Senin, 06 Maret 2023

SUJUD

























"Menurutmu, keajaiban itu apa?" tanya perempuan itu.

"Sujud," ujar lelaki di depannya.

"Kok sujud?!" tanya perempuan itu. Air mukanya agak kecewa.

"Saat sujud kamu berbisik pada bumi, tapi langitlah sebenarnya yang mendengarkan bisikanmu."

"Well... Sound nice."

"Ajaib bukan?"

"Heeh."

Perempuan itu mengangguk.

"Oya, apa yang biasanya kau bisikan ke bumi saat sujud?" tanya perempuan itu, menyelidik.

"Aku membisikan namamu," ujar lelaki itu, sembari menandaskan cangkir kopinya.

"Ah, kau..."

"Tapi sayangnya langit tak pernah mendengarkannya," tambah lelaki itu.

"Hua ha ha ha..." perempuan di depannya terbahak, memperlihatkan deretan giginya yang berkilauan ditabrak cahaya lilin. #nunpoem

Jakarta, 29 April 2019

#NUNPOEM 27


Rubuh bersimpuh di Subuh-Mu. Aku hanyalah pengayuh yang banyak berkeluh. #nunpoem

Karawang, 22 Mei 2018

#NUNPOEM 26

 


Aku sudah meninggalkanmu berkali-kali, tapi selalu saja rindu untuk kembali... #nunpoem

Yogyakarta, 2 Mei 2018

KRISIS

 

"Sejujurnya, apa yang kamu pikirkan mengenai hubungan kita, ketika kamu sendiri sebenarnya belum pulih?"
"Kamu ingin tahu?!"
"Tentu saja aku perlu tahu."
"Sejujurnya, aku sedang krisis."
"Aku tahu. Itulah, makanya fokus saja pada krisismu itu. Tak perlu berpikir soal jangka panjang dulu."
"Aku pikir juga begitu. Hei, kamu tahu?!"
"Ada apa, Tuan yang sedang krisis?"
"Ayolah, jangan menggodaku begitu..."
"Aku mendengarkanmu."
"Kamu tahu, ibarat krisis mata uang, aku sedang melemah di hadapanmu."
"Terus?"
"Sementara, hubungan kita saat ini seperti sistem devisa bebas. Kamu bebas datang atau pergi sesukamu."
"Lalu?!"
"Itu membuatku gampang rontok setiap saat."
"And?!"
"Padahal, setiap hari, rinduku padamu terus mengalami inflasi."
"So?!"
"Maukah kau memberiku sedikit pinjaman lunak, untuk meringankan krisisku?"
"Apa itu??? ... Hah?! Ah, kau..."
Malam terus beranjak naik. #nunpoem

HARI RAYA


Daun-daun kering berguguran tertiup angin. Satu dua jatuh di atas meja batu tempat dua cangkir teh yang masih mengepul itu. Meski hujan kadang masih turun, sejatinya ini memang sudah musim kemarau.

“Kenapa tak mengabariku?” ujar perempuan itu. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar tertiup angin, petang itu.
“Soal apa?” tanya lelaki yang duduk di depannya.
“Ya, soal kunjunganmu.”
“Kebetulan ada undangan ke kampus. Jadi, begitulah aku ada di sini,” ujar lelaki itu.
Pandangannya menyapu segala penjuru. Kini ada banyak gedung tinggi di sekitarnya. Tapi kursi dan meja batu itu masih di sana, seperti belasan tahun lalu. Dari jauh, seorang perempuan paruh baya datang tergopoh mengantarkan sepiring gorengan yang masih mengepul.
“Mohon maaf menunggu agak lama. Baru mateng gorengannya,” ujarnya, yang dibalas sebuah anggukan kecil oleh lelaki itu.
Meski dihimpit oleh gedung-gedung tinggi, sejumlah pohon yang menjulang dengan dedaunan yang rimbun membuat tempat itu asri dan teduh. Sinar matahari hanya sanggup mengintip melalui celah-celah daun.
“Lama juga ya kita tak berkomunikasi,” ujar perempuan itu.
“Iya. Kadang aku juga tak percaya. Tapi, bukankah hidup harus terus berjalan?” balas lelaki itu, sembari tersenyum kecil.
“Ya, begitulah.”
Perempuan itu mengatakannya sembari mengeluarkan selembar tisu dari tasnya, yang digunakan untuk mengambil sepotong gorengan yang masih mengepul. Sesudah meniupnya berkali-kali, tahu tepung berisi tauge itu segera membasahi bibirnya yang merah merekah.
“Sesudah semua yang kau lakukan, aku merasa agak aneh kau tak lagi menghubungiku,” ujar perempuan itu.
“Aneh kenapa?”
“Ya, aneh saja.”
“Ah, bukankah semua yang pernah kita lewati memang aneh?!” lelaki itu balik bertanya.
“Semuanya?!”
“Ya. Semuanya!”
“Ha ha ha ha,” perempuan itu tertawa, memamerkan gigi-giginya yang putih.
Lelaki itupun ikut tertawa.
“Sejujurnya, kau menganggapku apa sih?” tanya perempuan itu.
Lelaki itu menatap perempuan di depannya.
“Kenapa kau menanyakannya?”
“Anggap saja aku sangat memerlukan jawabannya.”
“Kau saat ini atau kemarin?” tanya lelaki itu.
“Secara keseluruhan,” jawab perempuan itu, mantap.
Lelaki itu terdiam sesaat.
“Kamu itu seperti hari raya,” ujarnya kemudian.
“Maksudnya?”
“Dalam setahun, kita hanya sesekali bertemu. Jangan salah, itu selalu merupakan pertemuan yang menggembirakan. Tapi, sayangnya, hidup yang sebenarnya adalah di luar hari itu,” ujar lelaki itu, sembari menatap perempuan di depannya.
Perempuan itu menundukkan mukanya.
“Entah kenapa aku jadi sedih mendengar jawaban itu,” ujar perempuan itu.
“Maksudmu?” tanya lelaki itu.
“Entahlah…” #nunpoem

MÁRQUEZ


Sesudah membaca "Love in the Time of Cholera", seorang lelaki menulis surat cinta untuk perempuan yang ditaksirnya. Isinya pendek, dan sangat Márquez. "Satu-satunya penyesalanku saat sekarat nanti adalah ketika aku tak pernah mencintaimu. Sungguh, aku ingin menua bersamamu."

Tapi surat itu tak pernah dikirimkannya. Dan perempuan itu tak pernah tahu jika dirinya menjadi mimpi lelaki itu.

Jakarta, 14 Desember 2015

SOLITUDE 12

Pagi ini aku ingin menyepi pada bilik-bilik di mana kesepian tak akan lagi bisa menemukanku. #solitude

Jakarta, 20 September 2016