Kamis, 01 Mei 2014

SENYAWA





kita menyatu dalam cangkir
sebagai minuman
aku bukan diriku
kamu bukan dirimu

bersenyawa,
mengada dengan melebur
sebagai bening, sebagai putih

dalam cangkir
aku menyatu bersamamu
mengudar warna dan rasa

kita melarut,
meniada dalam ada
mengada dan menjadi,
dalam cangkir


karanggayam, 30 Mei 2007

SURAT UNTUK JULIA


Julia,

Hujan telah lama lewat, tapi dingin yang dibawanya masih terus membekap. Hawa di tengah tahun ini memang mengigit. Dan hujan di ujung malam tadi telah menambah dingin pagi ini. Pagi ini juga terasa “dingin”, karena di gedung ini tinggal kamarku yang masih bersuara. Bunyi kipas menguar memecah gumpalan udara kamar yang kusewa. Aku menghidupkan radio untuk mengusir sepi, sekaligus untuk menemaniku menyusun huruf demi huruf surat ini.

Barangkali kamu sudah tenggelam di lautan mimpi, Julia, lelap bersama segenap kelelahan sisa hari tadi. Hidup memang melelahkan, selain juga menyenangkan. Karena itu nikmati saja. Toh setiap kelelahan adalah bukti bahwa kita telah menjalani hidup ini dengan sungguh-sungguh.



Ini adalah surat pertamaku untukmu. Ah, ternyata perlu banyak keberanian sekadar untuk mengirimimu surat.

Setiap kali menulis surat aku selalu membutuhkan waktu yang panjang, Julia. Orang lain mungkin akan mengira aku suka mengukir dan membedaki kalimat. Tapi tentu saja tidak begitu.

Menurutku, menulis surat kadang sebenarnya lebih banyak mirip sebuah monolog, percakapan sunyi dengan diri sendiri. Jembatan maksud dengan orang yang dikirimi surat tersambung jika si penulis surat tuntas bercakap dengan dirinya sendiri. Si penerima tinggal menangkap, menafsir, dan mengurai percakapan monologis si pengirim.

Rumit memang. Dan pada kenyataannya, menurutku, memang hanya sedikit orang yang bisa menulis surat, dan juga sedikit orang yang bisa menikmati membacanya.  

Proses percakapan dengan diri itu, ketika seseorang menulis surat, selalu membutuhkan kebisuan. Itulah sebabnya kenapa aku memerlukan waktu yang lapang untuk menatah dan menyalin huruf demi huruf percakapan sunyi itu ke dalam halaman-halaman ini. Di keheningan pagi, percakapan itu menjadi kian bening, tak direcoki suara-suara gaduh dari luar.

Dengan begitu, menurutku surat sebenarnya lebih rumit dari sebuah karya sastra. Jika para pembaca sastra memiliki kemerdekaan untuk menafsir sebuah karya, yang menyebabkan pengarang tak lagi memiliki otoritas tafsir atas karyanya, maka pembaca surat selain memiliki kebebasan untuk menafsir juga harus bisa menangkap maksud obyektif si penulis surat. Sebab, surat biasanya ditujukan untuk publik yang sangat kecil, bahkan personal, sehingga ruang tafsir obyektifnya juga terbatas. Tafsir mengenai maksud penulis barangkali tak lagi penting dalam kajian sastra, tapi masih menjadi pokok utama dalam ruang baca secarik surat.

Ah, aku sepertinya mulai melantur kemana-mana. Merumitkan hal yang tak perlu. Aku berharap kamu bisa bersabar dengan kerumitanku, Julia. Maksudku, aku sebenarnya tidak rumit. Hanya saja, sifat pemaluku sering membuat banyak hal yang mestinya sederhana jadi jatuh rumit. Kamu tentu masih ingat bagaimana aku hampir saja membakar gedung pertunjukkan tempo hari, karena kecerobohanku. Dan kecerobohan itu muncul karena ada kamu di situ. Kehadiranmu membuatku grogi, sehingga aku jadi banyak melakukan hal konyol karenanya. Bukan, bukan berarti aku menyalahkanmu untuk soal itu. Tidak begitu maksudnya. Maafkan aku.

Julia, tempo hari aku pernah menulis sebuah puisi. Aku tidak mengirimkannya kepadamu, tapi aku tahu kamu menyimaknya. Barangkali, ada baiknya surat ini dimulai dengan puisi itu.

Ah, ya, ya, ya. Tentu saja aku sudah menulis beberapa halaman surat ini, tapi aku baru saja menyebut soal “memulai”. Itulah. Bahkan, dalam menulis suratpun aku tak bisa bebas dari grogi, Julia. Seorang kawanku bahkan mencarikan sebuah istilah untuk menjelaskan hal itu: “Efek Julia”.




Dan beginilah puisiku waktu itu:

ketika aku belajar cengeng
aku menjadi angkuh
ketika aku belajar angkuh
aku menjadi cengeng
dalam setiap cengengku ada keangkuhan
dalam setiap angkuhku ada kecengengan
apakah kini aku harus belajar cengeng
karena tiba-tiba aku menyukaimu
atau aku harus belajar angkuh
karena tiba-tiba aku takut kehilangan
ada kalanya, mungkin aku harus menjadi tolol
agar tak terlalu banyak bertanya
dan bisa tenang menatap senyum manismu
setiap hari

Julia,

Sepertinya baru kemarin para fisikawan masih mempercayai determinisme Laplace: jika kita tahu posisi dan kecepatan semua partikel pada satu waktu tertentu, juga hukum dan gaya-gaya yang bekerja pada partikel-partikel itu,  maka kita akan tahu posisi dan kecepatan partikel-partikel itu di sembarang waktu di masa depan.

Tapi kini mekanika klasik itu sudah digantikan oleh mekanika kuantum. Bahkan Wolfram, juga Fredkin, sudah mendekonstruksi ulang fundamen fisika menjadi fenomena komputasi digital, tak lagi berbasiskan partikel. Dengan sendirinya, determinisme Laplace mulai disangsikan.

Kamu pasti bertanya, apa hubungan surat ini dan puisi tadi dengan pergunjingan soal fisika barusan? Ah, Julia, tolong jangan buang surat ini ke tempat sampah, hingga kamu menyelesaikannya ya. Kamu hanya perlu sedikit bersabar jika penyakit rumitku mulai kambuh.

Isi puisi tadi, Julia, sebenarnya mirip konsep dualisme gelombang-partikel dalam fisika kuantum. Ya, aku tahu kamu tidak mendapatkan kelas Fisika di Jurusan Seni. Makanya, sebisa mungkin, aku akan memberikan keterangan mengenai metafor yang kugunakan ini. Dan ya, aku memang perlu menggunakan metafor, Julia, karena aku demikian pemalu, sehingga ungkapan yang lebih verbal sering kuanggap sebagai tidak cukup sopan untuk disampaikan. Itulah masalahku selama ini. Mungkin, itu bawaan dari kultur moyangku.

Jadi, Julia, jika dalam fisika klasik gelombang dan partikel dianggap sebagai dua fenomena yang berbeda, atau dua materi yang berbeda, maka dalam fisika kuantum kita diberi tahu bahwa konsep-konsep tadi, yaitu gelombang dan partikel, dalam dunia mikroskopik sesungguhnya tidaklah terpisah satu sama lain. Sebab benda-benda yang sebelumnya kita bayangkan sebagai partikel, di dalam jagad mikroskopik kadangkala bergerak seperti halnya gelombang. Dan masalahnya, baik gelombang maupun partikel sebagai sebuah konsep mandiri, sama-sama tak bisa menjadi representasi dari materi mikroskopik tadi.



Sampai di sini, determinisme Laplace kemudian digantikan oleh azas ketidakpastian Heisenberg. Kita hanya bisa mengetahui kecepatan sebuah partikel, tapi tidak posisinya. Atau, kita bisa mengetahui posisi sebuah partikel, tapi tidak kecepatannya. Inilah dunia yang tak teramalkan, yang sekaligus menampar ambisi para fisikawan untuk menemukan basis fundamental pergerakan benda-benda, menemukan rumus bagaimana Tuhan mengatur alam semesta secara keseluruhan.

Kembali ke puisi tadi, Julia, seringkali aku menjadi orang terhukum atas sikap cengeng dan angkuh sebagaimana yang diceritakan puisi itu. Tapi aku selalu mengajukan pembelaan kepada diriku sendiri, bahwa cengeng dan angkuh tadi tidaklah seperti kelihatannya. Cengeng dan angkuh tadi mirip dengan konsep dualisme gelombang-partikel dalam fisika kuantum, dan karenanya tak bisa dipahami dengan memisahkannya satu sama lain, ataupun dengan membaurkan keduanya sekaligus. Jadi, sikap-sikap tadi tak bisa dinilai sepotong-sepotong sebagai cengeng saja, atau angkuh saja. Dan, pembauran keduanya juga tak akan memberikan penjelasan apapun. Seperti puisinya Amir Hamzah, keduanya, dan turunan-turunan dari keduanya, senantiasa “bertukar tangkap dengan lepas” secara tak berkesudahan.

Lantas, ke arah mana dualisme cengeng-angkuh tadi akan berlabuh? Mengikuti fisika kuantum, kita hanya bisa mengukur salah satu dari dua hal berikut: koordinat (posisi), atau kecepatan (arah). Dalam kehidupan nyata, hal demikian tentu saja tidak menyenangkan. Kita selalu ingin memastikan masa depan begitu kita tahu posisi kita. Tapi, fisika kuantum dengan gamblang telah memustahilkannya. Kita hanya bisa memastikan salah satunya saja. Sungguh, itu memang tidak menyenangkan.

Azas ketidakpastian Heisenberg sepertinya telah membuat masa depan jadi tidak pasti, karena dalam kehidupan nyata yang bisa kita ketahui memang hanyalah posisi kita hari ini saja. Esok pagi selalu menjadi entah.

Tapi, bukankah hidup tak bisa berdiam diri begitu saja, sekadar membunuh waktu dan menanti ketidakpastian?! Betapa tidak menyenangkannya hidup yang sekadar mengamankan kepastian hari ini bukan?! Itu sebabnya kita harus memilih, secara terus menerus. Pada akhirnya kita hanya bisa mengurangi ketidakpastian dengan melakukan tindakan praktis.

Ah, biarkan aku melantur kemana-mana dulu, Julia. Biarkan… Nanti kamu akan paham maksudnya.

Tindakan praktis yang disebut tadi itu tentunya tak boleh ajeg. Ia harus terus menerus dikoreksi, dirawat, diralat, dipertemukan dengan antitesisnya, agar keluaran dan imbasannya benar-benar mendekati kondisi ideal.  



Sampai di sini aku jadi teringat bualan Homer Graham kepada Maggie Carpenter, Julia. Aku selalu menyukai bualan romantis itu.

Aku jamin, suatu hari salah satu dari kita pasti akan pergi
Aku jamin, suatu hari salah satu dari kita pasti akan menyakiti
Aku jamin, suatu hari salah satu dari kita tak lagi menyenangkan
Tapi aku jamin, aku akan sangat menyesal kalau saat ini tak menyampaikan bahwa aku sungguh-sungguh mencintaimu

Barangkali, itulah tindakan praktis untuk mengurangi ketidakpastian, menyederhanakan probabilitas, dan bersiasat terhadap kemaha-entah-an dalam hidup.

Itu adalah ekspresi rasa paling natural. Keinginan dan kepasrahan dihadirkan secara bersamaan, jujur dan bersahaja. Tak ada tendensi untuk bisa meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan, meski mimpi-mimpi tentang hari esok tak pernah diberangus. Mimpi-mimpi itu malah selalu mendapat tempat terhormat. Posisi manusia sebagai subyek yang berkehendak tak dibelenggu oleh azas ketidakpastian. Sebaliknya, tak ada tendensi bahwa semua kehendak tadi akan mewujud. Menurutku, itu imajinasi yang masuk akal sekaligus indah.

Barangkali, menyambung percakapan kita dalam seminar tentang mimpi tempo hari, kenapa kenyataan dianggap oleh banyak orang kalah eksotis dibanding mimpi—yang telah membuat orang-orang tak mau melepas mimpi-mimpinya untuk ditukar dengan kenyataan, adalah karena begitu mimpinya menjadi kenyataan, maka dia menyudahi sama sekali proses bermimpi. Saat itulah kehidupan, dan bukannya kenyataan, menjadi tidak menarik lagi.



Artinya, setiap orang pada dasarnya harus menyiapkan diri untuk bisa menggapai mimpinya, dan sembari mimpi-mimpi itu merangkak mendekati atau menjauhi kenyataan, dia harus bisa me-reka mimpi lain, untuk tetap tak kehilangan keindahan hidup pasca-tercapainya kenyataan, atau—jika yang terjadi sebaliknya—agar tak terluka karena kegagalan merengkuh apa yang diinginkan.

Jadi, Julia, ringkasnya begini. Menurutmu, apakah aku bisa mengajakmu makan malam akhir pekan ini? Hanya kita berdua saja, tanpa rekan-rekan yang lain. Di kedai dekat alun-alun itu. Aku ingin bicara mengenai posisiku. Selebihnya, entahlah, aku juga tak tahu. Aku menuliskan dan melakukan semua ini dengan risiko segera kehilanganmu, seperti bunyi puisiku.

Ah, entahlah… Stop berpikir! Yang jelas, kita ketemu saja nanti.


Sosrokartono

Rabu, 30 April 2014

/7/ POESIKU




/7/ “Aku tidak pernah mencintaimu!” hardik perempuan itu kepada lelakinya, ketika mereka bertengkar hebat malam itu. “Jangan pernah mengatakan itu!” bentak lelakinya. Mereka bersitatap dengan mata nanar.

“Bahkan, jikapun itu adalah kebenaran, jangan pernah mengatakan itu!” tambah si lelaki. Tapi kali ini dengan lirih.

“Kenapa? Kamu tak sanggup mendengarnya?” si perempuan menantang.

“Tidak, aku tidak ingin menantangmu,” jawab si lelaki. “Entah kamu menganggapku apa saat ini, tapi jangan pernah mengatakan itu.” Dia mengatakannya dengan lembut, tapi dengan luka yang mendalam. “Bukan karena aku tak ingin mendengarnya, meskipun itu salah satu kenyataannya. Tapi bukan itu.”

Perempuan itu masih menatapnya nyalang.

“Kamu tidak akan pernah tahu kapan cinta bisa menghampirimu. Jadi, jangan pernah mengatakan hal semacam itu. Termasuk kepada orang yang kamu benci sekalipun. Itu hanya akan membuatmu malu.” Lelaki itu membetulkan lengan bajunya yang robek. “Setiap orang harus berusaha untuk menjaga rasa malunya.” Ia terlihat berusaha menenangkan diri.

“Aku sudah memikirkannya. Aku memang tidak pernah mencintaimu!” Lidah perempuan itu masih menyala.

Hening.

“Ya, aku juga berpikir begitu,” balas lelakinya kemudian. “Kadang, aku pikir, kamu mungkin baru akan jatuh cinta kepadaku setelah tua nanti. Bahkan mungkin setelah itu, selepas aku mati. Sepertinya akan begitu.”

“Kenapa kamu pikir begitu?” nada angkuh itu masih belum reda.

“Karena, ketika kamu tua nanti, orang-orang akan pergi, tak lagi mencintaimu. Kamu hanyalah seorang perempuan tua, waktu itu. Dan, pada saat bersamaan, kamu juga mungkin masih miskin pengertian seperti saat ini. Tak ada orang yang ingin mencintai perempuan tua yang miskin pengertian.” Ia mengatakannya dengan tertunduk. “Sementara, aku tidak akan pernah pergi. Dan aku mungkin memang tidak bisa pergi. Itulah masalahku.” Lelaki itu melempar pandangannya ke luar jendela. “Aku tak bisa pergi karena aku mencintaimu. Bahkan, ketika aku ingin membencimu sekalipun, aku tak pernah bisa berhenti mencintaimu.” Kali ini lelaki itu mengucapkannya dengan serak.

“Kenapa kamu masih saja naif seperti itu?” si perempuan mulai memelankan suaranya.

“Aku tidak pernah mencari-cari alasan untuk mencintai seseorang,” ujar si lelaki. “Dan aku juga tidak akan pernah mempermalukan orang yang telah menyakitiku,” imbuhnya. “Jika kamu ingin pergi, kamu boleh pergi. Aku tidak akan memohon agar kamu tidak pergi.”

Mata perempuan itu membasah. Keduanya kini sama terluka. Di luar jendela, bunyi jangkrik dan serangga malam terdengar semakin nyaring. Sementara, bulan bersembunyi malu-malu di balik pohon randu. ‪#‎poesiku‬

/6/ POESIKU



/6/ Akal sehat selalu membuat luka kecil menjadi bernanah. Maka, pada hari pertama ketika mereka berpisah dulu, si lelaki masih sempat menulis puisi. Puisi terpendek yang pernah ditulisnya, dan sekaligus yang mungkin paling disesalinya: “Setan sekali Kau, Tuhan!” Barangkali benar, cinta itu seperti arak, semakin lama rasanya semakin lezat, semakin memabukan, dan tentu saja semakin mahal harganya. Tentu, arak yang baik hanya lahir dari bahan yang baik dan racikan yang tepat. Lama dan baru hanyalah kondisi, dan bukan syarat. Tapi bukan itu yang merisaukannya. Hal yang paling merisaukannya adalah ia sungguh tak tahu, apakah ia sedang menyimpan nanah, ataukah arak? Ketika ia sudah tak lagi sanggup menulis, yang bisa dilakukannya hanyalah membaca puisi-puisinya yang telah silam.

aku membacamu, sebagai puisi yang tak berkesudahan
seperti laut yang dibayangkan takdir
seperti pantai yang ditulis goenawan

meski waktu bukan kubus
dan ufuk bukan entah
aku membacamu, sebagai puisi yang tak berkesudahan
‪#‎poesiku‬

/5/ POESIKU



/5/ Mereka berdua menyukai rempah-rempah dan merencanakan kelak memiliki rumah yang akan dikelilingi kebun rempah, selain sayur dan buah. Setiap senja mereka akan mendiskusikan mimpi-mimpi itu. Mereka menyukai film Paul Mayeda yang sangat hidup bercerita mengenai rempah dan kehidupan, serta buku Turner yang dengan apik mampu meyakinkan pembacanya bahwa alasan pelayaran bangsa-bangsa Utara ke Selatan pada zaman dulu bukanlah untuk merebut makam suci dari kaum kafir, atau untuk menyebar ayat-ayat Tuhan, melainkan karena makanan mereka yang sangat memprihatinkan. Mereka setiap hari makan dengan daging asin dalam kondisi yang seringkali hampir basi dan membusuk. Bangsa Sparta, misalnya, hanya bisa menyedapkan makanan mereka dengan kerja keras dan rasa lapar. Tak ada yang mampu menolong mereka dari penderitaan itu kecuali sedikit lada, jahe atau kayu manis. Hanya rempah-rempah itu yang bisa menyamarkan bau daging dan asinnya garam. Dan untuk itulah mereka rela menyabung nyawa membelah lautan. Betapa puitisnya sejarah yang demikian. Tak heran, Edward Said menyebut bahwa rempah adalah imajinasi orientalisme yang paling kental. Ketika membicarakan rempah, lelaki dan perempuan itu akan saling tatap dengan mata berbinar. Dalam semua dongeng dan kitab kuno, rempah adalah simbol gairah dan eksotisme. “Bau tubuhmu seperti gaharu,” kata si lelaki kepada perempuannya. Dengan tatapan manja, perempuannya tersipu. “Hanya seperti gaharu?” tanya perempuannya, menggoda. “Tadinya aku mau bilang seperti kemenyan sih,” jawab si lelaki. Keduanya terbahak. “Kamu itu seperti pekak, alias kembang lawang,” kali ini si perempuan memberikan penilaiannya. “Kenapa pekak?” tanya si lelaki. “Karena cuma di masakan yang ribet ada pekaknya. Dan masakan yang ribet itu adalah masakan yang enak. Berkelas,” jelasnya, dengan mimik yang serius. Kali ini giliran si lelaki yang tersipu. “Sementara, aku adalah cabe Meksiko,” lanjut si perempuan, “yang peddeeessnya minta ampun.” Keduanya kembali tertawa. “Aku pikir kamu memang seperti cabe,” kata si lelaki tenang. Dengan tatapan mendalam ia menyapu wajah perempuannya. “Kamu bisa membakar mulut dan membuat sakit perut,” imbuhnya. “Tapi itu hanya terjadi di tangan koki yang salah. Aku menyukai sambal dan makanan pedas, jadi tak akan gampang sakit perut,” katanya, sembari meraih jemari perempuannya. Tubuh mereka merapat, meruapkan aroma mur, gaharu, nilam dan cendana. ‪#‎poesiku‬

/4/ POESIKU - MALAM YANG MENGURAS PERASAAN



/4/ Mereka mengikat janji di bawah sinar bulan, melalui sebuah obrolan sampai pagi yang menguras perasaan. Di rona-rona pipi perempuan itu, si lelaki melihat pohon cintanya tumbuh merindang. Mereka saling membacakan sajak Chairil secara bergantian, disaksikan laron dan serangga malam yang berjatuhan di lampu minyak di meja pekarangan.

“Kupilih kau dari yang banyak…

Aku pernah ingin benar padamu,” bujuk si lelaki.

Si perempuan tersipu. Ia lalu membalas,

“aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada satu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini.”

Ia lalu bercerita mengenai pengalaman buruknya ditinggal lelaki. Ia mengaku bahkan sempat ingin bunuh diri karenanya. Si lelaki menggapai tangannya. Ia lalu membacakan kembali Chairil.

“Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani.”

Mereka bersitatap, lalu saling tersenyum.

Ada satu masa ketika si lelaki itu juga pernah memendam frustrasi sebenarnya. Ia telah mengenal perempuan itu sejak kecil, tapi tak pernah bisa memahaminya. Setiap hari ia mengiriminya puisi, tapi tak pernah berbalas. Sampai suatu saat ketika frustrasinya membuncah, ia mengirim sebuah puisi pendek kepada perempuan itu.

Yang kutakut bukan tak kau buka pintumu
Yang kutakut aku kan bosan mengetuk.

Lalu berjumpalah mereka malam itu. Sebuah malam yang menguras perasaan. #nunpoem

/3/ POESIKU



/3/ "Untuk mengawali hariku, aku ingin menciummu, setiap hari selama aku hidup," kata perempuan itu. Dan itu adalah janji termanis yang pernah didengarnya, belasan tahun silam. Tetapi, sebuah pertengkaran kecil telah memisahkan mereka. Tak ada lagi tegur sapa dan isyarat yang mengantarkan kasih. Keduanya membiarkan akal sehat merebut ruang-ruang cinta di rumah mereka. Padahal, ketika saling menautkan hati, keduanya sama-sama berikrar, tak akan ada akal sehat di rumah itu. Yang ada hanya cinta. Gunakan akal sehat hanya ketika meninggalkan rumah. Dan akal sehat telah membuat luka kecil menjadi kanker. Itu adalah sebuah perpisahan yang mematikan, tak cuma menyakitkan. Tak ada lagi ciuman mesra tiap pagi yang mendarat di bibir, pipi, dagu, atau keningnya. Sejak itu, ia tak lagi bisa menulis puisi. Setiap hari, sebangun tidur, sembari menatap sketsa Monalisa di dinding kamarnya, ia akan berucap lirih, "Hal pertama yang ingin kulakukan sebangun tidur adalah mencintaimu..." Hanya dinding kamar yang kusam yang menyimak ucapannya. ‪#‎poesiku‬