Selasa, 20 Januari 2015

#NUNPOEM 13

 
Mendapatkan sesuatu tak menjadikanmu pemenang. Dan kehilangan sesuatu tak menjadikanmu kalah, Nun. ‪#‎nunpoem‬
 
Yogyakarta, 11 Oktober 2014

#NUNPOEM 12

 
Dua malam penuh takbir telah menumbuhkan rindu pada bau lipstik yang pernah mampir ke bibir ini di pelipir masjid tua itu, Nun. ‪#‎nunpoem‬
 
Yogyakarta, 4 Oktober 2014

#NUNPOEM 11


Jika lukisan adalah puisi yang membisu, dan puisi adalah lukisan yang berbicara, maka kamu adalah sebuah galeri pentas, Nun. ‪#‎nunpoem‬

Yogyakarta, 24 September 2014

#NUNPOEM 10


Ingatan yang tak bisa larut dalam secangkir kopi, memang harus dituliskan. ‪#‎nunpoem‬

Yogyakarta, 21 September 2014

#NUNPOEM 09

 
Untuk sebuah kehangatan, kadang kita membiarkan secangkir kopi yang telah diseduh menjadi dingin... ‪#‎nunpoem‬
 
Yogyakarta, 20 September 2014

Rabu, 17 September 2014

#NUNPOEM 08



Poesi adalah produk sekaligus proses, Nun. Ia persis seperti imajinasi yang membentuk sebuah bangsa, pergumulan dialektik antara 'fakta' dengan 'kehendak'. Setiap kehendak selalu memerintahkan kerja, menghasilkan produk. Namun, fakta tak bisa membatasi kehendak. Itu sebabnya kehendak tak bisa diperiksa oleh logika, Nun, karena kehendak tak dibangun oleh 'tesis', melainkan oleh 'premis'. Sebuah bangsa, seperti halnya sebuah hubungan, bisa gagal seringkali bukan karena premis-premisnya tak terpenuhi, tapi karena salah urus. Ketika fakta mulai membatasi dan menimbulkan frustrasi, itu saat yang tepat untuk menengok kembali kehendak. Itu waktunya untuk kembali pada poesi, Nun. ‪#‎nunpoem‬

#NUNPOEM 07


Sebuah puisi, meminjam Robert Prost, dimulai dari tenggorokan yang tercekat. Ah, itu persis seperti malam ketika aku bertandang padamu, hari itu, Nun. Malam terkutuk yang melahirkan puisi tak berkesudahan. Ya, setiap kutukan puitis sepertinya memang hanya bisa diobati dengan terapi puisi. Sebab, seperti ditadaruskan Paul Valéry, tak ada puisi yang pernah selesai, hanya ditinggalkan. Duh...‪#‎nunpoem‬