Senin, 06 Maret 2023

PERTEMUAN

 

























mengapa begitu lama aku menemukanmu
teronggok sendirian di pojok berdebu
harusnya aku tau sejak dulu
kalau kau tak sejauh itu

aku sudah lelah mencarimu
jadi tak perlu lagi basa-basi itu

malam ini, maukah kau mampir ke kamarku
untuk menikmati secangkir kopi dan penyesalan
tentang mengapa kita begitu lama dipertemukan

Old Town, Jenewa, 25 Oktober 2016; 16.50

BUSA


"Kenapa kamu tak pernah beranjak?"

Perempuan itu bertanya sembari mencuci piring bekas makan malam.

"Apa yang pernah terjadi sebenarnya bisa membuatmu berada di tempat yang jauh, kini."

Ia berhenti sejenak, lalu menatap lelaki yang duduk di meja makan.

"Aku ingin memperjuangkanmu," ujar si lelaki, sembari membawa bekas gelas minumnya, menghampiri perempuan semampai berkaos putih itu.

"Kenapa kamu masih memperjuangkanku?"

Perempuan itu terus mencuci.

"Karena kamu adalah perempuan yang layak diperjuangkan," ujar si lelaki. Dia mengambil spons, lalu mencuci gelasnya sendiri.

Perempuan itu menatap lelaki yang kini berdiri di sampingnya. Masih dengan busa yang menggelembung di tangannya, ia mencubit lelaki itu. Tak ada suara. Hanya keran air yang menyala. #nunpoem

Sanur, 18 Juni 2014

BEDAK-BEDAK MAHAL



















"Sebenarnya kamu lebih suka aku berdandan, atau tampil apa adanya?" tanya perempuan itu, sembari merapikan bulu matanya.


Lelaki itu, yang duduk di tepi jendela, menurunkan koran yang sedang dibacanya. Dahinya sedikit mengernyit.

"Kamu ingin jawaban jujur, atau jawaban yang menyenangkan?!" ia balik bertanya.

"Jawaban jujur," ujar perempuan itu.

"Oh, kalau jawaban jujur, aku tentu lebih suka saat kamu sedang tidak memakai apa-apa," jawab lelaki itu.

Perempuan itu melemparkan pensil alis ke arah lelaki itu.

"Kamu tuh," ujarnya, sembari terkekeh. "Ayolah, aku ingin mendengar pendapatmu," rajuknya kemudian.

Lelaki itu menarik nafas sebentar.

"Kamu tahu, terlalu cantik kadang tidak bagus untuk perempuan."

"Kenapa begitu?"

"Karena terlalu cantik bisa menghambat perkembangan, atau menutupi hal-hal menarik lainnya yang bisa dimiliki seorang perempuan," ujar si lelaki, sembari mendekati perempuan itu.

"Misalnya?"

"Misalnya selera humor. Bedak-bedak mahal itu jelas telah membuat selera humormu jatuh merosot," kata lelaki itu, sembari memeluk perempuannya.

"Oya?!"

"Ya! Padahal, aku lebih suka melihat gaunmu yang merosot."

Perempuan itu menyikutkan lengannya. Si lelaki pura-pura mengaduh. #nunpoem

Karawang, 16 September 2021

MENUA

 





































"Kau kini terlihat tua," ujar perempuan itu.
"Maka beruntunglah aku."
"Kok beruntung?"
"Sebab, aku memang ingin menua bersamamu."
"Ah, kau..." #nunpoem

Mandaya Hospital, 6 Agustus 2021

TELANJANG


 
"Apa yang kamu pikirkan saat melihat perempuan telanjang," tanya perempuan itu.

Keduanya secara tak sengaja ketemu di depan lukisan "Five Senses", siang itu. Lukisan lima perempuan telanjang pada lima kanvas terpisah yang diselesaikan Hans Makart pada 1879. Lima lukisan itu tergantung di dinding museum Istana Belvedere yang megah.

"Telanjang cumalah seragam dalam bentuk lain saja," ujar lelaki itu.

Perempuan itu mengernyitkan dahinya.

"Berarti, bukan sesuatu yang istimewa?!" tanya perempuan itu, penasaran.

Lelaki itu melirik sebentar. Tapi pandangannya segera kembali ke dinding. Lukisan-lukisan itu sangat sensual dan dramatis, seperti karya-karya Makart lainnya, batinnya.

"Jadi, ada berapa perempuan yang pernah telanjang di depanmu," tanya perempuan itu. Kali ini ia benar-benar menyelidiki muka lelaki di depannya.

Lelaki itu menarik nafas sebentar. Ditatapnya mata perempuan itu.

"Kamu tahu, mencintai banyak orang itu mudah. Yang sulit adalah melupakan satu orang," ujarnya.

Perempuan itu mengatupkan bibirnya. Keduanya kemudian saling terdiam. #nunpoem

Jakarta-Cikampek, 1 Agustus 2021

HANTU

 



























“Aku ingin sembunyi,” ujar lelaki itu.

“Dariku?” tanya perempuan itu.

“Bukan!” jawab lelaki itu.

Ia menatap perempuan yang duduk di depannya. Setengah jam lalu tanpa direncanakan mereka ketemu di gerbong restorasi.

Sudah lebih dari lima tahun mereka tak bersitatap. Tak ada pesan pendek, atau percakapan-percakapan panjang lewat telepon seperti dulu. Keduanya bahkan tak saling berhubungan di media sosial.

“Lantas?” tanya perempuan itu lagi.

Lelaki itu mengambil nafas panjang.

“Aku ingin sembunyi dari rindu yang terus menguntitku!” jawabnya.

Keduanya saling beradu pandang.

“Berhasil?” tanya perempuan itu.

“Entahlah. Menurutmu?” ujar lelaki itu, sembari mengaduk cangkir mie instan di depannya.

“Sebenarnya apa sih yang kamu harapkan?!” tanya perempuan itu. “Maksudku, sejak dulu kamu tidak pernah mengatakan sesuatu yang jelas padaku.”

Lelaki itu menatap tajam perempuan di depannya.

“Dari dulu harapanku kan cuma satu. Dan kamu tahu itu,” ujarnya.

“Aku tidak tahu! Sejak dulu aku hanya bisa menebak-nebak isi pikiranmu,” jawab perempuan itu, sembari meraih cangkir tehnya.

Lelaki itu membuang nafas panjang.

“Harapanku sejak dulu cuma satu, Nun.”

“Dan apakah itu, Tuan Serius?” sergah perempuan itu.

“Aku berharap kamu tidak pernah ada!” jawab lelaki itu, dingin.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Ia sangat membenci percakapan-percakapan semacam itu.

“Kenapa kamu berharap aku tak pernah ada?”

“Agar kita tak pernah ketemu, sehingga kamu tak pernah menghantuiku,” ujar lelaki itu, sembari menatap perempuan di depannya.

Sinar mentari senja menerabas kaca jendela. Di luar sana terlihat beberapa truk sedang mengangkut pasir Kali Progo. #nunpoem

Karawang, 12 Maret 2021

RAYUAN KOPI























Lelaki itu terus memandangi perempuan berambut panjang yang berdiri di rak seberang. Hari itu toko buku kebetulan agak lengang. Dan di tengah deretan rak-rak buku, perempuan dengan tas selempang berwarna abu-abu itu terlihat sangat menonjol. Pandangannya tak pernah beranjak dari dari buku bersampul coklat yang ada di tangannya. Sesekali dia terlihat menggigit-gigit jarinya. Sepertinya, ia sedang tenggelam dalam buku itu.


Sesudah beberapa lama, lelaki itu berjalan mendekat. Agar tak mengejutkan perempuan itu, ia berdehem kecil.

"Banyak temanmu di kampus menyebutmu gadis yang pintar?" ujarnya, membuka obrolan.

Perempuan itu mendongak. Ekspresinya sedikit kaget.

"Sepertinya memang begitu," balasnya, dingin.

Ia segera kembali ke buku di tangannya.

"Kalau begitu, kamu pasti mau kutraktir secangkir kopi di kedai bawah?" tanya lelaki itu.

Perempuan itu kembali mendongak. Kali ini dia tersenyum.

"Terima kasih. Aku sedang asyik dengan buku ini," ujarnya, sopan.

Lelaki itu segera mengernyitkan dahinya.

"Oh... Berarti teman-temanmu pasti keliru. Ternyata kamu tak sepintar itu," ujarnya, sembari ngeloyor pergi.

Mendapat respon demikian, perempuan itu tentu saja melongo. Untuk beberapa saat dia masih terlihat kaget memandangi lelaki yang baru saja menyapanya.

"Heiii... Tunggu!" ujarnya, kemudian.

Ia segera mengembalikan buku yang dipegangngnya ke rak dan bergegas mengejar lelaki itu. #nunpoem

Karawang-Tendean, 31 Januari 2021