Selasa, 07 Maret 2023

SURAT UNTUK CINTA











Ta,

Aku sedang membaca lagi Pram ketika secara tak sengaja menemukan kembali majalah-majalah lama bersampul dirimu di bawah meja ruang tamu. Pram dan majalah-majalah itu lalu membuatku jadi memikirkan sesuatu, Ta, pikiran yang kemudian menuntunku menuliskan surat ini.

Sesudah empat belas tahun, akhirnya kita bisa bertemu lagi. Kamu, aku. Meskipun selalu memimpikannya, secara bersamaan pertemuan itu juga menjadi hal yang selalu kuanggap sebagai kemustahilan. Itu sebabnya hingga detik ini terus terang aku masih tak percaya jika pertemuan kita kemarin benar-benar terjadi.

Aku menikmati percakapan-percakapan denganmu, Ta.

Jikapun ada yang ingin kusesali, itu karena percakapan-percakapan kita kemarin ternyata tak bisa sekuat percakapan-percakapan Jesse dan Celine, ketika mereka bertemu kembali dalam “Before Sunset”. Ya, aku tahu, Mas Riri dan Mbak Mira bukanlah Linklater, Nico dan Dian belumlah seperti Ethan Hawke dan Julie Delpy, sehingga percakapan-percakapan kita kemarin tak sanggup menjangkau esensi apapun.

Pada kenyataannya, berbeda dengan Jesse, aku juga memang belum menulis satupun buku, kecuali sekadar artikel-artikel penyambung hidup. Dan sesudah empat belas tahun, bahkan akupun belum juga merancang sebuah buku yang bisa mengabadikan kegilaanku padamu, sebuah buku yang jika kau temukan akan menuntunmu kembali kepadaku, dimanapun dan dalam situasi apapun dirimu berada pada saat itu. Persis di situ aku merasa iri pada Jesse, Ta.

Jika aku bisa menuliskan kembali cerita pertemuan kita kemarin, maka aku akan memilihnya begini: aku menulis sebuah buku yang merupakan catatan kegilaanku atasmu selama ini, dan buku itu diterbitkan oleh sebuah penerbit di Yogya. Seperti halnya pertemuan Jesse dengan Celine, kita bertemu lagi dalam launching buku itu. Ya, sejenis diskusi kecil, mungkin di Toko Buku Togamas, pada sebuah petang, dimana kau akan menyelinap diam-diam di dekat tangga, mencari tahu bagaimana rupa lelaki yang pernah mengesalkanmu itu kini.

Sesudah beberapa tegur sapa yang canggung, tiba-tiba saja kita sudah bercakap-cakap di sepanjang jalan di tepian selokan Mataram, mengintip sinar bulan dari bawah pepohonan di jalanan Bulaksumur, menyusuri boulevard UGM, nongkrong di angkringan Tugu, lalu menikmati dinihari di Malioboro dengan dua mangkuk wedang ronde yang mengepul sembari merutuki masa lalu.

Aku tak ingin melewatkan waktu tanpa bercakap denganmu, Ta. Dan kita memang tak perlu bertualang kemana-mana, karena sudah cukup petualangan empat belas tahun tanpa saling memiliki satu sama lain.

Di tempat-tempat itu kita akan bercakap mengenai apapun. Tentang politik yang licik, tentang ketololan kita dalam memilih presiden pada Pemilu lalu, tentang aktivis-aktivis kiri yang tak banyak bersuara atas ekspansi modal RRC di Republik, tentang sastra, tentang puisi, dan tentang hal-hal lain yang akan membuat pertemuan itu jadi seperti dongeng yang realistis.

Jangan khawatir, kamu sama sekali tak akan memikirkan Trian waktu itu, sebab percakapan pertama kita waktu itu adalah tentang sastra, dan yang akan kita obrolkan adalah novel “Arok Dedes”. Sejauh apapun kau melangkah bersama Trian, kau pasti mengetahui bahwa ia hanya akan jadi sejenis Tunggul Ametung, karena takdir hidupmu adalah bersamaku, Ta. Jangan pernah meragukan kemampuan propagandaku mengenai hal itu.

Memikirkan semua itu membuatku jadi ingin menulis sebuah buku untukmu, Ta. Semoga aku bisa segera bersemedi untuk menuliskanya.

Sedang apa malam ini kamu, Ta? Sengaja aku tak berkirim pesan pendek, dan tak kujawab segera pesanmu, agar aku dan kamu bisa menabung sejumlah kerinduan.

Jika surat ini sudah kamu terima, balas segera ya, Ta.

Jakarta, 22 Mei 2016 

ttd.

 

Rangga

#nunpoem

 


Senin, 06 Maret 2023

POHON















"Aku selalu menikmati perpisahan-perpisahan kita." Lelaki itu mengatakannya sembari menggeser tumpukan buku di atas meja ke tepi. Kini tak ada lagi buku di antara keduanya, dia dan perempuan itu. Hari telah merambat petang. Lampu-lampu mulai dinyalakan.

"Kok? Aneh." Perempuan itu mengernyit.

"Setiap percakapan-percakapan puitik, barangkali memang harus diakhiri dengan tragik."

Ia, lelaki itu, memandang sekeliling ruangan. Hanya tinggal meja-meja dan kursi-kursi serta mereka berdua. Tepatnya, bertiga. Seorang lelaki kurus dengan rambut panjang, yang duduk di pojok belakang ruangan, sudah mulai membereskan tasnya. Ia segera pulang.

"Apakah perpisahan kita selalu tragis?! Setragis itukah, menurutmu?" perempuan itu menyelidik.

Lelaki itu menatap perempuan di depannya.

"Entahlah. Menurutmu?" ia balik bertanya.

Perempuan itu mengernyitkan dahinya, mengingat-ingat.

Mereka duduk di sebuah meja besar di tepi jendela. Saat pagi, meja itu selalu bermandikan cahaya. Namun, ketika menjelang petang, itu menjadi meja paling teduh di ruangan itu. Di balik dinding sebelah, deretan rak-rak buku nampak berdebu.

"Mmm... aku tak pernah mengingatnya dengan baik," perempuan itu mengatakannya sembari mengerling dan tertawa kecil.

Lelaki itu menekuk mukanya. Kali ini cukup lama ia memasang ekspresi itu, sembari melempar pandang keluar jendela.

"Lha, kok ngambek? Cepet tua lho nanti," ujar perempuan itu, manja. Tak berhasil.

Lelaki itu masih saja diam. Ia duduk mematung dengan pandangan masih keluar jendela. Di bawah sana, trotoar sudah dipenuhi warung-warung lesehan.

Perempuan itu mengibas-ibaskan tangannya di depan muka si lelaki. Tapi ia tetap tak terpancing. Perempuan itu kemudian terdiam.

"Aku tidak pernah bisa mengingat perpisahan-perpisahan kita, karena kamu adalah sebuah pohon besar yang rindang." Perempuan itu menarik napas.

"Kemanapun aku pergi, atau dimanapun aku tersesat, aku tak pernah bisa lepas dari bayanganmu. Termasuk setahun terakhir kemarin."

Kali ini lelaki itu menengok. Ia menatap perempuan di depannya.

"Jadi, itu yang membuatku tak pernah punya ingatan pernah berpisah darimu." Perempuan itu memilin-milin tali tasnya. "Terdengar gombal ya. Tapi aku memang tak pernah memiliki ingatan itu."

Lelaki itu hanya menatap lekat perempuan di depannya. Hening.

Mungkin, meminjam Subagio, itu keheningan yang mengandung bicara. Sebab, ketika adzan Maghrib mengalun dari masjid di seberang jalan, perempuan itu segera memberesi buku di atas meja tadi dan memasukannya ke dalam tas lelaki di depannya.

Hingga ketika mereka sama-sama turun ke mushala kecil di lantai bawah gedung, lelaki itu masih saja diam. Baru ketika keduanya sama-sama keluar dari tempat wudhu, yang tak berjauhan, lelaki itu berdiri tertegun. Ia menatap perempuan itu dengan seksama.

Perempuan itu bingung. "Ada apa?" tanyanya. Tapi pertanyaan itu tak keluar dari mulutnya, tapi melalui sebuah kode di mukanya.

"Aku jatuh cinta pada air wudhu yang jatuh di dagumu." Jawaban itu dituliskan lelaki itu pada secarik kertas. Ia memberikannya kepada perempuan itu setelah mereka selesai shalat. Perempuan itu tersenyum. Hari merambat malam.

Jakarta, 2 September 2015

#NUNPOEM 37

 

Kata orang, Yogya terbuat dari rindu. Namun tanpamu, yang tersisa di kota ini hanya sendu. #nunpoem

Yogyakarta, 9 November 2022

#NUNPOEM 36


Aku melihatmu duduk di kursi itu, ditemani seikat rindu dan rasa penasaran: apa kesalahan yang telah kubuat di kehidupan lain, sehingga kita jadi begitu lama dipertemukan?! #nunpoem

Jakarta, 1 September 2021

#NUNPOEM 35



















Perempuan muda itu seperti hotel, Nun. Mereka banyak dikunjungi orang. Sementara, saat menua mereka jadi seperti perpustakaan: terpencil, lengang, tak banyak orang yang datang. #nunpoem

Karawang, 20 Agustus 2021

#NUNPOEM 34
















Kalau kau rindu, cari aku pada tumpukan dedaunan gugur di halaman rumahmu. Di sana, cintaku berkali-kali tanggal sekaligus terus menyubur untukmu. #nunpoem

Jakarta, 17 Juli 2021

#NUNPOEM 33

 













Rindu itu seperti debu yang melekat di buku. Jika tak disentuh, kian lama akan semakin menebal, Nun. #nunpoem

Jakarta, 4 Mei 2021