Minggu, 04 Mei 2014

WANAGALIH, SUATU KETIKA


Surau itu tegak menghadap sungai. Temboknya berkapur putih dengan lantai karpet. Tiga puluh tahun lalu ia masih cukup banyak dikunjungi anak-anak dan muda-mudi. Mereka menjadikannya tempat berkumpul tiap sore. Kampung itu memang tak begitu besar. Jalan-jalannya masih belum dikeraskan. Pada hari raya, kalau tak hujan, semua anak-anak dan muda-mudi, termasuk dari kampung sebelah, berkumpul di surau. Mereka bergembira. Anak laki-laki itu termasuk yang paling gembira jika hari raya tiba. Bukan karena puasanya tamat, tapi dia akan bisa banyak bercakap dengan gadis pujaannya hari itu, di teras rumahnya yang berpunggungan dengan surau. Dia akan disuguhi banyak kue-kue olehnya, lebih dari teman-temannya yang lain, dan mereka akan saling bercerita sampai larut. Bukan kue-kue itu yang menyenangkannya, tapi percakapan itu yang membuatnya bertenaga. "Aku menyebut namamu, kamu menyebut namaku," begitu janji keduanya waktu itu.

KEGILAAN


Sedikit kegilaan akan membuat hidup kita jadi lebih berwarna, tak lagi hitam putih sebagaimana didefinisikan akal sehat yang penuh perhitungan dan kategori. Hidup dalam kenyataannya memang tak selalu bisa dipandu akal sehat. Sesekali, biarkan alam memandu hidup kita. Dan selebihnya, biarkan Tuhan ikut campur dalam caranya yang muskil.

EUPHORBIA



Euphorbia itu telah mati, pada musim kering tiga tahun lalu. Seeokor kucing telah menjatuhkan potnya malam itu. Kubiarkan ia mengering, melapuk, dan tergerus di halaman. Aku takut terlihat terlalu mencintainya. Durinya, yang sering melukai tanganku, menjadi saksi kalau aku tak pernah membencinya. 

‪Yogya, 30 Maret 2014

RETAK


"I feel I was never able to forget anyone I've been with because each person has their own specific qualities. You can never replace anyone. What is lost is lost. Each relationship, when it ends, really damages me. I haven't fully recovered. That's why I'm very careful with getting involved, because... it hurts too much!" Itu penggalan percakapan dari sebuah film paling brengsek yang sulit dilupakannya. Jika mendengarnya di film, orang paling akan merogoh lebih dalam kantong popcorn, atau menyedot lebih kuat cangkir minuman ringan. Tapi jika seseorang mengatakannya kepadamu dalam kehidupan nyata, yang paling mungkin dilakukan adalah menarik nafas dalam-dalam atau melempar asbak keluar jendela.

MENJAUH





Terminal tak pernah bisa membawaku menghindar
stasiun tak pernah bisa membawaku pensiun
pelabuhan tak pernah bisa membawaku terjauhkan
dan bandara tak pernah bisa membawaku mengembara
Sungguh... 
aku tak pernah bisa berhenti untuk selalu kembali kepadamu...

Stasiun Tugu, 25 April 2014

MENDENGARKAN

 
"The first duty of love is to listen," kata Paul Tillich. Mungkin begitu. Mencintai adalah kesediaan untuk mendengarkan. Termasuk kesediaan untuk mendengarkan apa-apa yang sesungguhnya tak ingin kita dengarkan (termasuk yang menyakitkan?). Tapi siapa yang harus mengengarkan lebih dulu, dan bilamana? Ah, barangkali Rumi benar, "Lovers are patient and know that the moon needs time to become full.”

Jumat, 02 Mei 2014

GERIMIS


Sebuah perpustakaan sama seperti labirin. Rumit, penuh dengan lorong-lorong dan anak tangga. Dan sebuah labirin bisa menyenangkan atau membingungkan, dan bahkan mematikan. Menyenangkan, karena di sinilah avonturisme bisa dijejalkan ke segala pintu. Namun menjengkelkan setengah mati jika terlunta di dalamnya. Sebuah dunia tak berujung ada di sini. Misteri dan jawaban hadir dalam wajah paling ekstrim. Dan itu sangat tidak menyenangkan untuk sepenggal hidup yang terbatas.

Aku keluar dari perpustakaan dengan pikiran menjuntai. Langit seperti berada tepat di atas kepala, seakan hendak menelan sekujur tubuhku. Agaknya Tuhan ingin menunjukkan otoritasnya, bahwa aku hanya sekadar mahluk kecil tak berkuasa di muka bumi ini. Dan labirin yang dicipta Tuhan jauh lebih rumit dibanding labirin yang tercetak pada lembaran-lembaran kertas yang bertumpuk di perpustakaan.

Ya, setiap kali keluar perpustakaan aku akan selalu merasa bahwa langit memang seperti tepat berada di atas kepalaku. Dan Tuhan akan selalu menang dengan ejekan yang membungkam, “Labirinku jauh lebih rumit dibanding yang barusan kau jelajahi.” Dan aku akan selalu mengangguk. Entah, mungkin lebih karena lelah. Meski, kadang pada sela-sela yang hanya sedikit kumiliki, aku berpikir Dia sedang mengajakku berdialog bahwa jangan habiskan hidupmu hanya untuk menebalkan kulit di bagian pantat. Aku lalu akan tersenyum, sebelum tenggelam dalam bantal dan selimut.

Lampu-lampu jalan sudah lama menyala. Langit agak mendung. Pandangku terbatas pada beberapa meter ke depan. Bukan hanya pantatku yang menebal, ternyata. Gelas pipih di depan mataku juga ikut menebal. Tak lagi bisa kunikmati pemandangan sintal para karyawan bank di seberang sana.

Gerimis jatuh satu-satu. Aku mengumpat. Tubuh letih ini harus berlari-lari kecil ke halte. Mataku jadi berkunang-kunang. Aku jadi ingat sudah beberapa bulan ini tak pernah berolah raga. Tubuh ini jadi begitu renta.

Masih dengan pandangan kabur aku terduduk di kursi halte. Mataku terpejam. Alangkah enaknya jika aku sudah sampai di rumah dan berendam dalam air hangat. Sekali-kali, aku juga ingin memanjakan tubuh, bukan hanya menebalkan pantat. Aku jadi melamun.

“Mas.....” sebuah suara lirih terempas lamat-lamat. Aku masih tak sadar dengan lamunanku. Ketika suara lirih itu berulang, aku baru membuka mata. Kabur. Kepalaku masih pusing. Hanya kudapati sesosok tubuh di halte ini. Perempuan. Mataku terpicing. Perlu waktu agak lama untuk bisa memusatkan pandang. Bahkan, kini bukan hanya tubuhku yang rapuh, pandanganku pun kian tak bertenaga.

Sosok itu kukenali. Tepatnya pernah kukenali. Tepatnya lagi, itu sosok yang tak pernah ingin lagi kukenali. Lebih tepat lagi… sesungguhnya aku ingin lebih mengenalinya, semenjak dulu. Aku mendesah. Panjang.

Akhirnya aku bertemu kembali denganmu. Dunia ini sempit, ternyata. Pertemuan seperti ini terus berulang-ulang. Selalu dalam gerimis yang menggigit. Kita bertemu dalam keterbataan. Mini kata. Aku akan selalu pamit dengan salam yang juga terbata. Atau kamu akan pergi dengan senyum tipis tanpa makna. Dan semua itu menjengkelkan.




Lihatlah kini. Aku hanya bisa menatapmu yang tertunduk. Malu-malu. Pipimu merah. Semerah ketika kupernah mengecupmu malam itu. Tempo hari. Aku sudah lupa. Juga semerah pipiku ketika kau berikan surat itu dan aku marah besar.

Kenapa kita bisa mengingat masa lalu tapi tidak bisa mengingat masa depan? Kerucut masa lalu itu masih kuingat dengan koordinat-koordinatnya. Ini seperti fisika yang memusingkan. Dan kini aku sedang berada pada ujung kerucut masa lalu dengan masa depan. Dan aku sama sekali tidak tahu pada koordinat mana masa depanku saat ini, ketika bertemu kembali denganmu. Aku seperti masuk ke dalam labirin kembali. Dan Tuhan tentu tertawa lebar. “Labirinku lebih rumit lagi, bukan!?” selorohnya.

Kamu makin tertunduk. Tidak. Aku tidak menyalahkanmu. Ada banyak hal yang tidak bisa kita pahami memang, meski kadang kita jumawa dengan menganggap telah mengerti suatu persoalan. Dan aku juga mungkin tak memahamimu, sama seperti kamu tak memahami merahnya mukaku hari itu. Tidak. Aku juga tidak membencimu, meski kadang aku membenci kepura-puraanmu.

Labirin ini memusingkan. Aku tak tahu bagaimana tepatnya pikiranku saat ini. Aku kini sedang belajar, sama seperti isi suratmu tempo hari. Aku sedang belajar berpaling. Melupakanmu. Meski aku tak berpikir aku bisa.

Gerimis makin deras. Lamat-lamat aku teringat pada sepenggal puisi yang pernah kutulis, bertahun-tahun silam…

lupa itu mudah, Sayang
hanya secarik halaman kosong
dalam buku hidupku

menyobek halaman itu mudah
tinggal berpaling, dan seribu halaman lain berhamburan
hanya, satu yang sulit
membuat halaman baru yang berarti…