Jumat, 18 Juli 2014
REINKARNASI
hidup ini seperti dedaunan gugur
ia bereinkarnasi pada tanah yang gembur
di basah hujan, darma ditunaikan
kembali, berulang-ulang
kita mungkin kembali hidup
pada satu dahan, seperti sebelum ini
saling bergesekan,
berbagi embun pagi
duh gusti...
tapi darma kemudian
mungkin melibatkan hukuman
kamu tumbuh di dahan ini,
sementara aku di pohon sana
kita hanya bisa bersitatap dari kejauhan
sesekali bertukar pesan
melalui kupu-kupu yang hinggap
atau lebah yang singgah
karena sebelum mengering
kita jadi saling mendiamkan
itu sebabnya, aku tak pernah berhenti
menuliskan pesan ini
aku ingin tumbuh dan melapuk bersamamu
nuunn...
Yogyakarta, 18 Juli 2014
KAMA RATIH
Brahma itu dewa pencipta, ia berpasangan dengan Saraswati, dewi ilmu pengetahuan. Penciptaan dan pengetahuan memang seperti dua sisi mata uang. Wisnu adalah dewa pemelihara, ia berpasangan dengan Laksmi, dewi kemakmuran dan kesuburan. Dalam kepercayaan Hindu Dharma, Dewi Laksmi mewujud menjadi Dewi Sri. Kita memang hanya bisa memelihara semesta dengan menjaga kemakmuran dan kesuburannya. Syiwa adalah dewa pelebur, perusak, pencipta equilibrium baru, ia berpasangan dengan Durga, dewi kasih sayang. Ya, kita hanya bisa menciptakan keseimbangan (baru) melalui kasih sayang, dengan jalan melebur semua hal buruk dan jahat.
Jadi, Ratih, sudahkah kau bersama Kamamu?
Yogyakarta, 17 Juli 2014
HUJAN
Hujan adalah jarak antara mendung dengan halaman basah. Tapi malam ini, hujan adalah jarak antara pertemuanku denganmu dengan kerinduan yang enggan ditidurkan ini.
Yogyakarta, 13 Juli 2014
Minggu, 13 Juli 2014
GILDAE
"Tanpa
puisi, hidup bisa jadi sebuah kesalahan," aku mengatakannya begitu saja
kepadamu. Anak-anak sudah berangkat ke sekolah. Aku duduk di meja besar
dengan tumpukan kertas menggunung di atasnya. Secangkir kopi yang kau
seduh pagi tadi telah dijoki. Kamu duduk di depanku, di samping jendela
dimana semburat mentari menerobos dari balik dedaunan di kebun belakang.
Sesekali kamu menyembulkan muka dari balik kanvas. Aku menulis puisi
untukmu, dan kamu melukis untukku. "Tanpa lukisan, hidup pastinya
membosankan," balasmu. Aku menatapmu. "Dan tanpamu, hidup adalah
kematian." Kamu tersipu. Duh Gusti...
Jumat, 11 Juli 2014
DESTITUTIO
Di halaman 205 novel klasik itu, ia menemukan sepucuk surat pendek. Mungkin surat itu, seperti halnya buku klasik tadi, milik penulisnya. Tapi mungkin juga milik penerimanya.
"Seorang penulis adalah ringkasan dari pengalamannya. Dan pengalamanku selama ini cuma satu: aku menghabiskan imajinasiku padamu. Aku bukan penulis yang hebat. Belum kutulis apapun semenjak kita berhenti berbicara pagi itu. Kamu tahu, aku masih duduk di sana. Tak pernah beranjak, meski ruangan menjadi gelap. Kini, tak ada lagi jalan pulang. Atau pergi. Aku masih terduduk. Tanpa jembatan kata-kata yang menghubungkanku padamu. Aku tahu, kamu hanya butuh waktu. Tapi entah, sampai kapan."
Setiap kali membaca surat itu, ia selalu kehabisan kopi dan merasakan dahaga teramat sangat.
Minggu, 06 Juli 2014
MASBUK
Kamu
seperti pengantin kesunyian, Nun. Tapi aku tak bisa mengejamu
diam-diam. Hari sudah malam, dan bacaanku harus dikeraskan. Kita masih
punya kesempatan, sampai rakaat terakhir dipungkasi salam. Kamu hanya
perlu mengaminiku. Mari kelak kita akhiri ini dengan tadarus bersama,
seperti pernah kita lakukan pada Ramadhan tahun itu. Kita saling
membacakan ayat-ayat cinta yang sublim dan mendalam. Malaikat juga tahu,
aku sedang memanjangkan rakaat terakhir ini, untukmu. Segeralah masbuk,
Nun.
Yogyakarta, 4 Juli 2014
Langganan:
Postingan (Atom)