Sebuah ketukan kecil mampir di daun pintu. Ketika
kualihkan pandangan ke arah luar, seorang perempuan sudah berdiri
mematung di sana. Pintu itu memang sudah kubuka sejak pagi, untuk
mengurangi pengap. Aku pasti terlalu asyik dengan pekerjaanku, sehingga
tidak menyadari kehadirannya. Mungkin saja dia sudah lama berdiri di
sana.
Ketika dilihatnya aku tersenyum, dia segera datang menyongsong dan mengambil kursi di dekatku.
Kututup boks plastik transparan yang sudah penuh terisi buku itu. Untuk
memindahkannya ke lantai, menyatukannya dengan boks-boks lain di sudut
ruangan, cukup menguras tenaga. Itu sebabnya, meski tak asing dengan
pekerjaan itu, aku begitu benci masih saja harus ketemu ritus
menyebalkan semacam itu.
“Kok tidak mengabari jika ada di sini?” tanyanya. Mukanya tertekuk.
Aku tak langsung menjawab pertanyaannya. Setelah memindahkan boks tadi,
aku kembali duduk di kursi. Meja besar itu masih berisi serakan buku.
Dulu, selain digunakan sebagai meja makan, meja itu memang sering
digunakan sebagai meja kerjaku. Letaknya yang persis di ruang tengah,
yang dekat dengan pintu depan dan dapur, membuatnya strategis. Karena
ukurannya yang lebar, aku bisa bekerja dengan banyak buku di meja itu.
Kutatap matanya. Lekat.
“Apakah itu masih perlu?”
Dia menarik nafas mendengar jawabanku.
“Kamu masih marah padaku?” tanyanya.
Akupun menarik nafas.
“Bukankah aku yang mestinya bertanya begitu?”
Dia terlihat mencoba menahan diri. Baguslah, pikirku. Dia memang harus banyak belajar menahan diri.
“Kamu yakin ingin pindah dari kota ini?” dia kembali bertanya.
Aku tatap matanya dalam-dalam. Dia memang ingin tahu.
“Bukankah dalam beberapa tahun ini aku secara riil tak lagi tinggal di sini?”
Aku mengulurkan secangkir teh ke hadapannya. Entah kenapa aku mengganti
isi ceret itu tak dengan kopi pagi itu. Mungkin sudah firasat.
Perempuan itu tersenyum, lalu mengambil sebuah stik gula yang memang
selalu tersedia di atas meja. Dia mencoba menikmati satu dua teguk,
sebelum kemudian melempar kembali pandangannya padaku.
“Maksudku, kamu kan bisa hanya cukup di sana untuk bekerja saja, sementara untuk tinggal, ya tetap di sini,” ujarnya.
Aku menarik nafas.
“Aku butuh alasan untuk terus tinggal. Dan alasan itu tetap gagal kuperoleh dalam beberapa tahun terakhir,” ujarku datar.
Dia terlihat menggigit bibirnya. Untuk sesaat kami terdiam. Aku meraih cangkir tehku. Kulihat dia menarik nafas dalam-dalam.
“Bagaimana jika aku datang untuk memberimu alasan?” ujarnya.
Aku tersedak. Segera kulempar pandangan keluar pintu. Euphorbia mili
berbunga merah muda menyambut pandanganku. Aku meletakannya dalam pot di
ujung teras, di bawah kerai yang menjadi pelindung agar sinar matahari
pagi tak terlampau menyilaukan.
Meski rumah ini jarang
kutengok, tanaman dalam pot besar itu tak tampak layu. Aku membeli
tanaman itu di depan kebun binatang, sebagai pengganti atas tanaman
sejenis yang pernah diberi seseorang. Ya, seseorang yang kini duduk di
tepi meja sembari menatapku. Dia memberiku euphorbia dalam pot kecil
sembilan tahun lalu.
Aku selalu merawat tanaman itu, sampai
sebuah insiden kecil membuatku tak bisa mempertahankannya. Itu sebuah
kerumitan yang tak bisa kuceritakan.
Sembari menarik nafas kutatap wajahnya.
“Apa bedanya…”
“Please, cukup!” tukasnya.
Aku tak meneruskan omonganku.
“Jangan lagi bertanya. Ada kalanya kamu harus berpikir bahwa banyak
bertanya itu tak perlu. Dan peringatan itu juga berlaku untukku
sekarang,” ujarnya.
Aku tersenyum kecut mendengarnya. Kembali,
kutatap dia dalam-dalam, mencoba menyelidik. Dia mengatakannya dengan
sungguh-sungguh.
Aku kembali menarik nafas. Hidup ini memang penuh teka-teki.
Segera kulihat air mukanya memerah. Nampak dia berusaha betul
mengendalikan emosinya. Itu pemandangan yang membuatku tak tahan.
Segera kuseret kursiku. Kuraih tangannya. Lembut. Dia menatapku lekat.
Aku kenal tatapan itu. Bukan, itu bukan tatapan yang terakhir kulihat
beberapa bulan silam, ketika aku akhirnya berani memutuskan untuk mulai
mengepak buku-bukuku. Itu tatapan yang berbeda. Tatapan seorang
perempuan yang minta perlindungan.
Kupegang kedua tangannya,
lalu kutarik dia ke pangkuanku. Dia tak menolak. Perempuan itu
menyandarkan kepalanya di dadaku. Ketika dia memalingkan mukanya, jarak
pandangan kami begitu dekat. Sangat dekat.
“Jangan pergi,” pintanya. Aku bahkan bisa merasakan dengus nafasnya.
Aku tersenyum. Kukecup hidungnya.
“Kamu tahu, sejak dulu aku tak pernah bisa pergi darimu,” ujarku.
Dia tersenyum.
“Tapi aku tetap harus mengepak buku-bukuku,” ujarku.
“Kok?”
Mendengar itu spontan dia menjauhkan tubuhnya. Tapi aku segera merengkuhnya kembali. Erat.
“Aku memang harus mengepak buku-bukuku. Bulan depan kontrakan ini habis
dan tidak bisa diperpanjang lagi, karena mau dijual pemiliknya.
Sayangya, saat ini uangku masih tak cukup untuk membelinya. Jadi, apakah
kini rumahmu bisa menampung buku-bukuku?” bisiku, di telinganya.
Perempuan itu mencubitku keras. Kembali, dia memalingkan mukanya kepadaku.
“Dasar kere,” ujarnya.
Tapi dia tak bisa mengejekku lebih jauh. Aku tak memberinya kesempatan untuk meneruskan ejekannya...
Tiba-tiba adzan Subuh berteriak nyaring. Bangsat!
Yogyakarta, 14 Desember 2014