Poesi adalah produk sekaligus proses, Nun. Ia persis seperti imajinasi
yang membentuk sebuah bangsa, pergumulan dialektik antara 'fakta' dengan
'kehendak'. Setiap kehendak selalu memerintahkan kerja, menghasilkan
produk. Namun, fakta tak bisa membatasi kehendak. Itu sebabnya kehendak
tak bisa diperiksa oleh logika, Nun, karena kehendak tak dibangun oleh
'tesis', melainkan oleh 'premis'. Sebuah bangsa, seperti halnya sebuah
hubungan, bisa gagal seringkali bukan karena premis-premisnya tak
terpenuhi, tapi karena salah urus. Ketika fakta mulai membatasi dan
menimbulkan frustrasi, itu saat yang tepat untuk menengok kembali
kehendak. Itu waktunya untuk kembali pada poesi, Nun. #nunpoem
Sebuah puisi, meminjam Robert Prost, dimulai dari tenggorokan yang
tercekat. Ah, itu persis seperti malam ketika aku bertandang padamu,
hari itu, Nun. Malam terkutuk yang melahirkan puisi tak berkesudahan.
Ya, setiap kutukan puitis sepertinya memang hanya bisa diobati dengan
terapi puisi. Sebab, seperti ditadaruskan Paul Valéry, tak ada puisi
yang pernah selesai, hanya ditinggalkan. Duh...#nunpoem
Pagi selalu bikin sakit hati. Ia cuma singgah sebentar. Mencuri rindu
yang gentar. Ah, aku ingin pagi sepanjang hari. Agar anak-anak bisa
berlari, dan kita tuntaskan nyeri, Nun. #nunpoem
Menulis, meminjam Irish Murdoch, itu seperti menikah,
katanya. Seseorang tak boleh memberikan komitmennya sebelum ia
mendapatkan keberuntungan yang membuatnya terpana. Ah, itu pula alasanku
menikahimu, Nun. Menikahimu lewat puisi. Sebab kau selalu membuatku
terpana. Darimu aku mendapat banyak anak kata-kata. #nunpoem