Rabu, 01 Maret 2023

#NUNPOEM 21

 


ARKEOLOVE: Orang yang pekerjaannya mengekskavasi masa lalu, lapis demi lapis, untuk menemukan artefak-artefak kenangan yang dianggap masih berharga untuk masa kini. #nunpoem

Jakarta, 3 Maret 2016 

#NUNPOEM 20

 


Tersedak oleh ampas kenangan dari secangkir kopi yang mendingin diam-diam. Tapi, meski tak lagi hangat, secangkir kopi selalu setia kepada pagi, Nun. #nunpoem

Yogyakarta, 26 Maret 2015

Senin, 13 April 2015

EUPHORBIA



Sebuah ketukan kecil mampir di daun pintu. Ketika kualihkan pandangan ke arah luar, seorang perempuan sudah berdiri mematung di sana. Pintu itu memang sudah kubuka sejak pagi, untuk mengurangi pengap. Aku pasti terlalu asyik dengan pekerjaanku, sehingga tidak menyadari kehadirannya. Mungkin saja dia sudah lama berdiri di sana.

Ketika dilihatnya aku tersenyum, dia segera datang menyongsong dan mengambil kursi di dekatku.

Kututup boks plastik transparan yang sudah penuh terisi buku itu. Untuk memindahkannya ke lantai, menyatukannya dengan boks-boks lain di sudut ruangan, cukup menguras tenaga. Itu sebabnya, meski tak asing dengan pekerjaan itu, aku begitu benci masih saja harus ketemu ritus menyebalkan semacam itu.

“Kok tidak mengabari jika ada di sini?” tanyanya. Mukanya tertekuk.

Aku tak langsung menjawab pertanyaannya. Setelah memindahkan boks tadi, aku kembali duduk di kursi. Meja besar itu masih berisi serakan buku. Dulu, selain digunakan sebagai meja makan, meja itu memang sering digunakan sebagai meja kerjaku. Letaknya yang persis di ruang tengah, yang dekat dengan pintu depan dan dapur, membuatnya strategis. Karena ukurannya yang lebar, aku bisa bekerja dengan banyak buku di meja itu.

Kutatap matanya. Lekat.

“Apakah itu masih perlu?”

Dia menarik nafas mendengar jawabanku.

“Kamu masih marah padaku?” tanyanya.

Akupun menarik nafas.

“Bukankah aku yang mestinya bertanya begitu?”

Dia terlihat mencoba menahan diri. Baguslah, pikirku. Dia memang harus banyak belajar menahan diri.

“Kamu yakin ingin pindah dari kota ini?” dia kembali bertanya.

Aku tatap matanya dalam-dalam. Dia memang ingin tahu.

“Bukankah dalam beberapa tahun ini aku secara riil tak lagi tinggal di sini?”

Aku mengulurkan secangkir teh ke hadapannya. Entah kenapa aku mengganti isi ceret itu tak dengan kopi pagi itu. Mungkin sudah firasat.

Perempuan itu tersenyum, lalu mengambil sebuah stik gula yang memang selalu tersedia di atas meja. Dia mencoba menikmati satu dua teguk, sebelum kemudian melempar kembali pandangannya padaku.

“Maksudku, kamu kan bisa hanya cukup di sana untuk bekerja saja, sementara untuk tinggal, ya tetap di sini,” ujarnya.

Aku menarik nafas.

“Aku butuh alasan untuk terus tinggal. Dan alasan itu tetap gagal kuperoleh dalam beberapa tahun terakhir,” ujarku datar.

Dia terlihat menggigit bibirnya. Untuk sesaat kami terdiam. Aku meraih cangkir tehku. Kulihat dia menarik nafas dalam-dalam.

“Bagaimana jika aku datang untuk memberimu alasan?” ujarnya.

Aku tersedak. Segera kulempar pandangan keluar pintu. Euphorbia mili berbunga merah muda menyambut pandanganku. Aku meletakannya dalam pot di ujung teras, di bawah kerai yang menjadi pelindung agar sinar matahari pagi tak terlampau menyilaukan.

Meski rumah ini jarang kutengok, tanaman dalam pot besar itu tak tampak layu. Aku membeli tanaman itu di depan kebun binatang, sebagai pengganti atas tanaman sejenis yang pernah diberi seseorang. Ya, seseorang yang kini duduk di tepi meja sembari menatapku. Dia memberiku euphorbia dalam pot kecil sembilan tahun lalu.

Aku selalu merawat tanaman itu, sampai sebuah insiden kecil membuatku tak bisa mempertahankannya. Itu sebuah kerumitan yang tak bisa kuceritakan.

Sembari menarik nafas kutatap wajahnya.

“Apa bedanya…”

Please, cukup!” tukasnya.

Aku tak meneruskan omonganku.

“Jangan lagi bertanya. Ada kalanya kamu harus berpikir bahwa banyak bertanya itu tak perlu. Dan peringatan itu juga berlaku untukku sekarang,” ujarnya.

Aku tersenyum kecut mendengarnya. Kembali, kutatap dia dalam-dalam, mencoba menyelidik. Dia mengatakannya dengan sungguh-sungguh.

Aku kembali menarik nafas. Hidup ini memang penuh teka-teki.

Segera kulihat air mukanya memerah. Nampak dia berusaha betul mengendalikan emosinya. Itu pemandangan yang membuatku tak tahan.

Segera kuseret kursiku. Kuraih tangannya. Lembut. Dia menatapku lekat. Aku kenal tatapan itu. Bukan, itu bukan tatapan yang terakhir kulihat beberapa bulan silam, ketika aku akhirnya berani memutuskan untuk mulai mengepak buku-bukuku. Itu tatapan yang berbeda. Tatapan seorang perempuan yang minta perlindungan.

Kupegang kedua tangannya, lalu kutarik dia ke pangkuanku. Dia tak menolak. Perempuan itu menyandarkan kepalanya di dadaku. Ketika dia memalingkan mukanya, jarak pandangan kami begitu dekat. Sangat dekat.

“Jangan pergi,” pintanya. Aku bahkan bisa merasakan dengus nafasnya.

Aku tersenyum. Kukecup hidungnya.

“Kamu tahu, sejak dulu aku tak pernah bisa pergi darimu,” ujarku.

Dia tersenyum.

“Tapi aku tetap harus mengepak buku-bukuku,” ujarku.

“Kok?”

Mendengar itu spontan dia menjauhkan tubuhnya. Tapi aku segera merengkuhnya kembali. Erat.

“Aku memang harus mengepak buku-bukuku. Bulan depan kontrakan ini habis dan tidak bisa diperpanjang lagi, karena mau dijual pemiliknya. Sayangya, saat ini uangku masih tak cukup untuk membelinya. Jadi, apakah kini rumahmu bisa menampung buku-bukuku?” bisiku, di telinganya.

Perempuan itu mencubitku keras. Kembali, dia memalingkan mukanya kepadaku.

“Dasar kere,” ujarnya.

Tapi dia tak bisa mengejekku lebih jauh. Aku tak memberinya kesempatan untuk meneruskan ejekannya...

Tiba-tiba adzan Subuh berteriak nyaring. Bangsat!



Yogyakarta, 14 Desember 2014

MENCURI MANGGA




“Bagaimana tulisanmu untuk jurnal bulan depan?” tanya perempuan itu, sembari mencuci piring di wastafel. Makan malam baru saja usai.

“Belum selesai, kan kemarin gagal fokus,” ujar lelaki itu, sembari membersihkan sebuah piring buah dan dua gelas minum.


“Kenapa gagal fokus?”


“Ya gara-gara kamu ngambek itu,” ujar lelaki itu, sembari duduk di samping wastafel.
Perempuan itu tertawa kecil.

“Segitunya?”

“Tentu saja. Aku selalu bingung menebak perasaanmu. Jika kamu marah-marah begitu, perhatianku jadi terbetot. Kandas pekerjaanku jadinya.”

“Ya, habis kamu cerita ke Budi soal hubungan kita. Aku tidak ingin orang salah paham. Saat ini situasinya tak bagus buatku, juga buatmu,” ujar perempuan itu, sembari melirik lelaki di sampingnya.

“Aku tahu. Maafkan aku. Setelah semua yang kita alami dan bahas, aku hanya tak bisa menampung itu lebih banyak lagi sendirian.”

Lelaki itu turun dari meja wastafel.

“Tolong jangan marah lagi ya?” bisik lelaki itu di belakang telinga perempuannya.

Perempuan itu menolehkan mukanya. Pipinya kini tepat berada di depan muka lelaki itu, yang berdiri persis di belakangnya. Ia tampak menahan nafas ketika lelaki itu pelan-pelan mendekatkan mukanya.

Tiba-tiba perempuan itu mengusapkan tangannya yang berlumuran busa ke pipi lelaki itu, sembari tertawa kecil. Ia melanjutkan mencuci piring.

“Katanya kamu mau menghormatiku,” ujar perempuan itu.

Lelaki itu tertawa kecil.

“Tentu. Aku selalu menghormatimu,” ujar lelaki itu. Dua lengannya segera meraih pinggang perempuan itu. Ia kini meletakkan dagunya di bahu perempuannya.

“Waktu kecil kamu pernah mencuri mangga?” tanya lelaki itu, berbisik.

“Mmm… nggak pernah. Soalnya waktu kecil aku cuma sebentar pernah tinggal di rumah nenek di kampung. Di sini kan nggak ada pohon mangga,” jawab perempuan itu, sembari terus mencuci.

“Apakah mencuri mangga itu jahat?” kembali lelaki itu bertanya.

“Menurutku, sepertinya semua anak kecil yang tinggal di kampung pernah melakukannya. Itu kenakalan kanak-kanak yang manusiawi, jadi bukan kejahatan. Kecuali kalau mereka mencuri pohonnya,” ujar perempuan itu sembari tertawa.

Lelaki itu ikut tertawa. Ia mempererat rengkuhannya. Perempuan itu tak menolak, meski terus melanjutkan mencuci.

“Aku ingin mencuri mangga, tapi tidak akan mencuri pohonnya,” bisik lelaki itu, di telinga perempuannya.

Di luar, malam terus beranjak gelap. 


Yogyakarta, 18 November 2014

Jumat, 10 April 2015

SILUET SENJA





"Cinta itu puitik," katamu, senja itu, ketika anak itik telah pulang ke kandang.

"Kenapa puitik?" tanyaku.

Merah matahari senja membuatmu seperti siluet. Dan itu adalah siluet yang indah senja itu.

"Karena puisi adalah kebohongan yang selalu bicara kebenaran. Begitu juga dengan cinta," ujarmu, yakin.

Aku terkekeh mendengarnya.

"Kamu pernah baca 'Soft Caramel'?" tanyaku.

Kamu menggeleng.

"Cocteau juga menyebut cinta adalah bentuk kejahatan terburuk," terangku.

Kamu tertawa.

"Menurutmu, cinta itu apa?" tanyamu, sembari menyandarkan tubuh ke kursi.

"Cinta itu seperti demokrasi," jawabku.

Kamu mengernyitkan dahi. "Kenapa demokrasi?" tanyamu.

"Karena pemilunya cuma lima menit, tapi kampanyenya lima tahun," jawabku.

Kali ini kamu tertawa terbahak-bahak. Dan tawa itu selalu membuatku jatuh hati. Sungguh.

Setelah puas tertawa, kamu menatapku tajam.

"Jadi, Tuan Perayu, katakanlah, kenapa kau mencintaiku?" kamu bertanya seolah elang yang hendak menerkam mangsanya.

Aku menghela nafas. "Seperti tadi kubilang, cinta itu seperti demokrasi. Dalam cinta, kita paling cuma sesekali bercinta, selebihnya adalah bercakap," ujarku tenang. "Aku menyukai percakapan denganmu. Dan aku ingin menghabiskan hidup untuk bercakap-cakap denganmu."

Kukatakan itu sembari menatapmu balik, dalam-dalam. Aku melihatmu tersipu sembari menggigt bibir.

Itu petang paling keparat yang tak mudah dilupakan.

Rabu, 21 Januari 2015

WAKTU


Setiap detik jadi pemantik
Setiap menit merangsangnya genit
Setiap jam membuatnya tajam

Hari menanti
Minggu menunggu
Bulan merindukan

Kapan tahun akan menuntun,
membawamu padaku, Nun?

Yogyakarta, 22 November 2014

DIAM

 
Hening menyembunyikan bening. Gaduh menyembunyikan rapuh. Diam menyembunyikan tajam. Aku menyembunyikanmu, Nun... ‪#‎nunpoem‬
 
Yogyakarta, 20 November 2014