/12/ "Aku selalu menikmati perpisahan-perpisahan kita." Lelaki itu
mengatakannya sembari menggeser tumpukan buku di atas meja ke tepi. Kini
tak ada lagi buku di antara keduanya, dia dan perempuan itu. Hari telah
merambat petang. Lampu-lampu mulai dinyalakan.
"Kok? Aneh." Perempuan itu mengernyit.
"Setiap percakapan-percakapan puitik, barangkali memang harus diakhiri dengan tragik."
Ia, lelaki itu, memandang sekeliling ruangan. Hanya tinggal meja-meja
dan kursi-kursi serta mereka berdua. Tepatnya, bertiga. Seorang lelaki
kurus dengan rambut panjang, yang duduk di pojok belakang ruangan, sudah
mulai membereskan tasnya. Ia segera pulang.
"Apakah perpisahan kita selalu tragis?! Setragis itukah, menurutmu?" perempuan itu menyelidik.
Lelaki itu menatap perempuan di depannya.
"Entahlah. Menurutmu?" ia balik bertanya.
Perempuan itu mengernyitkan dahinya, mengingat-ingat.
Mereka duduk di sebuah meja besar di tepi jendela. Saat pagi, meja itu
selalu bermandikan cahaya. Namun, ketika menjelang petang, itu menjadi
meja paling teduh di ruangan itu. Di balik dinding sebelah, deretan
rak-rak buku nampak berdebu.
"Mmm... aku tak pernah mengingatnya dengan baik," perempuan itu mengatakannya sembari mengerling dan tertawa kecil.
Lelaki itu menekuk mukanya. Kali ini cukup lama ia memasang ekspresi itu, sembari melempar pandang keluar jendela.
"Lha, kok ngambek? Cepet tua lho nanti," ujar perempuan itu, manja. Tak berhasil.
Lelaki itu masih saja diam. Ia duduk mematung dengan pandangan masih
keluar jendela. Di bawah sana, trotoar sudah dipenuhi warung-warung
lesehan.
Perempuan itu mengibas-ibaskan tangannya di depan
muka si lelaki. Tapi ia tetap tak terpancing. Perempuan itu kemudian
terdiam.
"Aku tidak pernah bisa mengingat
perpisahan-perpisahan kita, karena kamu adalah sebuah pohon besar yang
rindang." Perempuan itu menarik napas.
"Kemanapun aku pergi,
atau dimanapun aku tersesat, aku tak pernah bisa lepas dari bayanganmu.
Termasuk setahun terakhir kemarin."
Kali ini lelaki itu menengok. Ia menatap perempuan di depannya.
"Jadi, itu yang membuatku tak pernah punya ingatan pernah berpisah
darimu." Perempuan itu memilin-milin tali tasnya. "Terdengar gombal ya.
Tapi aku memang tak pernah memiliki ingatan itu."
Lelaki itu hanya menatap lekat perempuan di depannya. Hening.
Mungkin, meminjam Subagio, itu keheningan yang mengandung bicara.
Sebab, ketika adzan Maghrib mengalun dari masjid di seberang jalan,
perempuan itu segera memberesi buku di atas meja tadi dan memasukannya
ke dalam tas lelaki di depannya.
Hingga ketika mereka
sama-sama turun ke mushala kecil di lantai bawah gedung, lelaki itu
masih saja diam. Baru ketika keduanya sama-sama keluar dari tempat
wudhu, yang tak berjauhan, lelaki itu berdiri tertegun. Ia menatap
perempuan itu dengan seksama.
Perempuan itu bingung. "Ada apa?" tanyanya. Tapi pertanyaan itu tak keluar dari mulutnya, tapi melalui sebuah kode di mukanya.
"Aku jatuh cinta pada air wudhu yang jatuh di dagumu." Jawaban itu
dituliskan lelaki itu pada secarik kertas. Ia memberikannya kepada
perempuan itu setelah mereka selesai shalat. Perempuan itu tersenyum.
Hari merambat malam. #poesiku
seperti dedaunan
hidup tumbuh berguguran
patuh pada cinta
dan duka yang bertukaran
namun, pada ranting ditinggalkan
ada janji daun
tentang kematian yang menghidupkan
mereinkarnasi kesuburan
pada daun yang gugur
ranting hanya bisa tertunduk
dengan kepedihan yang rimbun
menunggu janji daun
Yogyakarta, 30 Agustus 2014—mengenang guru pohon, profesor suhardi
Hujan ini telah kehilangan alasan
setelah ditinggal awan hitam
dan angin yang membetot dedaunan
Ia hanya bisa terkapar
di tengah aspal dan trotoar jalan
tak sanggup menggapai selokan
apalagi lautan
Hujan ini telah kehilangan alasan
setelah ditinggal guruh yang menggeram
dan petir yang mengancam
Ia hanya bisa menggenang
di pojok halaman basah
tak sanggup menyusup tanah
apalagi menyantuni akar
Hujan ini telah mati di jalan, Nun...
Yogya, 23 Juli 2014
"Cintaku adalah sedekah, kamu tidak harus membalasnya," kalimat tatag
itu meluncur dari mulut lelaki itu. Senyumnya teduh, tak lagi penuh
gairah seperti sebelumnya. Perempuan di depannya menatap tajam. "Apa
yang kamu lakukan?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
"Aku melakukan semua yang kuucapkan. Termasuk yang barusan kamu dengar,"
jawab lelaki itu mantap. Perempuan itu terdiam sejenak. "Apa yang kamu
harapkan dari semua ini?" tanyanya kemudian. "Seperti semua sedekah,
saya hanya ingin memberikannya, yang dalam hal ini hanya akan saya
berikan padamu saja, dan tidak berharap balasan apa-apa, dari apapun,
atau siapapun, termasuk darimu." Lelaki itu mengucapkannya sembari
tersenyum. Nada kalimatnya pasti. Sepertinya dia tahu betul apa yang
diucapkannya.
"Apa kamu yakin?" perempuan itu seperti tak percaya.
Lelaki itu tersenyum. Tangan kanannya ia tempelkan di dada. "Dengan sepenuh hati."
"Tapi untuk apa kamu melakukan semua ini?" perempuan itu mengulangi
pertanyaannya. Ia seperti ingin mencari sesuatu yang diluputkannya.
"Kenapa kamu seperti keberatan, padahal aku kini tak lagi mengharapkan apapun darimu?" kali ini lelaki itu yang balik bertanya.
"Kauuuu..." perempuan itu setengah berteriak. Ketika sadar bahwa pengunjung lain menengok kepadanya, ia menundukkan kepala.
"Kenapa kamu mengubahnya menjadi sedekah?" tanya perempuan itu lirih, setelah amarahnya reda.
Lelaki itu menatapnya dalam. Ia tak menyangka reaksi perempuan itu,
yang biasanya tenang jika di depannya. "Cintaku adalah sedekah, karena
tak ada yang mengharuskan aku mencintaimu. Jika ada yang
mengharuskannya, namanya mungkin 'zakat cinta', bukan lagi 'sedekah',"
lelaki itu mengucapkannya sembari terkekeh.
"Kalau kamu menjawab seperti itu, aku bisa melempar asbak ini padamu," perempuan di depannya kembali memasang muka marah.
"Aku mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak tahu darimana cinta ini
datang. Aku tidak pernah mengundangnya, atau memintanya. Aku hanya
tiba-tiba memilikinya, dan aku ingin memberikannya kepadamu, karena aku
memang sungguh-sungguh mencintaimu." Lelaki itu mengakhirinya dengan
sebuah desahan. "Tapi kamu tidak pernah menghiraukannya."
"Kamu kan tahu sendiri situasiku sebelum ini?" perempuan itu menjawab dengan nada tinggi.
"Aku tahu, dan aku juga tahu bahwa aku tak pernah tahu hingga kapan
kamu akan mengurung diri dalam situasi itu." Lelaki itu menarik badannya
ke belakang, seperti ingin melemaskan sesuatu. "Jadi, aku ingin
bersedekah saja kini."
"Kamuu..." perempuan itu melemparkan sepotong batu es kepada lelaki di depannya.
Lelaki itu terhenyak. "Kenapa kamu marah padaku? Bukankah mestinya kamu
senang? Kamu tidak pernah kehilangan cintaku, tapi kini kamu tak lagi
harus membalasnya. Bukankah kamu sangat beruntung?" kali ini lelaki itu
meninggikan suaranya.
Perempuan itu mengepalkan lengannya. Dia
seperti ingin memukul lelaki di depannya. Sepertinya dia marah sekali.
Mukanya merah. "Kamu tega sekali mengatakan itu."
"Kenapa memang?"
"Kamuuuu...."
Lelaki itu diam. Dia mencoba memahami perempuan di depannya. Agak lama keduanya terdiam.
"Kamu kini tahu kan bagaimana rasanya tak lagi diharapkan, meskipun
oleh orang yang masih mencintaimu," lelaki itu angkat bicara. Dia
mencoba membaca pikiran perempuan itu. "Mestinya kamu juga bisa
membayangkan bagaimana rasanya tak diharapkan oleh orang yang telah kau
santuni dengan kasih."
"Jadi kamu ingin membalasku?" perempuan itu setengah berteriak.
"Bagaimana aku bisa melakukannya, sedangkan aku tak pernah berhenti
mencintaimu?" lelaki itu juga setengah berteriak. Keduanya tak lagi
peduli dengan sekitarnya.
"Berhenti! Cukup!" Perempuan itu mulai berurai air mata. Keduanya kini tertunduk.
Setelah beberapa saat, lelaki itu meraih tangan perempuan di depannya.
"Kamu tahu, tentu saja aku lebih suka jika kamu bisa membalas cintaku.
Tapi kamu tak pernah melakukannya. Jadi, aku kemudian berpikir untuk
menyedekahkannya saja padamu. Itu kulakukan semata untuk mengurangi
luka." Mata lelaki itu nanar.
Perempuan itu menghapus air
matanya. Ia menatap lelaki di depannya. Tangannya kini balik menggenggam
tangan lelaki itu. "Berhentilah saling menyakiti," pintanya. Dia
menatap mata lelaki itu. "Kamu tahu, akupun sebenarnya..." perempuan itu
tak meneruskan ucapannya. Telunjuk lelaki itu menempel di bibirnya.
"Aku tahu," balas lelaki itu. "Aku kini mengetahuinya."
Dedaunan berguguran di luar jendela. Musim hujan memang segera datang.
hidup ini seperti dedaunan gugur
ia bereinkarnasi pada tanah yang gembur
di basah hujan, darma ditunaikan
kembali, berulang-ulang
kita mungkin kembali hidup
pada satu dahan, seperti sebelum ini
saling bergesekan,
berbagi embun pagi
duh gusti...
tapi darma kemudian
mungkin melibatkan hukuman
kamu tumbuh di dahan ini,
sementara aku di pohon sana
kita hanya bisa bersitatap dari kejauhan
sesekali bertukar pesan
melalui kupu-kupu yang hinggap
atau lebah yang singgah
karena sebelum mengering
kita jadi saling mendiamkan
itu sebabnya, aku tak pernah berhenti
menuliskan pesan ini
aku ingin tumbuh dan melapuk bersamamu
nuunn...
Yogyakarta, 18 Juli 2014
Brahma itu dewa pencipta, ia berpasangan dengan Saraswati, dewi ilmu
pengetahuan. Penciptaan dan pengetahuan memang seperti dua sisi mata
uang. Wisnu adalah dewa pemelihara, ia berpasangan dengan Laksmi, dewi
kemakmuran dan kesuburan. Dalam kepercayaan Hindu Dharma, Dewi Laksmi
mewujud menjadi Dewi Sri. Kita memang hanya bisa memelihara semesta
dengan menjaga kemakmuran dan kesuburannya. Syiwa adalah dewa pelebur,
perusak, pencipta equilibrium baru, ia berpasangan dengan Durga, dewi
kasih sayang. Ya, kita hanya bisa menciptakan keseimbangan (baru)
melalui kasih sayang, dengan jalan melebur semua hal buruk dan jahat.
Jadi, Ratih, sudahkah kau bersama Kamamu?
Yogyakarta, 17 Juli 2014
Hujan
adalah jarak antara mendung dengan halaman basah. Tapi malam ini, hujan
adalah jarak antara pertemuanku denganmu dengan kerinduan yang enggan
ditidurkan ini.
Yogyakarta, 13 Juli 2014