memungut kembali ingatan. kita sama-sama bersujud di
masjid itu. masih kuingat, aku mabuk pada air wudhu yang menggantung di
dagumu. sayang, waktu hanya sepelemparan batu. pada rak-rak itu, masih
kuingat bunyi telponmu. aku menoleh. tapi kakiku masih diikat masa
lalu... /1/ aku menemukanmu senja itu, di antara rak-rak buku yang berdebu. aku lapar, katamu. ditemani secangkir kopi, akupun menemanimu makan di pojokan itu. ah, menatapmu yang lahap, perasaanku jadi kenyang.
ketika malam jatuh, kamu mengajakku ke musala kecil di bawah tangga.
masih kuingat, aku mabuk pada air wudhu yang menggantung di dagumu.
ternyata, makan malam itu menjadi sahur bagi sebuah puasa abadi... /2/
kita berbagi sajadah lusuh untuk sebuah jamaah yang selalu membuatku
rapuh. setiap ayat yang kueja, kunikmati bak puisi, yang kudeklamasikan
untukmu. ah, masih kuingat, aku mabuk pada air wudhu yang menggantung di
dagumu, hari itu. dan itu menjadi pembacaan puisi terakhirku... /3/
Surau itu tegak menghadap sungai.
Temboknya berkapur putih dengan lantai karpet. Tiga puluh tahun lalu ia masih cukup banyak dikunjungi anak-anak dan
muda-mudi. Mereka menjadikannya tempat berkumpul tiap sore. Kampung itu
memang tak begitu besar. Jalan-jalannya masih belum dikeraskan. Pada
hari raya, kalau tak hujan, semua anak-anak dan muda-mudi, termasuk
dari kampung sebelah, berkumpul di surau. Mereka bergembira. Anak
laki-laki itu termasuk yang paling gembira jika hari raya tiba. Bukan
karena puasanya tamat, tapi dia akan bisa banyak bercakap dengan gadis
pujaannya hari itu, di teras rumahnya yang berpunggungan dengan surau.
Dia akan disuguhi banyak kue-kue olehnya, lebih dari teman-temannya yang
lain, dan mereka akan saling bercerita sampai larut. Bukan kue-kue itu
yang menyenangkannya, tapi percakapan itu yang membuatnya bertenaga.
"Aku menyebut namamu, kamu menyebut namaku," begitu janji keduanya waktu
itu.
Sedikit kegilaan akan membuat hidup kita jadi lebih berwarna, tak lagi hitam
putih sebagaimana didefinisikan akal sehat yang penuh perhitungan dan
kategori. Hidup dalam kenyataannya memang tak selalu bisa dipandu akal
sehat. Sesekali, biarkan alam memandu hidup kita. Dan selebihnya,
biarkan Tuhan ikut campur dalam caranya yang muskil.
Euphorbia itu telah mati, pada musim kering tiga tahun lalu. Seeokor
kucing telah menjatuhkan potnya malam itu. Kubiarkan ia mengering,
melapuk, dan tergerus di halaman. Aku takut terlihat terlalu
mencintainya. Durinya, yang sering melukai tanganku, menjadi saksi kalau
aku tak pernah membencinya. Yogya, 30 Maret 2014
"I feel I was never able to forget anyone I've been with because each
person has their own specific qualities. You can never replace anyone.
What is lost is lost. Each relationship, when it ends, really damages
me. I haven't fully recovered. That's why I'm very careful with getting
involved, because... it hurts too much!" Itu penggalan percakapan dari
sebuah film paling brengsek yang sulit dilupakannya.
Jika mendengarnya di film, orang paling akan merogoh lebih dalam
kantong popcorn, atau menyedot lebih kuat cangkir minuman ringan. Tapi
jika seseorang mengatakannya kepadamu dalam kehidupan nyata, yang
paling mungkin dilakukan adalah menarik nafas dalam-dalam atau melempar
asbak keluar jendela.