Jumat, 02 Mei 2014

TAKLUK





"Buat aku bertekuk lutut," pintamu. Namun aku tak selalu bisa membuatmu bertekuk lutut. Bahkan, aku tak tahu apa yang kamu sebut bertekuk lutut. Aku juga tidak tahu kapan kamu bertekuk lutut dan kapan tidak. Kadang, aku berpikir, malah aku yang bertekuk lutut di hadapmu, jika yang dimaksud bertekuk lutut adalah kerinduan yang tak kuasa kubendung, dan cinta yang terus tumbuh dan menjalar. Atau, kadang aku yang bertekuk lutut jika yang dimaksud adalah verbalisme yang wadag, dan bukannya impresi yang sublim. Aku selalu gagal untuk menyembunyikan perasaanku padamu. 

Aku yang bertekuk lutut, jika yang dimaksud adalah aku seperti buku yang bisa kamu baca di mana saja, atau yang berbicara apa saja, dari kegilaan hingga hal-hal cabul. Jika itu yang kamu sebut bertekuk lutut, maka sesungguhnya aku yang bertekuk lutut di hadapmu. Dan jika kamu hanya mencari orang yang bisa membuatmu bertekuk lutut, dan bukan yang bertekuk lutut di hadapanmu, maka aku tetap tak akan pernah bisa menghentikan perasaanku padamu. Bahwa aku akan terus merayumu, memujimu, menyanjungmu dengan puisi yang berlarat-larat dan kosa-kata berlambak dari orang yang kasmaran.

Aku tak akan pernah bisa berdiri di hadapanmu, meski kamu meninggalkanku. Sebab aku mencintaimu, dan aku akan mencintaimu dengan caraku sendiri: dengan perasaan yang tak pernah ingin kubendung...

Jika cinta adalah semacam penaklukan, sebenarnya tak ada yang menang dan kalah. Dua-duanya sama penakluk dan tertakluk sekaligus. Kita tak pernah kalah karena mencintai seseorang. Kita selalu kalah karena enggan mengungkapkannya.

Aku bertekuk lutut di hadapmu, bukan karena aku rapuh. Aku melakukannya untuk mengurangi sebagian kekuatanku, agar aku bisa memberi tempat bagi sebagian kekuatanmu...

Kamis, 01 Mei 2014

SURAT UNTUK ANIN



Aku menemukanmu malam itu. Tubuh jangkung berbalut sweater dalam jarak lima meter. Dingin memang selalu mencekik penghujung tahun. Dan aku menemukanmu di tengah malam yang penuh gigil itu. Tapi yang sebenarnya terjadi: aku menemukan diriku sendiri. Aku menemukan mimpiku. Aku menemukan bayanganku. Dan itu ada pada dirimu, malam itu.

Interioritas subyek. Andai kamu tahu, kamu pasti menuduhku demikian. Aku menemukanmu, tapi yang kulihat adalah imaji batinku sendiri. Ah... Semua yang kulihat tiba-tiba mengada dalam batin. Dan imajiku tiba-tiba mengada dalam kesekitaran. Dua dunia menubuh. Dunia narcis, yang asyik dengan wajahnya sendiri.

Jadi aku tidak pernah benar-benara jatuh cinta padamu malam itu. Sampai aku menemukan diriku tak ada padamu.

Jatuh cinta adalah belajar jatuh cinta, Anin. Tanpa belajar, kita hanya akan mencintai tiada, menjadi si narcisus yang kan ditenggelamkan bayangannya sendiri.

Kamu kini menjadi kesadaran yang selalu mengingatkanku soal ada. Aku ada dan kamu ada. Kadang, aku dan kamu sama-sama meniada, tenggelam dalam menjadi, sesuatu yang baru. Entah apa itu. Sejak itu aku mulai mencintaimu. Setelah berbilang tahun, aku tak pernah bisa berhenti mencintaimu.




Koes

SURAT UNTUK SRI



Sri,

Sekarang pukul 00.22 dinihari. Tadi sore di sini mendung, tapi tidak hujan. Malam ini cuaca agak panas, sehingga aku harus melepas singlet yang basah oleh keringat. Seperti itulah, ini musim pancaroba. Panas dan hujan datang silih berganti. Kadang dingin menggigil, lalu tiba-tiba gerah membakar.

Kipas terus menguar di atap kamar. Kian lama bunyinya tambah bising, memecah kesunyian pagi. Aku masih tetap terjaga. Mata ini enggan pejam. Malah, malas memejam. memang besok ada tentamen, tapi yang jelas aku terjaga bukan karena itu. Lima buah buku yang tadi siang kubaca di perpustakaan sudah cukup untuk menghadapi tentamen besok.

Beberapa koran dan majalah berserak di lantai, baru saja selesai dibaca. Sebenarnya ada tiga buku yang kemarin dipinjam yang bisa dibaca, untuk menemani jaga pagi ini. Tapi malas. Biasanya aku suka membunuh waktu dengan main catur sendiri. Ya, aku suka berpura-pura menjadi dua orang yang berbeda di belakang papan catur. Tapi, melakukan itu dinihari ini sepertinya menjenuhkan.





Akhirnya, aku menulis surat ini, dengan iringan lagu di radio. Kamu masih ingat lagu Charles Aznavour, “She”? Lagu ini keluar ketika kita masih duduk di kampus kita dulu. Beberapa hari ini aku baru bisa menyukainya. Entahlah, untuk hal-hal yang berkaitan dengan hiburan kayaknya aku memang selalu terlambat mengapresiasi. Lagu ini, misalnya. Aku ingat, dulu teman-teman kita sering menyanyikan lagu ini kalau sedang berkumpul. Bayangkan, aku baru bisa menyukainya sekarang, setelah hampir sepuluh tahun berjalan.

Tapi aku tertarik pada lagu itu mungkin bukan karena lagunya itu sendiri. Suasana saat inilah yang membuat lagu tadi menarik. Seperti pagi ini: suasana sepi, mata yang masih nyala, jauh darimu, membuat syair-syair lagu tadi menjadi terasa menyentuh.

Sri, barangkali kamu sudah terbenam dalam selimut tebalmu saat ini. Dan kamu memang harus sudah tidur, karena besok mungkin akan ada banyak aktivitas yang harus kamu kerjakan. Apa saja yang menyibukanmu akhir-akhir ini? Sibuk sekali, sibuk, atau bagaimana? Bagaimana arisan di kampung? Bagaimana kabar mahasiswa-mahasiswamu, masihkah mereka gemar bikin ulah di kelas, yang membuat mereka tak ada bedanya dengan siswa taman kanak-kanak, seperti pernah kamu bilang?

Tapi tentunya kamu begitu sibuk. Sebab, belum sepotong tuturpun kau kirim. Tapi sudahlah. Barangkali itu tak penting. Yang penting, semoga kamu bisa menjalani semua itu dengan baik. Kamu memang selalu begitu, sejak dulu.

Sri, setiap hari aku masih selalu ketemu Veblen. Kamu tahu, di kampusku kini ada tempat paling sorga. Di bawah keriaman pohon, ada bangku-bangku bata dimana kita bisa duduk melamun, membaca, berpikir, atau berbaku bahak bersama kawan-kawan. Tempatnya di depan gedung perpustakaan tua. Setelah atau sebelum bercakap dengan Veblen aku suka berteduh di sana. Cicit burung, serta semilir angin yang membuat daun-daunan berbisik lirih, sangat mengingatkanku pada kampung kita.





Aku senang berlama-lama di gedung perpustakaan tua itu. Menurutku, itu tempat yang menawan, karena di antara kepungan rak aku bisa duduk berselonjor pada karpet-karpet merah yang menghampar. Jikapun malas membaca, di balik rak-rak dan tiang gedung aku bisa duduk atau berbaring mendengkur tidur siang. Tak masalah. Penjaga perpustakaan sudah mafhum.

Selepas menghadiri kelas aku selalu ketemu Veblen di sana. Sesiangan kami akan berdiskusi dan bertukar cerita panjang lebar. Dia teman berbincang yang nyaman. Kadang kita membincangkan topik yang sama berhari-hari. Kadang dia juga hanya diam menyaksikan aku berbincang dengan teman-teman seruangannya yang lain. Mereka mengajari aku lebih banyak ketimbang guru-guru di fakultas. Makanya, aku lebih suka berada di sana ketimbang ikut beberapa kelas yang menyebalkan. Jika tak ada kelas, atau tak ada janji dengan pembimbing, aku bisa lebih pagi menemui mereka. Selalu, dengan buku bersampul merah dan sebotol air minum, aku tahan berbincang berjam-jam dengan mereka. Tapi, terutama Veblen yang membuat aku kerasan di sana.

Hal yang paling memikatku, semenjak dulu, adalah ketika menyaksikan para guru sepuh berbaku dalih tentang pandangannya masing-masing. Mendengar mereka bertukar cakap dan beradu tangkas, rasanya seperti menghadapi hidangan makan yang sangat mewah. Terasa mewah, karena aku tak pernah membayangkan bisa kenal dan masuk dalam kehidupan mereka, menikmati lezatnya berpikir.





Aku jadi ingat, dalam pedagogik, tugas seorang guru bukanlah mentransfer pengetahuan pada murid-muridnya. Tugas seorang guru adalah menularkan karakter pada murid-muridnya, seperti pernah diceramahkan Bung Karno dulu, Sri. Jika seorang murid sudah tertular watak gurunya, maka dia akan berpikir dan berpandangan seperti gurunya. Dia akan belajar seperti gurunya. Dan dengan bekal watak bawaannya, sang murid bisa melengkapi kekurangan watak gurunya tadi, sehingga ia bisa menemukan jati dirinya sendiri. Pada akhirnya, dengan proses itu, setiap murid akan bisa lebih baik dan maju ketimbang gurunya.

Itulah kenapa dulu para calon pujangga dan kesatria harus menjadi cantrik lebih dulu, tinggal bersama dan melayani gurunya. Dari sana mereka diajar dan belajar memahami gurunya, memahami ilmunya, meniru lakunya. Peniruan adalah tahapan belajar paling mula. Meniru adalah melakoni. Dengan melakoni, si murid tak hanya sekadar tahu, melainkan juga bisa meresapi arti, menangkap makna. Sebagai cantrik mereka tak hanya dituntut jeli menerima ajaran verbal, melainkan juga menangkap kias. Sebab, bukankah dunia tak hanya dibangun oleh realitas ragawi yang nyata, melainkan juga oleh realitas mental yang abstrak? Di padepokan-padepokan, nun di lereng-lereng gunung sana, mereka belajar memahami keduanya, dengan tinggal dan melayani gurunya.

Di pojok rak-rak yang berserak, aku juga seperti merasa sedang berguru, belajar mencantrik, Sri. Ah, kamu sudah tahu itu. Aku tak hanya sedang berhadapan dengan labirin aksara, tapi sedang bercakap dan bersenda gurau dengan para empu jaman silam. Membaca adalah sebentuk percakapan. Lewat teks-teks itu, aku bercakap dan bercengkerama dengan mereka. Menyatu dalam persekutuan pikiran.





Jika hari telah petang, aku akan berpindah tempat, Sri. Jelang petang aku sudah menyusuri trotoar kampus, berjalan 1,5 km ke arah selatan, menuju gedung perpustakaan kota. Ah, itu juga sebuah gedung tua, Sri. Di sana aku menemui perkumpulan para guru lainnya. Aku sering mengundang mereka bertandang ke kamarku.

Semua itu, tempat yang teduh dengan cicit burungnya, gedung tua dengan deretan rak-rak tuanya, para penjaga yang murah tersenyum, serta kursi-kursi bata yang selalu setia menunggu, demikian menyenangkan untuk disambangi setiap hari. Aku menyukai semua itu. Tapi tahukah kamu, Sri, kalau boleh memilih, aku lebih bahagia kalau kau berada di dekatku ketimbang semua itu.

Tak ada yang lebih menyenangkan selain menyaksikan kau tersenyum, melihat deret putih gigimu. Menatap rupamu, aku akan geli menyaksikan kau selalu berusaha berbohong. Ya, kau akan selalu berusaha berbohong dengan cara yang primitif mengenai isi hatimu. Kau akan menyembunyikan bungkul-bungkul kerinduan, menutupi semua histeria, juga kerapuhanmu. Tapi matamu memberi tahu semuanya. Semakin kamu berbohong, semakin jujur kau terlihat. Kau tahu, kegenitanmu selalu mengusik kesendirianku. Aku rindu tatapmu. Aku rindu lirihmu. Aku rindu semua kekurang-ajaranmu kepadaku.

Obrolan-obrolan panjang dengan Veblen bisa jadi sebenarnya karena aku enggan terlalu merindukan semua itu jika sendiri. Karenanya, aku tak letih menapaki trotoar kota ini, menjelajahi semua sudut kampus, menemui banyak empu dan guru. Jika sedang termangu di kursi-kursi bata itu, sesekali aku seperti melihatmu. Hanya Veblen yang bisa membuat aku tak larut dalam ilusi batin. Dia akan memanggil dari dalam gedung, menyegerakan aku masuk.

Mereka sering bertanya tentang dirimu, Sri. Ah, itu pertanyaan yang menyenangkan. Karena, dengan begitu aku bisa bercerita tentang dirimu. Kerinduanku akan sedikit terobati setelah itu. Kamu tahu, mereka selalu titip salam buatmu.





Mereka baik sekali. Mereka akan menghibur begitu melihat kekasihmu ini mulai murung. Paman Paul akan menghibur dengan ketajamannya menangkap bermacam paradoks dalam keseharian, yang jika dicermati memang lucu. Begitu pula sindiran Si Tua Heilbroner yang selalu saja memikat. Dia selalu bisa menemukan kesalahan dari tempat paling tersembunyi sekalipun. Gosipnya ganjil dan akurat. Veblen sendiri tak kalah kocak, dengan kecerdasannya yang selalu bisa menelanjangi teman-temannya. Mereka menghibur aku dengan caranya masing-masing. Aku hanya tersenyum menyaksikan perhatian mereka yang begitu besar.

Aku berpikir, mungkin kamu di sana juga mengalami hal yang sama, membutuhkan perhatian yang serupa. Aku tidak tahu, apakah di sana ada yang bisa menghiburmu semacam guru-guruku di sini? Apakah di sana ada bangku-bangku bata tempat kamu bisa termenung dan mendengar suara-suara alam? Apakah di sana ada semacam trotoar yang panjang dimana kamu bisa melepas segala beban, meninggalkan jejak-jejak dan menciptakan jejak baru?

Pujaanku, aku merindukanmu.

Meski ada yang bisa menghiburku di sini, yang paling menentramkan adalah jika kamu berada di dekatku. Bersitatap dengan belahan hati takan pernah bisa tergantikan, oleh apapun. Aku rindu kamu, Sri.

Dinihari, 02.26.


Sastrodarsono

TENTANG PUISI(KU)



puisi adalah transendensi pengalaman privat. pada mulanya boleh jadi rintihan, kesepian, atau berahi yang membuncah, tapi begitu menjelma puisi, segala durga-mula itu menjadi sublim. bukankah kita melihat dunia seperti mengintip dari lubang kunci, sesuatu yang mendekati bentuk sebuah puisi: sublimasi pengalaman renik-sederhana sebagai tata cara melihat kompleksitas mayapada?!

ekspresi puitik bisa lahir dari comberan, seperti halnya Chairil yang membayangkan tuhan saat melonte dan menyetubuhi noni-noni belanda. ia tak perlu bermaksud kudus, walau kediriannya pasca-menjadi menyerupai kekudusan yang menyegala.

sudahi semua perbincangan yang coba menyelidiki awal mula sebuah puisi atau metafor susastra. karena, tidak ada sebab tunggal yang melahirkan akibat, yang ada adalah sebab yang merupakan akibat dari musabab yang lain (circular causation).

barangkali memang tidak perlu ada tafsir tunggal atas puisi, meski setiap pemaknaan memiliki keboleh-jadiannya sendiri. persoalannya, pada apa pemaknaan itu harus menyandarkan dirinya, ketika sejarah, susastra, atau semiotik tak lagi mencukupi untuk meloloskan sebait puisi dari penjara mahatanya?


tarli nugroho

SENYAWA





kita menyatu dalam cangkir
sebagai minuman
aku bukan diriku
kamu bukan dirimu

bersenyawa,
mengada dengan melebur
sebagai bening, sebagai putih

dalam cangkir
aku menyatu bersamamu
mengudar warna dan rasa

kita melarut,
meniada dalam ada
mengada dan menjadi,
dalam cangkir


karanggayam, 30 Mei 2007

SURAT UNTUK JULIA


Julia,

Hujan telah lama lewat, tapi dingin yang dibawanya masih terus membekap. Hawa di tengah tahun ini memang mengigit. Dan hujan di ujung malam tadi telah menambah dingin pagi ini. Pagi ini juga terasa “dingin”, karena di gedung ini tinggal kamarku yang masih bersuara. Bunyi kipas menguar memecah gumpalan udara kamar yang kusewa. Aku menghidupkan radio untuk mengusir sepi, sekaligus untuk menemaniku menyusun huruf demi huruf surat ini.

Barangkali kamu sudah tenggelam di lautan mimpi, Julia, lelap bersama segenap kelelahan sisa hari tadi. Hidup memang melelahkan, selain juga menyenangkan. Karena itu nikmati saja. Toh setiap kelelahan adalah bukti bahwa kita telah menjalani hidup ini dengan sungguh-sungguh.



Ini adalah surat pertamaku untukmu. Ah, ternyata perlu banyak keberanian sekadar untuk mengirimimu surat.

Setiap kali menulis surat aku selalu membutuhkan waktu yang panjang, Julia. Orang lain mungkin akan mengira aku suka mengukir dan membedaki kalimat. Tapi tentu saja tidak begitu.

Menurutku, menulis surat kadang sebenarnya lebih banyak mirip sebuah monolog, percakapan sunyi dengan diri sendiri. Jembatan maksud dengan orang yang dikirimi surat tersambung jika si penulis surat tuntas bercakap dengan dirinya sendiri. Si penerima tinggal menangkap, menafsir, dan mengurai percakapan monologis si pengirim.

Rumit memang. Dan pada kenyataannya, menurutku, memang hanya sedikit orang yang bisa menulis surat, dan juga sedikit orang yang bisa menikmati membacanya.  

Proses percakapan dengan diri itu, ketika seseorang menulis surat, selalu membutuhkan kebisuan. Itulah sebabnya kenapa aku memerlukan waktu yang lapang untuk menatah dan menyalin huruf demi huruf percakapan sunyi itu ke dalam halaman-halaman ini. Di keheningan pagi, percakapan itu menjadi kian bening, tak direcoki suara-suara gaduh dari luar.

Dengan begitu, menurutku surat sebenarnya lebih rumit dari sebuah karya sastra. Jika para pembaca sastra memiliki kemerdekaan untuk menafsir sebuah karya, yang menyebabkan pengarang tak lagi memiliki otoritas tafsir atas karyanya, maka pembaca surat selain memiliki kebebasan untuk menafsir juga harus bisa menangkap maksud obyektif si penulis surat. Sebab, surat biasanya ditujukan untuk publik yang sangat kecil, bahkan personal, sehingga ruang tafsir obyektifnya juga terbatas. Tafsir mengenai maksud penulis barangkali tak lagi penting dalam kajian sastra, tapi masih menjadi pokok utama dalam ruang baca secarik surat.

Ah, aku sepertinya mulai melantur kemana-mana. Merumitkan hal yang tak perlu. Aku berharap kamu bisa bersabar dengan kerumitanku, Julia. Maksudku, aku sebenarnya tidak rumit. Hanya saja, sifat pemaluku sering membuat banyak hal yang mestinya sederhana jadi jatuh rumit. Kamu tentu masih ingat bagaimana aku hampir saja membakar gedung pertunjukkan tempo hari, karena kecerobohanku. Dan kecerobohan itu muncul karena ada kamu di situ. Kehadiranmu membuatku grogi, sehingga aku jadi banyak melakukan hal konyol karenanya. Bukan, bukan berarti aku menyalahkanmu untuk soal itu. Tidak begitu maksudnya. Maafkan aku.

Julia, tempo hari aku pernah menulis sebuah puisi. Aku tidak mengirimkannya kepadamu, tapi aku tahu kamu menyimaknya. Barangkali, ada baiknya surat ini dimulai dengan puisi itu.

Ah, ya, ya, ya. Tentu saja aku sudah menulis beberapa halaman surat ini, tapi aku baru saja menyebut soal “memulai”. Itulah. Bahkan, dalam menulis suratpun aku tak bisa bebas dari grogi, Julia. Seorang kawanku bahkan mencarikan sebuah istilah untuk menjelaskan hal itu: “Efek Julia”.




Dan beginilah puisiku waktu itu:

ketika aku belajar cengeng
aku menjadi angkuh
ketika aku belajar angkuh
aku menjadi cengeng
dalam setiap cengengku ada keangkuhan
dalam setiap angkuhku ada kecengengan
apakah kini aku harus belajar cengeng
karena tiba-tiba aku menyukaimu
atau aku harus belajar angkuh
karena tiba-tiba aku takut kehilangan
ada kalanya, mungkin aku harus menjadi tolol
agar tak terlalu banyak bertanya
dan bisa tenang menatap senyum manismu
setiap hari

Julia,

Sepertinya baru kemarin para fisikawan masih mempercayai determinisme Laplace: jika kita tahu posisi dan kecepatan semua partikel pada satu waktu tertentu, juga hukum dan gaya-gaya yang bekerja pada partikel-partikel itu,  maka kita akan tahu posisi dan kecepatan partikel-partikel itu di sembarang waktu di masa depan.

Tapi kini mekanika klasik itu sudah digantikan oleh mekanika kuantum. Bahkan Wolfram, juga Fredkin, sudah mendekonstruksi ulang fundamen fisika menjadi fenomena komputasi digital, tak lagi berbasiskan partikel. Dengan sendirinya, determinisme Laplace mulai disangsikan.

Kamu pasti bertanya, apa hubungan surat ini dan puisi tadi dengan pergunjingan soal fisika barusan? Ah, Julia, tolong jangan buang surat ini ke tempat sampah, hingga kamu menyelesaikannya ya. Kamu hanya perlu sedikit bersabar jika penyakit rumitku mulai kambuh.

Isi puisi tadi, Julia, sebenarnya mirip konsep dualisme gelombang-partikel dalam fisika kuantum. Ya, aku tahu kamu tidak mendapatkan kelas Fisika di Jurusan Seni. Makanya, sebisa mungkin, aku akan memberikan keterangan mengenai metafor yang kugunakan ini. Dan ya, aku memang perlu menggunakan metafor, Julia, karena aku demikian pemalu, sehingga ungkapan yang lebih verbal sering kuanggap sebagai tidak cukup sopan untuk disampaikan. Itulah masalahku selama ini. Mungkin, itu bawaan dari kultur moyangku.

Jadi, Julia, jika dalam fisika klasik gelombang dan partikel dianggap sebagai dua fenomena yang berbeda, atau dua materi yang berbeda, maka dalam fisika kuantum kita diberi tahu bahwa konsep-konsep tadi, yaitu gelombang dan partikel, dalam dunia mikroskopik sesungguhnya tidaklah terpisah satu sama lain. Sebab benda-benda yang sebelumnya kita bayangkan sebagai partikel, di dalam jagad mikroskopik kadangkala bergerak seperti halnya gelombang. Dan masalahnya, baik gelombang maupun partikel sebagai sebuah konsep mandiri, sama-sama tak bisa menjadi representasi dari materi mikroskopik tadi.



Sampai di sini, determinisme Laplace kemudian digantikan oleh azas ketidakpastian Heisenberg. Kita hanya bisa mengetahui kecepatan sebuah partikel, tapi tidak posisinya. Atau, kita bisa mengetahui posisi sebuah partikel, tapi tidak kecepatannya. Inilah dunia yang tak teramalkan, yang sekaligus menampar ambisi para fisikawan untuk menemukan basis fundamental pergerakan benda-benda, menemukan rumus bagaimana Tuhan mengatur alam semesta secara keseluruhan.

Kembali ke puisi tadi, Julia, seringkali aku menjadi orang terhukum atas sikap cengeng dan angkuh sebagaimana yang diceritakan puisi itu. Tapi aku selalu mengajukan pembelaan kepada diriku sendiri, bahwa cengeng dan angkuh tadi tidaklah seperti kelihatannya. Cengeng dan angkuh tadi mirip dengan konsep dualisme gelombang-partikel dalam fisika kuantum, dan karenanya tak bisa dipahami dengan memisahkannya satu sama lain, ataupun dengan membaurkan keduanya sekaligus. Jadi, sikap-sikap tadi tak bisa dinilai sepotong-sepotong sebagai cengeng saja, atau angkuh saja. Dan, pembauran keduanya juga tak akan memberikan penjelasan apapun. Seperti puisinya Amir Hamzah, keduanya, dan turunan-turunan dari keduanya, senantiasa “bertukar tangkap dengan lepas” secara tak berkesudahan.

Lantas, ke arah mana dualisme cengeng-angkuh tadi akan berlabuh? Mengikuti fisika kuantum, kita hanya bisa mengukur salah satu dari dua hal berikut: koordinat (posisi), atau kecepatan (arah). Dalam kehidupan nyata, hal demikian tentu saja tidak menyenangkan. Kita selalu ingin memastikan masa depan begitu kita tahu posisi kita. Tapi, fisika kuantum dengan gamblang telah memustahilkannya. Kita hanya bisa memastikan salah satunya saja. Sungguh, itu memang tidak menyenangkan.

Azas ketidakpastian Heisenberg sepertinya telah membuat masa depan jadi tidak pasti, karena dalam kehidupan nyata yang bisa kita ketahui memang hanyalah posisi kita hari ini saja. Esok pagi selalu menjadi entah.

Tapi, bukankah hidup tak bisa berdiam diri begitu saja, sekadar membunuh waktu dan menanti ketidakpastian?! Betapa tidak menyenangkannya hidup yang sekadar mengamankan kepastian hari ini bukan?! Itu sebabnya kita harus memilih, secara terus menerus. Pada akhirnya kita hanya bisa mengurangi ketidakpastian dengan melakukan tindakan praktis.

Ah, biarkan aku melantur kemana-mana dulu, Julia. Biarkan… Nanti kamu akan paham maksudnya.

Tindakan praktis yang disebut tadi itu tentunya tak boleh ajeg. Ia harus terus menerus dikoreksi, dirawat, diralat, dipertemukan dengan antitesisnya, agar keluaran dan imbasannya benar-benar mendekati kondisi ideal.  



Sampai di sini aku jadi teringat bualan Homer Graham kepada Maggie Carpenter, Julia. Aku selalu menyukai bualan romantis itu.

Aku jamin, suatu hari salah satu dari kita pasti akan pergi
Aku jamin, suatu hari salah satu dari kita pasti akan menyakiti
Aku jamin, suatu hari salah satu dari kita tak lagi menyenangkan
Tapi aku jamin, aku akan sangat menyesal kalau saat ini tak menyampaikan bahwa aku sungguh-sungguh mencintaimu

Barangkali, itulah tindakan praktis untuk mengurangi ketidakpastian, menyederhanakan probabilitas, dan bersiasat terhadap kemaha-entah-an dalam hidup.

Itu adalah ekspresi rasa paling natural. Keinginan dan kepasrahan dihadirkan secara bersamaan, jujur dan bersahaja. Tak ada tendensi untuk bisa meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan, meski mimpi-mimpi tentang hari esok tak pernah diberangus. Mimpi-mimpi itu malah selalu mendapat tempat terhormat. Posisi manusia sebagai subyek yang berkehendak tak dibelenggu oleh azas ketidakpastian. Sebaliknya, tak ada tendensi bahwa semua kehendak tadi akan mewujud. Menurutku, itu imajinasi yang masuk akal sekaligus indah.

Barangkali, menyambung percakapan kita dalam seminar tentang mimpi tempo hari, kenapa kenyataan dianggap oleh banyak orang kalah eksotis dibanding mimpi—yang telah membuat orang-orang tak mau melepas mimpi-mimpinya untuk ditukar dengan kenyataan, adalah karena begitu mimpinya menjadi kenyataan, maka dia menyudahi sama sekali proses bermimpi. Saat itulah kehidupan, dan bukannya kenyataan, menjadi tidak menarik lagi.



Artinya, setiap orang pada dasarnya harus menyiapkan diri untuk bisa menggapai mimpinya, dan sembari mimpi-mimpi itu merangkak mendekati atau menjauhi kenyataan, dia harus bisa me-reka mimpi lain, untuk tetap tak kehilangan keindahan hidup pasca-tercapainya kenyataan, atau—jika yang terjadi sebaliknya—agar tak terluka karena kegagalan merengkuh apa yang diinginkan.

Jadi, Julia, ringkasnya begini. Menurutmu, apakah aku bisa mengajakmu makan malam akhir pekan ini? Hanya kita berdua saja, tanpa rekan-rekan yang lain. Di kedai dekat alun-alun itu. Aku ingin bicara mengenai posisiku. Selebihnya, entahlah, aku juga tak tahu. Aku menuliskan dan melakukan semua ini dengan risiko segera kehilanganmu, seperti bunyi puisiku.

Ah, entahlah… Stop berpikir! Yang jelas, kita ketemu saja nanti.


Sosrokartono