membutuhkan perhatian yang serupa. Aku tidak tahu, apakah di sana ada yang bisa menghiburmu semacam guru-guruku di sini? Apakah di sana ada bangku-bangku bata tempat kamu bisa termenung dan mendengar suara-suara alam? Apakah di sana ada semacam trotoar yang panjang dimana kamu bisa melepas segala beban, meninggalkan jejak-jejak dan menciptakan jejak baru?

Pujaanku, aku merindukanmu.

Meski ada yang bisa menghiburku di sini, yang paling menentramkan adalah jika kamu berada di dekatku. Bersitatap dengan belahan hati takan pernah bisa tergantikan, oleh apapun. Aku rindu kamu, Sri.

Dinihari, 02.26.


Sastrodarsono

TENTANG PUISI(KU)



puisi adalah transendensi pengalaman privat. pada mulanya boleh jadi rintihan, kesepian, atau berahi yang membuncah, tapi begitu menjelma puisi, segala durga-mula itu menjadi sublim. bukankah kita melihat dunia seperti mengintip dari lubang kunci, sesuatu yang mendekati bentuk sebuah puisi: sublimasi pengalaman renik-sederhana sebagai tata cara melihat kompleksitas mayapada?!

ekspresi puitik bisa lahir dari comberan, seperti halnya Chairil yang membayangkan tuhan saat melonte dan menyetubuhi noni-noni belanda. ia tak perlu bermaksud kudus, walau kediriannya pasca-menjadi menyerupai kekudusan yang menyegala.

sudahi semua perbincangan yang coba menyelidiki awal mula sebuah puisi atau metafor susastra. karena, tidak ada sebab tunggal yang melahirkan akibat, yang ada adalah sebab yang merupakan akibat dari musabab yang lain (circular causation).

barangkali memang tidak perlu ada tafsir tunggal atas puisi, meski setiap pemaknaan memiliki keboleh-jadiannya sendiri. persoalannya, pada apa pemaknaan itu harus menyandarkan dirinya, ketika sejarah, susastra, atau semiotik tak lagi mencukupi untuk meloloskan sebait puisi dari penjara mahatanya?


tarli nugroho