Rabu, 17 September 2014

#NUNPOEM 08



Poesi adalah produk sekaligus proses, Nun. Ia persis seperti imajinasi yang membentuk sebuah bangsa, pergumulan dialektik antara 'fakta' dengan 'kehendak'. Setiap kehendak selalu memerintahkan kerja, menghasilkan produk. Namun, fakta tak bisa membatasi kehendak. Itu sebabnya kehendak tak bisa diperiksa oleh logika, Nun, karena kehendak tak dibangun oleh 'tesis', melainkan oleh 'premis'. Sebuah bangsa, seperti halnya sebuah hubungan, bisa gagal seringkali bukan karena premis-premisnya tak terpenuhi, tapi karena salah urus. Ketika fakta mulai membatasi dan menimbulkan frustrasi, itu saat yang tepat untuk menengok kembali kehendak. Itu waktunya untuk kembali pada poesi, Nun. ‪#‎nunpoem‬

#NUNPOEM 07


Sebuah puisi, meminjam Robert Prost, dimulai dari tenggorokan yang tercekat. Ah, itu persis seperti malam ketika aku bertandang padamu, hari itu, Nun. Malam terkutuk yang melahirkan puisi tak berkesudahan. Ya, setiap kutukan puitis sepertinya memang hanya bisa diobati dengan terapi puisi. Sebab, seperti ditadaruskan Paul Valéry, tak ada puisi yang pernah selesai, hanya ditinggalkan. Duh...‪#‎nunpoem‬

#NUNPOEM 06

 
Air mata, menurut Paulo Coelho, adalah kata-kata yang merajuk minta dituliskan. Jadi, sudah berapa banyak tulisan dari air matamu, Nun? ‪#‎nunpoem‬

#NUNPOEM 05


Pagi selalu bikin sakit hati. Ia cuma singgah sebentar. Mencuri rindu yang gentar. Ah, aku ingin pagi sepanjang hari. Agar anak-anak bisa berlari, dan kita tuntaskan nyeri, Nun. ‪#‎nunpoem‬

#NUNPOEM 04

 
Menulis, meminjam Irish Murdoch, itu seperti menikah, katanya. Seseorang tak boleh memberikan komitmennya sebelum ia mendapatkan keberuntungan yang membuatnya terpana. Ah, itu pula alasanku menikahimu, Nun. Menikahimu lewat puisi. Sebab kau selalu membuatku terpana. Darimu aku mendapat banyak anak kata-kata. ‪#‎nunpoem‬

#NUNPOEM 03

 
Matamu tingkap. Senyummu lindap. Tuturmu rancap. Hati dan hadirmu cangkat, singkat. Tapi, kasihku penad, Nun. ‪#‎nunpoem‬

#NUNPOEM 02


Dinihari. Hujan puisi. Kata-kata tumpah. Ingatan basah. Harapan menggenang. Doa-doa mengalir. Ah, masih kuingat cahaya di situ matamu, pada tepi subuh itu. Orang-orang bergegas ke masjid. Kita menandaskan sahur. Seperti pernah kutulis, keadilan adalah dinihari, ketika gelap telah tergelincir, namun fajar belum menyingsing. Dan seperti pagi di pinggir jembatan itu, dinihari ini masih kusebut namamu, dari atas tikar ini. Nun... ‪#‎nunpoem‬