Laut
itu makin mengering, sejak kau dipersunting. Tak ada lagi sungai yang
menyantuni. Ranting yang basah juga telah lama patah, sejak embun pagi tak
pernah lagi jatuh ke tanah. Aku kini cuma seteguk air yang mulai habis menguap di
jalan, tak mungkin menghapus dahagamu. Tapi oase lain mungkin cuma fatamorgana.
di rumah tua itu kita bertemu dengan saksi sajadah lusuh dan tikar bambu kau ceraikan rambutmu seperti merak indah merayu
aku tidak tahu, kaukah itu mutiara atau kupu-kupu mutiara bersolek di balik cangkangnya yang keras kupu-kupu berdandan di balik kepompongnya yang lembut jika kau mutiara, asal kau tahu aku hanya bisa menyelami air kata-kata tak bisa menjemputmu ke dasar laut
tapi jika kau kupu-kupu, aku bisa menanti ulat yang jahat mendandani dirinya di balik kepompong, sepanjang hayat kaukah itu, kupu-kupuku?
di rumah tua itu kita bertemu dengan saksi sajadah lusuh dan tikar bambu setelah bertahun-tahun, aku masih berharap kau adalah kupu-kupu kaukah itu?
Kau menyandar di punggungku,
malam itu. Mukamu letih, punggungmu bungkuk. Bahu ini adalah dermagamu,
yang telah menyaksikanmu datang dan pergi. Angin barat selalu membawamu
menjauh, angin timur selalu membawamu kembali. Tapi bahu ini selalu di sini, menantimu.
Menyaksikanmu datang dan pergi, aku seperti membaca Terra Nostra.
Sepertinya, memang dibutuhkan beberapa kehidupan untuk menyusun
kehidupan pribadi seseorang. Dan seperti halnya Fuentes atau Mann
mengakhiri novel-novelnya, baru pada fragmen akhir setiap orang akan
menemukan bahwa masa lalu adalah sebuah keseluruhan dengan segenap
kejernihannya.
Kepergianmu selalu menyisakan tangis kecil. Tapi
kamu tak pernah tahu, karena suara ombak dan burung camar selalu
menyamarkannya. Toh kamu akan kembali bersama angin timur bukan?
Bilakah angin tak berganti musim? Bilakah angin tak mengaturmu datang
dan pergi? Bilakah kau tinggal seterusnya?
Kita segera tiba di stasiun terakhir padahal aku tak ingin ini segera berakhir Kau belum juga meminta namaku aku masih sungkan meminta namamu Kita hanya berbagi pandang sejak kereta ini datang kemarin petang Ah, aku tak mau ini berakhir di Gambir seperti pertemuan kita yang terakhir
Matamu adalah suratan takdirku telah menyanderaku sejak pertemuan itu Tapi, Juwita, mengapa engkau banyak berdusta belum sepatah kata sejak kita berjumpa padahal, di situmatamu ada banyak tanya Esok adalah malam Minggu maukah gerangan engkau padaku?
Di Stasiun Tugu, kemarin kita sama menunggu tak ada lelaki mengantarmu Apakah nanti akan ada yang menjemputmu sehingga kau masih saja membisu?
Ini adalah kali kedua Aku tak ingin ini berakhir di Gambir Jika tak ada yang menjemputmu, kan kuantarkan kamu pulang Aku sudah letih bertualang
/11/ "Jika cantik itu pohon, maka kamu adalah hutan," demikian suatu
kali ia berbisik kepada perempuan itu. Di bawah sinar bulan yang tak
penuh, ia bisa melihat rona merah merekah di pipi perempuannya.
"Jika aku hutan, kamu jadi apa?" perempuannya bertanya.
"Aku ingin jadi pengusaha HPH!"
Perempuannya terbahak.
"Tapi aku tidak suka bedakmu yang mempur. Itu menyembunyikan
kecantikanmu yang asli," ujar lelaki itu serius. "Bagi beberapa orang,
bedak bisa membuat mereka terlihat lebih cantik. Tapi untukmu, itu
membuatmu jadi terlihat palsu."
Perempuan itu meninju bahunya. "Setelah membuatku terbang, kamu kini menjatuhkanku," protes perempuannya.
"Kamu juga sering melakukannya padaku," balas lelaki itu.
"Jadi ini ceritanya balas dendam nih?"
Keduanya tertawa bersama.
Dari balik pucuk cemara, bulan yang tak penuh mengintip malu-malu. Lapangan rumput itu mulai basah oleh embun. #poesiku