Senin, 06 Maret 2023

PERCAKAPAN HUJAN



















Guguran bunga flamboyan berserak di halaman. Angin, yang setengah jam lalu seperti bergemuruh, masih bertiup kencang, mengantarkan aroma tanah basah melewati kisi-kisi jendela yang separuh terbuka itu. Hujan memang baru saja lewat.


“Kata orang, jika kita sangat menginginkan sesuatu, lepaskan saja.”


Perempuan itu mengucapkannya tanpa menatap tamu di depannya. Pandangannya menerawang jauh ke luar sana.

Mendengar itu, lelaki di depannya hanya melirik kecil. Keduanya masih terduduk di kursinya masing-masing, seperti tiga puluh menit lalu.

“Sepertinya terdengar ganjil. Kenapa begitu?” tanya lelaki itu.

Perempuan itu memalingkan mukanya. Kali ini ia menatap lelaki di hadapannya.

“Supaya kamu tahu, kalau ia kembali, berarti ia memang milikmu. Sesudahnya, pasti tak akan lepas lagi. Tapi jika tak kembali, berarti memang bukan milikmu,” ujarnya.

Lelaki itu mengernyitkan dahinya.

“Kalau begitu, aku benar-benar milikmu dong,” ujarnya.

Perempuan di depannya tertawa kecil.

“Kok bisa begitu?” tanyanya.

“Soalnya, aku selalu kembali,” ujar lelaki itu, sembari terkekeh.

Perempuan itu ikut tertawa.

“Emang aku pernah mengatakan sangat menginginkanmu?” ujarnya kemudian.

Mendengar hal itu, lelaki di depannya mendengus.

“Ayolah. Hujan tadi sudah membuat pertemuan ini jadi syahdu, kamu jangan merusaknya,” ujarnya.

Perempuan itu terkekeh.

Ia tatap lelaki di depannya dalam-dalam.

Lelaki ini tak pernah mampir di mimpinya. Tetapi, dari caranya menatap sejak mereka pertama kali ketemu, dari surat-suratnya yang panjang dan tak berkesudahan itu, dari kegigihannya yang pernah membuatnya sebal itu, ia bersyukur kalau lelaki ini bukanlah mimpi.

“Oh, Tuhan, hampir lupa. Maaf, aku belum menawarimu minum,” ujar perempuan itu, sembari menutup mukanya. Ia kemudian berdiri.

“Kamu mau apa, teh atau kopi?” tanyanya.

Lelaki itu menggaruk-garuk tengkuknya.

“Kalau boleh, aku minta susu saja,” ujarnya, sembari menguap.

Perempuan itu, yang hampir beranjak ke belakang, segera menghentikan langkahnya. Dahinya mengernyit.

“Kamu serius?” tanyanya.

Giliran lelaki itu yang mengernyitkan dahinya.

“Memang kenapa? Kamu nggak punya?!”

Perempuan itu terlihat salah tingkah.

“Tapi…” kata-katanya kali ini tercekat.

Giliran lelaki itu menatap perempuannya. Dahinya ikut mengernyit. Heran.

Untuk beberapa saat keduanya saling mendelikkan mata, sebelum kemudian sama-sama tertawa.

Jalanan mulai gelap. Beberapa rumah di kiri-kanan tampak mulai menyalakan lampu. #nunpoem

Jakarta, 18 Januari 2021

CANTIK ITU DUSTA




















"Bercakaplah denganku, maka kau akan mendapat kedalaman," ujar lelaki itu.

Perempuan di depannya tertawa.
"Nyindir," ujarnya, dengan mata mengerling.
Lelaki itu ikut tertawa.
"Lho, aku bilang 'kedalaman', bukan 'esensi', apalagi menyinggung-nyinggung soal Puteri Indonesia," kelit lelaki itu.
Perempuan di depannya pura-pura mendengus. Tapi, alih-alih menyeramkan, wajahnya malah terlihat menggemaskan. Ah, itu wajah yang selalu bisa meruntuhkan prinsip, batin lelaki itu.
Melihat lelaki di depannya termangu, perempuan itu menatapnya dalam-dalam.
"Apa yang sebenarnya yang kau inginkan," tanyanya.
Lelaki itu mengangkat mukanya dan menatap balik perempuan di depannya.
"Aku hanya ingin mencintaimu dan anak-anak."
Perempuan itu menundukkan mukanya. Malam semakin larut. #nunpoem

Karawang, 17 Februari 2020

SAJAK MINYAK ANGIN


















Saat aku tua nanti

aku ingin menikmati hujan dari bilik perpustakaan
sembari ditemani rindu pada anak cucu
dan ubi rebus buatanmu
Aku ingin menua seperti buku-bukuku
yang telah kau rawat dengan penuh hormat
dan selalu kau jamah dengan ramah
Sebab, hanya seorang terpelajar
yang bisa memperlakukan buku dengan benar
ujarmu, suatu kali kepadaku
Saat kau ikut menua bersamaku
aku ingin kau tahu
meskipun krim tubuhmu telah diganti balsem
dan parfumu telah berbau minyak kayu putih
kasihku padamu tak pernah letih
Sembari menikmati hujan dari bilik perpustakaan
kita akan berbincang tentang masa lalu
juga tentang encok dan nyeri sendi
ditemani sebotol minyak angin dan secangkir kopi
Adisucipto, Yogyakarta, 28 November 2017

PAYUNG

 






































"Benar kata pepatah," ujar lelaki itu sembari melepaskan asap cerutunya. Matanya menembus ke luar jendela. Di luar sana hujan jatuh bercucuran.

"Maksudmu?" tanya perempuan yang duduk di depannya. Mulutnya masih mengunyah irisan apel yang tadi dikupasnya.

Perempuan itu tinggi semampai. Dengan kebaya yang belum dilepas, serta rambut yang disanggul kecil, sekilas ia mirip para pramugari Garuda.

"Kamu tahu apa pepatah yang sering digunakan orang di musim hujan?" tanya lelaki itu.

"Apa?! Sedia payung sebelum hujan?"

"Bukan!"

"Lha, terus apa?" tanya perempuan itu, penasaran. Kali ini ia mengambil apel dengan pisau buah. Potongan apel itu digigit-gigit kecil di mulutnya yang mungil.

Ditatapnya lelaki yang duduk di depannya. Cahaya lilin di meja membuat matanya yang coklat jadi terlihat berkilauan.

Lelaki itu menatap balik perempuan di depannya.

"Bukan sedia payung sebelum hujan, Non," ujarnya, lirih. Hampir berbisik.

"Lantas, apa?!"

"Mmm... Sedia kamu sebelum hujan!"

"Ah, kau...."

Hujan turun kian deras. #nunpoem

Jakarta, 14 Oktober 2019

LOTRE

 
























“Aku benci hujan!” ujar perempuan itu, sembari mendekatkan cangkir tehnya yang masih mengepul. Pandangannya dilempar ke luar dinding kaca di seberang sana.

Bibirnya terkatup. Gincu merah tuanya terlihat tak menyolok dibanding dua anting besar yang menggantung di telinganya. Hujan memang jatuh berderai di luar jendela. Di musim panas, hujan bisa datang dan pergi sesuka hati.

Seorang lelaki bertubuh tinggi dan seorang perempuan berambut keriting pirang nampak berlari-lari menyeret kopernya ke ruang tunggu di ujung lorong. Mereka sempat jadi perhatian ketika si perempuan jatuh terpelanting.

Lelaki bertubuh tinggi itu hanya menengok sebentar lalu menggelengkan kepala pada si perempuan. Untung seorang petugas segera menolong dan memapahnya. Si perempuan, yang rambut keritingnya jatuh menutupi mukanya yang pucat, terdengar bersungut-sungut pada lelaki bertubuh tinggi itu.

“Kenapa membenci hujan? Bukankah hujan itu puitik?!” tanya lelaki yang duduk di depan perempuan itu, sesudah lelaki bertubuh tinggi dan perempuan berambut keriting yang terburu-buru tadi menghilang di ujung lorong.

Perempuan itu menarik nafasnya.

“Kamu sendiri, kenapa menyukai hujan?!” ia malah bertanya balik pada lelaki di depannya.

Lelaki di depannya terkekeh.

“Kamu tuh, kalau ditanya selalu balik bertanya. Sejak dulu selalu begitu,” ujar lelaki di depannya.

“Aku begitu ya?!”

“Iya!”

“Aku tidak suka hariku dirusak oleh hujan. Bagiku, mereka ini pengganggu. Itu mungkin sebabnya semua orang selalu bergegas meninggalkan hujan,” ujar perempuan itu sembari meraih cangkir tehnya. Jemarinya yang lentik hampir menyentuh jari lelaki itu.

Orang Eropa memang sangat kikir. Di dalam maupun di luar bandara, mereka hanya menyediakan meja-meja sempit dan tempat duduk berdesakkan di hampir semua kedai.

“Jadi, kenapa kamu menyukai hujan?” perempuan itu kembali melontarkan pertanyaannya.

Lelaki itu membuang nafasnya. Ia sangat membenci pertemuan-pertemuan kecil seperti ini.

“Aku suka komposisinya,” jawab lelaki itu.

“Maksudmu?” perempuan itu mengernyitkan dahinya.

“Ya, aku menyukai hujan karena komposisinya. Hujan itu sebenarnya hanya sepuluh persennya saja terdiri dari air,” ujar lelaki itu.

“Oya?! Aku baru tahu. Dan sembilan puluh persennya?!” tanya perempuan itu, penasaran.

Lelaki itu menatap perempuan di depannya.

“Sembilan puluh persennya terdiri dari kenangan!” jawabnya, dengan ekspresi dingin.

Tawa perempuan itu segera meledak.

Tapi ia segera sadar dan mengecilkan volume tawanya ketika melihat pandangan orang-orang kini tertuju padanya.

Dia tatap lelaki yang duduk di depannya. Sudah tujuh tahun mereka tak bersua. Beberapa menit lalu secara tak sengaja mereka bertemu di ruang tunggu.

“Mmmm… kamu masih mengingatnya?!” tanya si perempuan.

Lelaki itu mendesah.

“Ayolah, tak mungkin aku lupa,” balas lelaki itu.

Perempuan itu terdiam. Pandangannya kembali dilempar ke luar.

“Tapi kenapa kamu tak berusaha menghubungi aku lagi sesudah itu?” tanyanya. Nadanya kini meninggi.

Lelaki itu terdiam.

“Mencintaimu bagiku sudah seperti menang lotre. Dan aku tidak ingin terlihat tamak.”

“Ah, kamu memang brengsek!"

Keduanya kini terdiam. Di luar dinding kaca, hujan turun tipis-tipis.

Moskow, 4 Juli 2019 #nunpoem

PIANO DAN VESPA TUA












"Aku ingin ada sebuah piano di ruang tengah rumahku," katamu, malam itu.


"Kenapa piano?" tanyaku.

"Karena piano itu mirip kehidupan. Bukankah apa yang keluar dalam hidup, semua tergantung pada apa yang kita mainkan?" ujarmu.

"Hmm..."

"Lalu apa yang kamu inginkan ada di rumah?" tanyamu.

"Aku ingin sebuah Vespa tua berwarna biru dongker di garasiku."

"Kenapa Vespa? Dan tua lagi, he he he..." tanyamu, dengan nada menggemaskan.

"Menjadi tua tak pernah membuat sebuah Vespa kehilangan nilainya," jawabku.

"Ah, ya, ya. Persis seperti dirimu, Tuan Serius," godamu. Kali ini dengan nada mencemaskan.

Ya, men-ce-mas-kan. Aku selalu cemas jika mendengarkan nada-nada semacam itu. Aku cemas bakal kehilangan kontrol...

Di sini, hari ini, setiap kali melihat piano, aku selalu teringat percakapan itu.

Ke mana aku harus mengantarkan piano yang kau impikan, sejak aku kehilangan alamatmu, Nun?! #nunpoem

Palmerah, 8 Mei 2019

SUJUD

























"Menurutmu, keajaiban itu apa?" tanya perempuan itu.

"Sujud," ujar lelaki di depannya.

"Kok sujud?!" tanya perempuan itu. Air mukanya agak kecewa.

"Saat sujud kamu berbisik pada bumi, tapi langitlah sebenarnya yang mendengarkan bisikanmu."

"Well... Sound nice."

"Ajaib bukan?"

"Heeh."

Perempuan itu mengangguk.

"Oya, apa yang biasanya kau bisikan ke bumi saat sujud?" tanya perempuan itu, menyelidik.

"Aku membisikan namamu," ujar lelaki itu, sembari menandaskan cangkir kopinya.

"Ah, kau..."

"Tapi sayangnya langit tak pernah mendengarkannya," tambah lelaki itu.

"Hua ha ha ha..." perempuan di depannya terbahak, memperlihatkan deretan giginya yang berkilauan ditabrak cahaya lilin. #nunpoem

Jakarta, 29 April 2019