Air mata, menurut Paulo Coelho, adalah kata-kata yang
merajuk minta dituliskan. Jadi, sudah berapa banyak tulisan dari air
matamu, Nun? #nunpoem
Rabu, 17 September 2014
#NUNPOEM 05
Pagi selalu bikin sakit hati. Ia cuma singgah sebentar. Mencuri rindu yang gentar. Ah, aku ingin pagi sepanjang hari. Agar anak-anak bisa berlari, dan kita tuntaskan nyeri, Nun. #nunpoem
#NUNPOEM 04
Menulis, meminjam Irish Murdoch, itu seperti menikah,
katanya. Seseorang tak boleh memberikan komitmennya sebelum ia
mendapatkan keberuntungan yang membuatnya terpana. Ah, itu pula alasanku
menikahimu, Nun. Menikahimu lewat puisi. Sebab kau selalu membuatku
terpana. Darimu aku mendapat banyak anak kata-kata. #nunpoem
#NUNPOEM 03
Matamu tingkap. Senyummu lindap. Tuturmu rancap. Hati dan hadirmu cangkat, singkat. Tapi, kasihku penad, Nun. #nunpoem
#NUNPOEM 02
Dinihari. Hujan puisi. Kata-kata tumpah. Ingatan basah. Harapan menggenang. Doa-doa mengalir. Ah, masih kuingat cahaya di situ matamu, pada tepi subuh itu. Orang-orang bergegas ke masjid. Kita menandaskan sahur. Seperti pernah kutulis, keadilan adalah dinihari, ketika gelap telah tergelincir, namun fajar belum menyingsing. Dan seperti pagi di pinggir jembatan itu, dinihari ini masih kusebut namamu, dari atas tikar ini. Nun... #nunpoem
#NUNPOEM 01
Kopi yang puitik harus diseduh dengan perasaan yang tak terlalu mendidih, Nun. Jika terasa pahit, tambahkanlah dua sendok kebijaksanaan. Hidangkanlah segera ketika aroma kasih sayangnya masih mengepul. Sebab, kopi yang dingin tak lagi menarik. #nunpoem
/13/ POESIKU
/13/ "Aku memikirkan omonganku kemarin," perempuan itu membuka percakapan. Hari itu matahari bersinar terik sekali.
"Soal?" tanya lelaki di sampingnya. Mereka duduk di tepi danau kecil. Pohon-pohon rindang melindungi keduanya dari terik siang itu.
"Soal bahwa kamu adalah pohon besar dan rindang bagiku." Ia mengatakannya sembari melempar beberapa batu kecil ke tengah danau.
"Itu membuatku selalu mengetahui bahwa selalu ada tempat yang teduh untukku. Dan kenyataannya, aku selalu kembali kepadamu."
Dua ekor tupai berlairan di sebuah dahan. Sepertinya asyik sekali. Lelaki itu tak melepaskan pandangannya pada dua tupai itu.
"Tapi aku juga heran," lanjut perempuan itu, "kenapa kita selalu saja ketemu persoalan yang akan membuat percakapan-percakapan ini datang dan pergi berkali-kali, dalam jeda yang tak tentu, yang kamu sebut sebagai perpisahan-perpisahan itu?!"
Lelaki itu menatap perempuan di sampingnya. "Sepertinya aku tahu kenapa," jawabnya.
"Kenapa?"
"Karena aku terlalu mencintaimu."
"Apa hubungannya?"
"Karena aku terlalu mencintaimu, maka Tuhan jadi cemburu. Makanya Ia berkali-kali berusaha menggagalkan hubungan kita," lelaki itu mengatakannya sembari terkekeh.
"Ah, kau..." perempuan itu tersipu. "Makanya, mbok biasa saja kau mencintaikunya," terusnya manja.
"Aku bahkan punya pilihan yang lebih baik."
"Apa?"
"Tadi malam aku sudah memutuskan. Agar Tuhan tak lagi cemburu, maka aku ingin berhenti mencintaimu." Lelaki itu kini terbahak.
Perempuan itu memberinya sebuah tinju di pundak. Kini giliran dua ekor tupai di atas dahan yang menonton dua orang itu. Hening. Hanya suara dedaunan bergesekan ditiup angin. #poesiku
Langganan:
Postingan (Atom)