Rabu, 30 April 2014

DILEMA




ketika aku belajar cengeng
aku menjadi angkuh
ketika aku belajar angkuh
aku menjadi cengeng
dalam setiap cengengku ada keangkuhan
dalam setiap angkuhku ada kecengengan
apakah kini aku harus belajar cengeng
karena tiba-tiba aku menyukaimu
atau aku harus belajar angkuh
karena tiba-tiba aku takut kehilangan
ada kalanya, mungkin aku harus menjadi tolol
agar tak terlalu banyak bertanya
dan bisa tenang menatap senyum manismu
setiap hari

yogya, 27 mei 2003

APEL MERAH




Aku mimpi makan apel. Warnanya merah marun. Manis menggigit. Aku sudah merasakan kelezatannya meski baru kutatap. Begitu segarnya, sampai aku tak tega mengupas apel itu. Aku takut, tiap goresan pisau yang kukenakan akan mencederai warnanya. Tiap sentuhan udara akan mengubah segar dagingnya. Kenapa kelezatan apel hanya bisa hadir lewat goresan pisau? Bisakah kita menikmati tanpa harus mengupas, menguliti. Kutatap apel itu. Ia masih merah marun. Saat ingin kupegang, aku terbangun.

Aku terduduk di tepi ranjang. Aku berpikir, apakah aku harus merasa menyesal karena belum sempat menyentuhnya? Layakkah aku merasa kehilangan atas apa yang sebenarnya tak kumiliki? Kupeluk lutut seperti biasanya.

Aku beranjak, pergi ke kamar mandi. Kecipak air dan sebait lagu terlantun dari pojokan kamar kecil itu. #prosa08

NILAI TEMPAT




Pengharapan dan kecemasan ternyata menghalangi penemuan. Pengharapan pada dasarnya memperkerut ruang ekspektasi, sementara kecemasan justru meluaskannya. Tarik-menarik keduanya membesarkan ketidakpastian.

Secara tak sengaja, saat di kamar mandi pikirannya menangkap kembali ajaran-ajaran gurunya tempo hari tentang fisika inti. Diperlukan energi 10,20 eV untuk memindahkan sebuah elektron dari kulit pertama ke kulit kedua dalam model atom Bohr. Semakin dekat ke inti atom, energi yang diperlukan untuk memindahkannya semakin besar.

Ruang, posisi, dan kecepatan memang selalu menjadi hal yang menarik. Setiap detik keberadaan manusia dihabiskan untuk memenuhi ruang, melampaui titik tertentu, dan bergerak seringkas mungkin. Tak heran mereka begitu suka membuat batas-batas, aforisma, dan pemodelan dalam hubungan pusat dan pinggiran.

Di sinilah paradoks lahir. Kita menginginkan segala sesuatu bisa diukur dan dihitung (dengan kata lain terbatasi). Tapi, kecemasan dan pengharapan mengacau-balaukan semuanya. Kecemasan telah melahirkan banyak labirin di balik pintu-pintu, sementara pengharapan hanya mendekatkan jebakan saja.

Dia memikirkan semua itu karena sedang meneliti sebuah ruang. Hampir saja dia bisa menentukan kecepatan dan titik koordinat sembarang benda di ruangan itu, sampai pengharapan dan kecemasan mengacaukannya.

Sampai kapan nilai tempat ditentukan terus-menerus oleh titik koordinat dan kecepatan gerak sebuah benda? Dan apakah memang demikian?

Dia keluar dari kamar mandi dengan bibir tetap manyun. #prosa07

FRAGMEN KERAGUAN




[I]
ada kalanya aku harus menjadi cengeng
dan duduk di pojok kamar,
sambil memeluk lutut…
memikirkanmu!
….

[II]
kukenali kamu dalam remang pagi
dingin, menggigit…
kujamah pundakmu,
dan kutunjukkan tidak jalan lempang
tak melulu siang yang berwarna
lalu kau mengangguk
kini, tunjukkan aku jalan
tuk menjauhimu…
sebab aku mulai jatuh cinta

[III]
aku ingin pergi,
tapi enggan pergi

[IV]
aku ingin memiliki
tapi enggan menyakiti

[V]
aku harus bagaimana?

yogyakarta, 29 mei 2003

MENTARI




Aku mengenalmu dalam pagi yang remang. Anganku belum lagi jejag, dan mata ini masih terpicing ketika kamu datang dan tinggal. Sebelumnya kamu adalah mentari yang selalu hadir tiap pagi dan pergi saat senja menjemput. Biasa. Sama seperti tiap tarikan nafasku. Semuanya tak pernah disadari.

Sampai kamu datang pada pagi yang remang itu. Dan kamu menjadi mentari yang tak biasa karena kau tak lagi datang dan pergi seperti biasanya. Kau tak pernah tenggelam. Tepatnya, kau tak ingin tenggelam, sama seperti keinginan yang kupupuk sejak pagi yang remang itu.

Aku tidak tahu, apakah itu lebih baik atau lebih buruk. Hanya saja, aku merasa lebih nyaman. Tentu, aku kini harus selalu melindungi kulitku dari sengatanmu. Dan aku harus membeli kipas angin besar jika kepanasan. #prosa06

PEREMPUAN PEMBACA PUISI



Kalau ada perempuan yang tahan berkutat di kepalanya selama berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, maka perempuan itu adalah perempuan pembaca puisi. Dia menemukannya, acuh tak acuh, di pojok Benteng Vriedenburg, senja itu. Rambutnya tercerai, dandanannya menor, dengan bau tubuh Paris. Baju putih selengan membungkus tubuhnya yang jangkung, dengan renda-renda di pergelangannya. Trotoar Malioboro masih mengepulkan debu, senja itu, dan perempuan itu menebarkan aroma kegilaan. Dia baru menyadarinya setelah beberapa hari lewat.

“Siapa namamu,” sapanya. Perempuan itu menjawab dengan senyum. “Tentu saja namamu bukan ‘Senyum’ ‘kan?” sambungnya, tak sabar.

Perempuan itu tertawa kecil. “Aku tak punya ingatan untuk itu,” sahutnya setelah beberapa saat.

Apa pula ini, gerutunya dalam hati. Perempuan itu mengkikik. Bibirnya merampat, mengukir dua lesung di pipinya.

“Namaku Puisi,” setelah puas mengkikik.

Ini juga, apa pula. Dia baru saja berhasil memupuk keberanian untuk menggoda perempuan, dan kini perempuan itu yang justru menggodanya.

“Namaku Puisi, dan namamu adalah Buku!” sederet gigi putih itu kini kian jelas terlihat, mengkilap sepanjang derai tawanya.

Apa yang bisa dilakukan lelaki pada saat itu hanyalah ikut tertawa. Dan dia juga ikut tertawa, tapi kecil saja. #prosa05





TAPAL BATAS



Setiap kali berziarah dia akan memilih berdoa di pusara paling pojok dengan sebuah batu besar dan tanah yang masih merah. Dia tak pernah mempersoalkan pusara siapa yang didoakannya. Dengan begitu dia bisa menemukan kekhusyukan tanpa disibukkan oleh ingatan-ingatan mengenai siapa yang dikubur. Setiap kali menatap pusara itu dia akan dikepung pertanyaan, manakah yang bisa menjelaskan makna pusara: kuburan atas sesuatu yang pernah hidup, atau batas dimana sebuah kehidupan lain sebenarnya baru saja dimulai?

Dia tahu kalau dua-duanya bisa diterima. Tapi segera saja penerimaan ini akan memunculkan pertanyaan lain: mana yang harus dikubur dan mana yang baru saja dimulai. Pertanyaan ini membuatnya tahan berjam-jam di pojok pekuburan.

Masa lalu hampir tak memiliki batas dengan masa kini, sama seperti halnya masa kini hampir tak berbatas dengan masa depan. Ini yang membuat pertanyaan tadi jadi seperti labirin: berpintu tapi tak berujung. Sejarah barangkali dibangun oleh kontinuitas dan diskontinuitas yang ganjil. Saking ganjilnya keduanya bahkan hampir tak memiliki perbedaan, laiknya kloning. Dia sendiri mempercayai diskontinuitas, sama seperti kritik pedasnya terhadap para penghamba linieritas. Tapi saat sampai di pekuburan itu dia tetap saja tak bisa memutuskan apakah sejarah ini dibangun oleh kontinuitas atau diskontinuitas. 




Kesulitan terbesar untuk membedakan kontinuitas dan diskontinuitas adalah ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa diskontinuitas tak selalu hadir dengan gegap gempita melainkan datang menyelinap diam-diam. Batas antara masa lalu dengan masa kini, dan batas antara masa kini dengan masa depan akhirnya tetap tak bertapal. Ini kian diperumit oleh hadirnya legenda yang melampaui kematian. Siapa yang sudah dikubur dan baru memulai kehidupan kian sumir. Sebab, menurut beberapa orang, legenda justru baru memulai hidup sesaat setelah kematiannya.

Seringkali dia bertanya, apakah masa kini menghendaki masa lalu, atau masa depan menghendaki masa kini? Jika dunia dibangun oleh diskontinuitas, apa perlunya sesuatu yang lampau? Bukankah dengan membutuhkan sesuatu yang lampau diskontinuitas sedang menyungkurkan dirinya pada kontinuitas, sesuatu yang terus-menerus?!

Sebaliknya, apakah ini sebuah kontinuitas ketika kita tiba-tiba dia berada di sebuah persimpangan dan ingin berbelok pada sebuah jalan yang berbeda dan belum pernah diketahui? Jalan itu memang masih tetap jalan setapak dengan rerimbunan pohon dan perdu bercucuk, tapi ini juga sebuah percecabangan yang berpilin-pilin dan mengulir, dimana semuanya terlihat baru dan berbeda. Barangkali kebaruan itu mungkin hanya imajinasi, tapi—minimal—yang jelas ini sebuah imajinasi yang baru. Dan bukankah imajinasi itu mendahului realitas?! Tepatnya, bukahkah kita berangkat memahami realitas itu dari imajinasi mengenai realitas tadi terlebih dahulu?!

Akar kebimbangannya sebenarnya adalah ketika dia bertemu dengan seseorang yang tak pernah dibayangkan akan dipikirkannya melebihi tebaran huruf dari buku-buku yang memadati kamarnya. Saat itu dia sedang didera kehampaan dan berjalan menyusuri trotoar yang mengepulkan debu. Trotoar yang setiap hari dilewatinya tiba-tiba saja menjadi istimewa. Dia tiba-tiba menginginkan trotoar itu tak berujung, karena di sepanjang trotoar itu dia bisa menyaksikan kembali tontonan dari masa lalunya. Berbagai adegan dari bilik-bilik ingatannya terputar dalam gerakan lambat, satu per satu, sehingga dia bisa melihat lebih rinci semua kejadian.




Masa lalu tak selalu sebuah aula besar dimana berbagai kejadian penting pernah dipertontonkan. Masa lalu juga bisa hanya sebuah kamar kecil yang pesing, lembab, dan menghimpit, dengan berbagai pentas tolol. Masa lalu dalam kamar-kamar kecil yang sempit inilah yang sedang dipertontonkan sepanjang trotoar. Berbagai hal remeh-temeh menyembur satu per satu. Dan keajaiban tiba-tiba muncul dari sana. Sebuah wajah menyembul dari salah satu bilik dan memberikan seutas senyum.

Ajaib, karena senyum itu terlihat manis dan dilepas oleh seseorang yang berasal dari bilik kecil yang sebelumnya tak diperhitungkan. Bilik kecil yang menghimpit; dan di sana tersimpan seutas senyum manis. “Apa saja yang telah kukerjakan selama ini,” tanyanya. Dia seperti baru disentakkan dari tidur panjang.

Sejak itulah dia selalu dikepung pertanyaan setiap kali berziarah: mana yang harus dikubur dan mana yang sebenarnya baru lahir? Siapa yang menentukan apa yang harus diingat dan mana yang harus dilupakan, ketika keajaiban ternyata bisa muncul dari sebuah kamar kecil yang himpit? Aula besar masa lalu yang penuh tempik sorak ternyata bisa hanya sebuah ruang kosong hampa.

Masa lalu tidak hadir di waktu lampau, tetapi diciptakan di masa kini. Atau, mencuri Borges, masa lampau tak lebih dari ingatan kini. Masa kini sendiri adalah hal yang tak terdefinisi. Lightman menyebutnya sebagai dunia tanpa ingatan. Sampai di sini, dia tak melanjutkan kepenasaranannya. Dia akan bangkit dari tempat duduknya dan berjalan gontai meninggalkan pekuburan. Debu masih tetap mengepul dari trotoar yang dilaluinya. Kali ini sebuah trotoar yang berujung. Dia masih tetap tak tahu apakah ini kontinum atau diskontinum. #prosa04