Senin, 06 Maret 2023

SAJAK MINYAK ANGIN


















Saat aku tua nanti

aku ingin menikmati hujan dari bilik perpustakaan
sembari ditemani rindu pada anak cucu
dan ubi rebus buatanmu
Aku ingin menua seperti buku-bukuku
yang telah kau rawat dengan penuh hormat
dan selalu kau jamah dengan ramah
Sebab, hanya seorang terpelajar
yang bisa memperlakukan buku dengan benar
ujarmu, suatu kali kepadaku
Saat kau ikut menua bersamaku
aku ingin kau tahu
meskipun krim tubuhmu telah diganti balsem
dan parfumu telah berbau minyak kayu putih
kasihku padamu tak pernah letih
Sembari menikmati hujan dari bilik perpustakaan
kita akan berbincang tentang masa lalu
juga tentang encok dan nyeri sendi
ditemani sebotol minyak angin dan secangkir kopi
Adisucipto, Yogyakarta, 28 November 2017

PAYUNG

 






































"Benar kata pepatah," ujar lelaki itu sembari melepaskan asap cerutunya. Matanya menembus ke luar jendela. Di luar sana hujan jatuh bercucuran.

"Maksudmu?" tanya perempuan yang duduk di depannya. Mulutnya masih mengunyah irisan apel yang tadi dikupasnya.

Perempuan itu tinggi semampai. Dengan kebaya yang belum dilepas, serta rambut yang disanggul kecil, sekilas ia mirip para pramugari Garuda.

"Kamu tahu apa pepatah yang sering digunakan orang di musim hujan?" tanya lelaki itu.

"Apa?! Sedia payung sebelum hujan?"

"Bukan!"

"Lha, terus apa?" tanya perempuan itu, penasaran. Kali ini ia mengambil apel dengan pisau buah. Potongan apel itu digigit-gigit kecil di mulutnya yang mungil.

Ditatapnya lelaki yang duduk di depannya. Cahaya lilin di meja membuat matanya yang coklat jadi terlihat berkilauan.

Lelaki itu menatap balik perempuan di depannya.

"Bukan sedia payung sebelum hujan, Non," ujarnya, lirih. Hampir berbisik.

"Lantas, apa?!"

"Mmm... Sedia kamu sebelum hujan!"

"Ah, kau...."

Hujan turun kian deras. #nunpoem

Jakarta, 14 Oktober 2019

LOTRE

 
























“Aku benci hujan!” ujar perempuan itu, sembari mendekatkan cangkir tehnya yang masih mengepul. Pandangannya dilempar ke luar dinding kaca di seberang sana.

Bibirnya terkatup. Gincu merah tuanya terlihat tak menyolok dibanding dua anting besar yang menggantung di telinganya. Hujan memang jatuh berderai di luar jendela. Di musim panas, hujan bisa datang dan pergi sesuka hati.

Seorang lelaki bertubuh tinggi dan seorang perempuan berambut keriting pirang nampak berlari-lari menyeret kopernya ke ruang tunggu di ujung lorong. Mereka sempat jadi perhatian ketika si perempuan jatuh terpelanting.

Lelaki bertubuh tinggi itu hanya menengok sebentar lalu menggelengkan kepala pada si perempuan. Untung seorang petugas segera menolong dan memapahnya. Si perempuan, yang rambut keritingnya jatuh menutupi mukanya yang pucat, terdengar bersungut-sungut pada lelaki bertubuh tinggi itu.

“Kenapa membenci hujan? Bukankah hujan itu puitik?!” tanya lelaki yang duduk di depan perempuan itu, sesudah lelaki bertubuh tinggi dan perempuan berambut keriting yang terburu-buru tadi menghilang di ujung lorong.

Perempuan itu menarik nafasnya.

“Kamu sendiri, kenapa menyukai hujan?!” ia malah bertanya balik pada lelaki di depannya.

Lelaki di depannya terkekeh.

“Kamu tuh, kalau ditanya selalu balik bertanya. Sejak dulu selalu begitu,” ujar lelaki di depannya.

“Aku begitu ya?!”

“Iya!”

“Aku tidak suka hariku dirusak oleh hujan. Bagiku, mereka ini pengganggu. Itu mungkin sebabnya semua orang selalu bergegas meninggalkan hujan,” ujar perempuan itu sembari meraih cangkir tehnya. Jemarinya yang lentik hampir menyentuh jari lelaki itu.

Orang Eropa memang sangat kikir. Di dalam maupun di luar bandara, mereka hanya menyediakan meja-meja sempit dan tempat duduk berdesakkan di hampir semua kedai.

“Jadi, kenapa kamu menyukai hujan?” perempuan itu kembali melontarkan pertanyaannya.

Lelaki itu membuang nafasnya. Ia sangat membenci pertemuan-pertemuan kecil seperti ini.

“Aku suka komposisinya,” jawab lelaki itu.

“Maksudmu?” perempuan itu mengernyitkan dahinya.

“Ya, aku menyukai hujan karena komposisinya. Hujan itu sebenarnya hanya sepuluh persennya saja terdiri dari air,” ujar lelaki itu.

“Oya?! Aku baru tahu. Dan sembilan puluh persennya?!” tanya perempuan itu, penasaran.

Lelaki itu menatap perempuan di depannya.

“Sembilan puluh persennya terdiri dari kenangan!” jawabnya, dengan ekspresi dingin.

Tawa perempuan itu segera meledak.

Tapi ia segera sadar dan mengecilkan volume tawanya ketika melihat pandangan orang-orang kini tertuju padanya.

Dia tatap lelaki yang duduk di depannya. Sudah tujuh tahun mereka tak bersua. Beberapa menit lalu secara tak sengaja mereka bertemu di ruang tunggu.

“Mmmm… kamu masih mengingatnya?!” tanya si perempuan.

Lelaki itu mendesah.

“Ayolah, tak mungkin aku lupa,” balas lelaki itu.

Perempuan itu terdiam. Pandangannya kembali dilempar ke luar.

“Tapi kenapa kamu tak berusaha menghubungi aku lagi sesudah itu?” tanyanya. Nadanya kini meninggi.

Lelaki itu terdiam.

“Mencintaimu bagiku sudah seperti menang lotre. Dan aku tidak ingin terlihat tamak.”

“Ah, kamu memang brengsek!"

Keduanya kini terdiam. Di luar dinding kaca, hujan turun tipis-tipis.

Moskow, 4 Juli 2019 #nunpoem

PIANO DAN VESPA TUA












"Aku ingin ada sebuah piano di ruang tengah rumahku," katamu, malam itu.


"Kenapa piano?" tanyaku.

"Karena piano itu mirip kehidupan. Bukankah apa yang keluar dalam hidup, semua tergantung pada apa yang kita mainkan?" ujarmu.

"Hmm..."

"Lalu apa yang kamu inginkan ada di rumah?" tanyamu.

"Aku ingin sebuah Vespa tua berwarna biru dongker di garasiku."

"Kenapa Vespa? Dan tua lagi, he he he..." tanyamu, dengan nada menggemaskan.

"Menjadi tua tak pernah membuat sebuah Vespa kehilangan nilainya," jawabku.

"Ah, ya, ya. Persis seperti dirimu, Tuan Serius," godamu. Kali ini dengan nada mencemaskan.

Ya, men-ce-mas-kan. Aku selalu cemas jika mendengarkan nada-nada semacam itu. Aku cemas bakal kehilangan kontrol...

Di sini, hari ini, setiap kali melihat piano, aku selalu teringat percakapan itu.

Ke mana aku harus mengantarkan piano yang kau impikan, sejak aku kehilangan alamatmu, Nun?! #nunpoem

Palmerah, 8 Mei 2019

SUJUD

























"Menurutmu, keajaiban itu apa?" tanya perempuan itu.

"Sujud," ujar lelaki di depannya.

"Kok sujud?!" tanya perempuan itu. Air mukanya agak kecewa.

"Saat sujud kamu berbisik pada bumi, tapi langitlah sebenarnya yang mendengarkan bisikanmu."

"Well... Sound nice."

"Ajaib bukan?"

"Heeh."

Perempuan itu mengangguk.

"Oya, apa yang biasanya kau bisikan ke bumi saat sujud?" tanya perempuan itu, menyelidik.

"Aku membisikan namamu," ujar lelaki itu, sembari menandaskan cangkir kopinya.

"Ah, kau..."

"Tapi sayangnya langit tak pernah mendengarkannya," tambah lelaki itu.

"Hua ha ha ha..." perempuan di depannya terbahak, memperlihatkan deretan giginya yang berkilauan ditabrak cahaya lilin. #nunpoem

Jakarta, 29 April 2019

#NUNPOEM 27


Rubuh bersimpuh di Subuh-Mu. Aku hanyalah pengayuh yang banyak berkeluh. #nunpoem

Karawang, 22 Mei 2018

#NUNPOEM 26

 


Aku sudah meninggalkanmu berkali-kali, tapi selalu saja rindu untuk kembali... #nunpoem

Yogyakarta, 2 Mei 2018