Rabu, 30 April 2014

PENEMUAN



Di sebuah kedai, pada petang yang bertenaga, lewat seorang perempuan lelaki itu menemukan bahwa Adam Smith telah membuat sebuah kekeliruan. Individuasi tanpa motif sosial yang hadir lebih dulu tak akan banyak memberikan kemanfaatan. Petang itu dia telah menemukan salah satu rumusan penting dalam teori permainan.

Di sebuah kedai pula, pada suatu malam, lewat seorang perempuan seorang lelaki menemukan kalau dirinya telah jatuh cinta. Individuasi tanpa kedekatan personal tak akan banyak memberikan kemanfaatan bagi individu bersangkutan. Malam itu dia telah menemukan penemuan paling penting dalam hidupnya.

Berpuluh tahun kemudian, di Bangsal Konser Stockholm, Swedia, yang penuh bunga-bunga, lelaki pertama memberikan pengakuan pada ribuan tamu undangan,

Aku selalu percaya akan angka, dalam persamaan dan logika yang membawa pada akal sehat. Tapi setelah seumur hidup mengejar, aku bertanya, ‘Apa logika sebenarnya? Siapa yang memutuskan apa yang masuk akal?’ Pencarianku membawaku ke alam fisik, metafisik, delusional, dan kembali. Telah kutemukan penemuan paling penting dalam karirku. Penemuan paling penting dalam hidupku. Hanya di persamaan misterius cinta, alasan logis bisa ditemukan.”

Di belahan bumi lain, pada sebuah malam di pinggir jalan yang membelah kota, lelaki yang lain membaca sebuah kalimat pada sebuah cangkang compact disc yang baru saja dipinjamnya: everyone wants to be finds. Dia membaca berulang-ulang sembari menyusuri trotoar yang membisu. #prosa03

PERPUSTAKAAN



Bagi para penyendiri yang tertutup, gairah terhadap kedekatan terasa ganjil, seganjil hubungan perkawinan antara Einstein dan Mileva. Sayangnya orang-orang ganjil itu mengetahui tempat paling nyaman dimana ketertutupan dan kesendirian mereka tak akan pernah diusik: perpustakaan.

Di antara kepungan rak, kegaduhan paling sunyi dengan mudah akan ditemui. Mereka adalah orang-orang yang sibuk bercakap dengan dirinya sendiri, menciptakan kembali dunia sekelilingnya di balik kernyit dahi, dan menghidupi dunia itu dengan medan imajinasinya. Percakapan tak melesat melalui frekuensi suara, tapi lewat gestur dan desah. Kegaduhan yang terdengar hanya detak jantung dan tarikan nafas. Lainnya adalah kegaduhan yang sunyi, tersembunyi di balik ingatan dan kacamata.

Bagi para penyendiri yang tertutup, gairah terhadap kedekatan terasa ganjil. Mereka sebenarnya memiliki jalan untuk merasuk ke tembok paling tebal dan dingin sekalipun, menerobos tubir jendela yang tak tergapai, atau lorong-lorong bawah tanah yang himpit dan lembab. Tapi mereka juga selalu memiliki jalan untuk keluar dan melarikan diri: kesunyian dan kesendirian. Karena itulah kekaguman dan kecurigaan kadang sekaligus disematkan pada mereka.

Para penyendiri adalah orang yang mengetahui banyak hal kecuali kedekatan. Dan percayalah, mereka juga sering merasa tidak nyaman dengan keadaan itu, seperti yang kadang dilihat Basso dari Einstein. Tentu, cara untuk menarik mereka agar terlibat dalam kedekatan tidak dengan membakar gedung-gedung perpustakaan. Sebab, bukankah hati juga adalah sebuah perpustakaan, dimana masih banyak kitab belum dibaca dan diterjemahkan? Kadang mereka hanya perlu diyakinkan bahwa beberapa terjemahan dan jilid dari buku yang tidak lengkap di perpustakaan mereka ada di perpustakaan lainnya. Ketidaksempurnaan adalah kesempurnaan itu sendiri. Sehingga di sebuah pintu masuk perpustakaan perlu ditulis besar-besar kalimat lirih berikut:

Kenapa Tuhan memberi kita dua mata dan dua telinga, tapi hanya satu hati?
Karena yang satunya lagi harus kita temukan pada orang lain yang akan menjadi pasangan kita. #prosa02

LOGIKA



Beberapa malam setelah ditinggalkan oleh kekasihnya dia memutuskan untuk menulis sebuah esai, 

Apa beda pengalaman dengan pengetahuan? Masihkah kita memerlukan kesadaran, ketika hampir semua hal yang kita lakukan lebih banyak didorong oleh intuisi dan spontanitas? Dimana tempat bagi mimpi-mimpi dan rencana-rencana saat dunia yang chaos tak lagi sekadar tesis, melainkan sudah sudah menjadi fakta ilmiah? 

Dia sudah membaca Freud dan Jung. Rasionalitas itu seperti iceberg. Tapi dia juga mengetahui dari buku-buku fisika yang dibacanya bahwa entropi biologis cenderung melawan hukum termodinamika. Mahluk hidup akan selalu membuat keteraturan atas serba ketakberaturan di sekitarannya. Lantas, dia harus mengimani yang mana? 

Kenyataan adalah sesuatu yang dikenali, dibentuk, dan bukannya terberi. Setiap kali membaca sastra Latin pikirannya akan kembung oleh gagasan-gagasan mengenai konstruktivisme, imajinasi, dan otonomi fiksional semacam itu. Dia menyukai gagasan-gagasan itu sama seperti kesukaannya pada lelucon Larry Wilde. Baginya, lelucon adalah satu-satunya tempat pengungsian dari doktrin kebenaran-universal dan semua bentuk kepastian. 

Dia memang tak pernah mempercayai absolutisme. Tapi karena itu pula dia kadang menyangsikan bahwa relatifisme berbeda dari absolutisme. Jangan-jangan, pikirnya, relatifisme adalah absolutisme dalam bentuk lain. Dan semua ini telah tali-temali sedemikian rupa sehingga tampak membingungkan. 

Pada sebuah makan malam, dia dikritik habis-habisan temannya. Alam dan pikiran sebenarnya sama buruknya, karena sama-sama terdiri dari keteraturan dan keserempakan yang bisa berganti tiba-tiba. Dengan pengalamannya manusia diajari untuk mengenali, tapi pengenalan itu sebenarnya tak mengajari apapun, karena kita sering mencatatnya sebagai aforisma. Aforisma inilah sebenarnya biangkerok kebingungan manusia. 

Mereka berdebat panjang. Sampai ketika bibir mereka mulai jontor, mereka menyudahi baku dalih itu. Sebelum berpisah mereka menyepakati satu hal: hidup membutuhkan lelucon. Tapi hidup sebenarnya adalah lelucon itu sendiri, gerutunya, dimana logika dan kengawuran silih berganti membangun tawa. Karena itu pula hidup, menurut beberapa orang, menyenangkan. 

Semenjak itu dia tak lagi pernah memikirkan bekas kekasihnya. #prosa01